Robot terus “merampok” pekerjaan manusia. Supaya tidak jadi pengangguran, apa yang harus dipersiapkan?
Manusia
secara alami gemar menciptakan alat-alat baru agar lebih produktif dan dapat menyelesaikan
pekerjaann dengan mudah sehingga hidup lebih nyaman dan sejahtera. Saat ini berbagai
bentuk robot (mesin otomatis) telah diciptakan dengan mengintegrasikan berbagai
teknologi pintar, seperti kecerdasan buatan (Artificial Intelligent), mesin otonom, dan internet of things (IoT). Robot-robot itu bahkan telah menggantikan
manusia melakukan berbagai pekerjaan, mulai dari yang ringan hingga yang berat,
dan dari yang aman hingga yang berisiko tinggi. Teknologi mekanik, biologis,
dan kimia, misalnya, telah menggantikan jutaan pekerja manusia di sektor pertanian
selama 100 tahun terakhir (Rifkin, n.d.) Sebelum revolusi industri pertama,
semua pekerjaan pertanian di Amerika Serikat dilakukan oleh manusia (dengan
bantuan hewan). Setelah alat-alat baru dibuat, pada tahun 1850 hanya 60% dari
populasi manusia yang bekerja secara langsung di sektor pertanian. Sekarang, manusia
hanya mengurus 2,7% dari seluruh pekerjaan di bidang pertanian. Sisanya (97,3%)
telah dikerjakan oleh mesin.
Kegemaran
manusia mendiptakan alat-alat baru tersebut sekarang telah membawa masyarakat
dunia ke dalam era Revolusi Industri ke-4 (RI-4), yang ditandai dengan telah
terhubungnya manusia secara fisik dengan berbagai teknologi pintar yang saling terkoneksi.
Interkonektivitas itu membuat robot dapat bekerja secara otonom, mengakses serta
mengevaluasi data, dan membuat keputusan. Salah satu contoh robot yang sudah
lazim terkoneksi dengan manusia saat ini adalah smartphone. Perpaduan berbagai teknologi pintar di dalamnya memampukan
pengguna tidak hanya menelepon atau mengirim pesan teks kepada orang lain
tetapi juga memperoleh ramalan cuaca, memantau pergerakan mata uang dunia, dan mengetahui
rute terbaik menuju tempat yang belum pernah dikunjungi, dan sebagainya. Di sektor
industri, mesin-mesin pintar telah terintegrasi untuk menjalankan kegiatan
produksi secara mandiri.
Keberadaan alat-alat
canggih itu ternyata membawa dampak yang tidak mentenangkan juga, yakni semakin
banyaknya pekerjaan manusia diambil-alih oleh robot. McKinsey
& Company (2017) memperkirakan bahwa hingga tahun 2030 sekitar 800 juta
pekerjaan akan hilang akibat otomatisasi. Frey
(2012) bahkan memproyeksikan 2 miliar pekerjaan (sekitar 50% dari semua
pekerjaan di dunia) akan ‘dirampas’ oleh robot. Bagaimana seharusnya kita menanggapi
prediksi ini? Cemas? Gambaran masa depan apa yang bagaimana ada dalam pikiran
Anda? Suram? Tidak perlu! Kita dapat menerima prediksi ini sebagai peringatan bahwa
segala hal sedang berubah dengan sangat cepat, dan kita harus mempersiapkan
diri untuk beradaptasi.
Untuk mempersiapkan
diri beradaptasi dengan perubahan tersebut diperlukan tiga langkah besar. Pertama,
kita harus memahamii bahwa tidak semua jenis pekerjaan akan drampas oleh robot.
Menurut Ford (2010),
pekerjaan yang paling berisiko untuk diotomatisasi adalah pekerjaan yang bersifat
rutin (dilakukan berulang-ulang) dan dapat diprediksi” (pengemudi mobil, juru
masak, buruh pabrik). Sedangkan pekerjaan yang memerlukan kreativitas murni, profesi
yang melibatkan hubungan kompleks antar manusia, atau pekerjaan yang sangat
tidak dapat diprediksi (seperti psikolog hewan buas, instruktur skydiving, stanmen profesional, pekerja
seni, hakim, programmer komputer)
akan aman dari otomatisasi. Mengapa kita tidak mempersiapkan diri atau
anak-anak kita untuk menekuni salah satu pekerjaan tidak akan diambil alih oleh
robot?
Kedua, kita harus
memahami bahwa meskipun robot ‘merampas’ banyak pekerjaan yang telah lama ada,
dia juga menciptakan banyak pekerjaan baru, khususnya yang berhubungan dengan desain
dan inovasi di bidang otomatisasi dalam jaringan (online) dan teknologi. World Economic Forum
(2016) memperkirakan 65% siswa taman kanak-kanak saat ini akan menekuni
pekerjaan yang sekarang belum ada. World Economic
Forum (2018) meramalkan bahwa hingga tahun 2022 robot akan mengambil alih 75
juta pekerjaan tapi, pada saat yang sama, akan menciptakan 125 juta pekerjaan
baru. Catatan sejarah di Inggris dan Wales (Allen,
2015), mengungkapkan bahwa kemajuan teknologi mesin sebenarnya menciptakan pekerjaan
baru yang lebih banyak daripada pekerjaan yang dirampasnya.
Ketiga, kita harus belajar dan berlatih
untuk menguasai keterampilan yang diperlukan untuk berkiprah dalam satu atau
lebih profesi-profesi yang tidak dapat dilakukan oleh robot. Menurut (World Economic
Forum, 2016), 10 keterampilan utama yang diperlukan
adalah: (1) pemecahan masalah yang kompleks, (2) berpikir kritis, (3)
kreativitas, (4) manajemen manusia, (5) kemampuan berkolaborasi, (6) kecerdasan
emosional, (7) penilaian dan pengambilan keputusan, (8) orientasi melayani, (9)
kemampuan bernegoisasi, dan (10) fleksibilitas berpikir. Bagian berikut menguraikan
hakikat dan cara mengembangkan 10 keterampilan itu secara singkat.
(1)
Pemecahan Masalah yang Kompleks
Keterampilan ini mengacu pada kemampuan seseorang
untuk menyelesaikan masalah-masalah baru (masalah yang masih asing karena belum
pernah dihadapi) secara cepat. Masalah-masalah seperti ini akan banyak muncul sebagai
dampak dari arus perubahan yang akseleratif. Kemampuan ini tidak dibawa lahir,
tapi diperoleh melalui latihan-latihan berkelanjutan yang melibatkan
keterampilan berpikir kritis dan kreatif. Berbagai penelitian (Slota
2013; Akcanglu
and Koehler, 2014; Shute
&
Emihovich, 2018) menunjukkan bahwa kemampuan ini dapat ditingkatkan dengan
cara bermain video games. Icebreaker Idea
(2017) merekomendasikan berbagai aktivitas individual maupun kelompok untuk
meningkatkan kemampuan memecahkan masalah.
(2) Berpikir
Kritis,
Berpikir kritis mengacu pada kemampuan menggunakan
logika dan penalaran untuk: (a) mengidentifikasi isu dan asumsi utama dalam
sebuah argument; (b) nengenal hubungan-hubungan antar ide; (3) menarik
kesimpulan secara benar berdasarkan data; dan (d) mengevaluasi bukti-bukti atau
otoritas yang tersedia. Penelitian mengungkapkan bahwa membaca fiksi (novel,
cerita pendek), menulis (esay, fiksi, karya ilmiah) dan melakukan ‘bermain-peran’
efektif dilakukan untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis.
(3)
Kreativitas
Kreativitas adalah sebuah proses, produk, atau
interaksi yang menghasilkan ide, pemikiran, atau produk baru dengan menggunakan
keterampilan berpikir kreatif. Berpikir kreatif itu sendiri merupakan keterampilan
yang digunakan untuk menghasilkan ide-ide baru yang orisinal, masuk akal, dan
bermanfaat dengan cara: (a) menghubungkan dan mengkombinasikan beberapa ide
lama menjadi sebuah atau beberapa ide baru; (b) mereduksi elemen ide-ide lama
untuk menciptakan sebuah atau beberapa ide baru yang lebih efektif; (c)
mengeksplorasi sebanyak mungkin kemungkinan yang terdapat dalam konsep-konsep
yang ada sesuai dengan kaidah-kaidah saat ini; dan (d) mengubah satu atau
beberapa kaidah yang ada secara signifikan untuk membentuk konsep-konsep baru.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kegiatan membuat dan mengapresiasi karya
seni efektif untuk meningkatkan kreativitas.
(4)
Manajemen Manusia
Manajemen manusia mengacu pada kemampuan memotivasi
anggota tim untuk memaksimalkan produktivitas mereka dan merespon kebutuhan
mereka. Dengan kemampuan ini, seseorang dapat mendelegasikan tugas dan
memberdayakan orang lain. Sarkar (2015) menyarankan
lima cara untuk mengembangkan kemampuan manajemen manusia: berkonsentrasi pada
kecerdasan emosional (emotional quotien), melibatkan setiap orang, focus pada
keterampilan berkomunikasi, mengedepankan empati, dan menghargai kontribusi.
(5)
Kemampuan Berkolaborasi,
Berkolaborasi dengan orang lain membutuhkan keterampilan
berkomunikasi yang mumpuni, pemahaman atas kekuatan dan kelemahan orang lain,
dan kemampuan bekerjasama dengan berbagai orang yang memiliki kepribadian
beragam. Untuk mengembangkan kemampuan ini, melakukan aktivitas bermain-peran
dan menyelesaikan tugas kelompok sangat direkomendasikan.
(6)
Kecerdasan Emosional,
Kecerdasan emosional mengacu pada kemampuan
memonitor emosi sendiri maupun orang lain, membedakan berbagai tipe emosi
secara tepat, dan menggunakan informasi itu sebagai landasan berpikir, bertindak,
dan mempengaruhi emosi orang lain (Goleman,
1995). Kecerdasan emosional sangat diperlukan oleh manajer dan pemimpin. Stahl (2018) mengusulkan 5 strategi berikut untuk mengembangkan kecerdasan
emosional: (a) kendalikan emosi anda; (b) gunakan kata-kata yang baik; (c)
selalulah berempati; (d) kenali hal-hal yang membuat anda tertekan; dan (e)
bangkitlah dari kegagalan.
(7)
Penilaian dan Pengambilan Keputusan
Keahlian menilai dan mengambil keputusan
mencakup kemampuan untuk mengidentifikasi pilihan, menilai risiko, menganalisis
informasi, dan membuat pilihan. Untuk mengembangkan, Busine (2015) menyarankan lima metode pengembangan keterampilan
menilai yang dapat dilakukan secara simulasi atau situasi nyata. Pertama, metode
kasus, yakni strategi pembelajaran yang bertujuan untuk menigkatkan pengalaman dalam
menangani kasus pekerjaan aktual. Kedua, simulasi kepemimpinan, sebuah metode
yang efektif untuk membantu peserta memahami dampak dari keputusan mereka dan
mendapatkan wawasan pribadi melalui penilaian diri, catatan jurnal, dan alat
umpan balik dari rekan sewaktu mereka terlibat dalam situasi bisnis yang sering
dihadapi oleh para pemimpin senior. Ketiga, memperoleh pengetahuan yang relevan
dengan korporasi, bisnis, dan disiplin. Keempat, mengembangkan kewaspadaan atas
gaya kepemimpinan masing-masing dan potensi kesalahan yang dapat memengaruhi
penilaian dan tindakan. Terakhir, mempelajari dan menerapkan model pengambilan
keputusan konvensional dan kontemporer, dan memastikan kapan masing-masing model
itu paling sesuai untuk diimplementasikan. Hasil beberapa penelitian, Frick (2018) menawarkan tiga kaidah yang
harus diikuti untuk membuat keputusan yang lebih baik: (1) Membiasakan diri mengambil
keputusan dalam situasi yang tidak pasti; (2) Tanyakan "Seberapa sering
hal itu terjadi?"; dan (3) Berpikir secara probabilistik - dan menguasai
teori-teori probabilitas dasar.
(8)
Orientasi Melayani
Keterampilan berorientasi pelayanan
mengacu pada sikap dan perilaku positif yang menunjukkan kesadaran dan kemauan
untuk merespons dan memenuhi kebutuhan, persyaratan, dan harapan pelanggan.
Keterampilan ini sangat penting karena dalam setiap bisnis pelanggan adalah
komponen inti. Mereka harus selalu dijadikan prioritas utama. Pelanggan yang
bahagia dapat membantu perusahaan membangun kredibilitas dan menghasilkan lebih
banyak bisnis. Penelitian Tempkin
Group (2016) menunjukkan bahwa 77% pelanggan cenderung merekomendasikan
perusahaan kepada teman-teman jika mereka memiliki pengalaman positif.
(9)
Kemampuan Bernegoisasi
Keterampilan negosiasi mengacu pada
kemampuan untuk mencapai kesepakatan tentang berbagai perbedaan melalui
kompromi dan menghindari argumen atau perselisihan. Edwards
(2016) menyarankan lima latihan yang dapat dilakukan
berulang kali untuk meningkatkan keterampilan negosiasi: (1) Latihan mengatakan
tidak; (2) Pelajari isyarat bahasa tubuh; (3) Dengarkan orang lain; (4)
Melakukan penelitian yang lebih baik; dan (5) Menegosiasikan segala hal.
(10)
Fleksibilitas Mental.
Fleksibilitas kognitif mengacu pada
kemampuan otak untuk secara cepat beralih dari memikirkan satu hal ke hal lain,
khususnya ketika kondisi baru dan tidak terduga terkait dengan suatu pekerjaan
muncul. Berbagai studi merekomendasikan aktivitas membaca, memainkan
"permainan otak", dan memahami serta menyelesaikan proyek kelompok efektif
untuk mengembangkan fleksibilitas mental.
Selain pengembangan 10 keterampilan di
atas, Basu (2017) menyarankan setiap individu untuk
menambahkan beberapa keterampilan baru yang diperlukan di masa depan.
Meningkatkan visibilitas jejak online positif, peningkatan citra diri, pengembangan
jejaring, peningkatan adaptasi startup, dan menjaga kesehatan juga sangat
penting. Dengan demikian, kemampuan untuk menggunakan teknologi informasi dan
komunikasi adalah suatu keharusan.
Sebagai kesimpulan, jelaslah bahwa untuk
menciptakan kehidupan yang lebih nyaman dan makmur, manusia terus menciptakan
alat yang dapat membantu, bahkan menggantikannya menyelesaikan berbagai
pekerjaan. Oleh karena itu, disrupsi teknologi tidak dapat dihindari atau
dilarang. Untuk merespons dengan baik, kita harus mempersiapkan diri
beradaptasi dengan semua perubahan yang tak terhindarkan. Persiapan dapat
dimulai dengan menyadari bahwa pekerjaan yang telah dan akan diambil alih oleh
robot merupakan tugas-tugas yang melelahkan, dan mencakup pekerjaan yang rutin,
berulang, dan dapat diprediksi. Pekerjaan yang membutuhkan pemikiran tingkat
tinggi dan kreativitas, dan profesi yang melibatkan hubungan manusia yang
kompleks tidak akan tersentuh oleh mesin. Selain itu, kita juga harus menyadari
bahwa selain mengambil alih berbagai pekerjaan, otomatisasi juga menciptakan
banyak pekerjaan baru. Yang harus kita respon adalah: “Apakah kita siap untuk
mengembangkan kompetensi dan keterampilan yang dibutuhkan oleh pekerjaan yang
tidak akan pernah diambil-alih oleh robot maupun pekerjaan baru yang akan muncul
tersebut?
Bagaimana pendapat Anda tentang topik dalam artikel ini? Silahkan tuliskan pendapat Anda di bagian komentar di bawah ini.
Bagaimana pendapat Anda tentang topik dalam artikel ini? Silahkan tuliskan pendapat Anda di bagian komentar di bawah ini.
\
Comments
Post a Comment