Skip to main content

Menjadi Guru “Zaman Now” dan Cara Pembelajaran Siswa Memasuki Era Industri 4.0


Menjadi Guru "Zaman Now" dan Cara Pembelajaran Siswa Memasuki Era Industri 4.0


Parlindungan Pardede

parlpard2010@gmail.com

Christian University of Indonesia

  

ABSTRAK

Penelitian dari seluruh penjuru dunia mengungkapkan guru merupakan pemeran utama dalam proses pendidikan dan guru berkualitas (menguasai bidang studi, kompetensi pedagogis, manajemen kelas, komitmen memberikan pelayanan terbaik, dan kemauan untuk terus mengembangkan diri) adalah kunci bagi keberhasilan pembelajaran siswa. Karena kompetensi guru tidak statis, tapi berkembang sesuai dengan kebutuhan peserta didik dan tuntutan zaman, maka agar tetap berkualitas di Era Industri 4.0, yang ditandai dengan penggunaan mesin-mesin pintar dalam semua sektor kehidupan, sangat urgen bagi guru untuk mampu menerapkan pembelajaran berbasis teknologi. Urgensi ini diperkuat oleh kenyataan bahwa semua peserta didik saat ini adalah Generasi Z yang tidak terpisahkan dari penggunaan mesin pintar dalam kehidupan mereka. Penggunaan teknologi secara intensif telah membentuk berbagai gaya belajar khas dalam diri Generasi Z, dan gaya-gaya belajar itu dapat difasilitasi dengan menggunakan teknologi. Selain itu, teknologi juga telah menimbulkan beberapa masalah dalam pembelajaran, dan solusi paling tepat justru ditawarkan oleh teknologi itu sendiri melalui penerapan blended learning, khususnya flipped classroom.

Kata kunci: Generasi Z, kompetensi guru, pembelajaran berbasis teknologi, flipped classroom.


PENDAHULUAN

Guru merupakan pemeran utama dalam pelaksanaan proses pendidikan dan sekaligus menjadi kunci  keberhasilan bagi proses itu. Kurikulum yang sempurna, fasilitas pendidikan yang canggih, peraturan akademik yang rinci, regulasi yang lengkap, atau kucuran dana berlimpah tidak akan berpengaruh banyak pada keberhasilan siswa tanpa dukungan pembelajaran berkualitas oleh guru. Berbagai penelitian (McCaffrey et al., 2003; Rivkin, Hanushek, & Kain, 2000; Rowan, Correnti & Miller, 2002) mengungkapkan kualitas guru merupakan unsur sekolah terpenting dalam capaian pembelajaran, dan efek guru pada pembelajaran siswa ternyata bersifat kumulatif dan tahan lama (McCaffrey et al., 2003; Rivers, 1999). Sehubungan dengan itu, untuk mensukseskan pendidikan, peningkatan kualitas guru merupakan keharusan. 

Siapakah guru berkualitas yang berperan sangat penting dalam keberhasilan pembelajaran siswa itu? Jawaban terhadap pertanyaan ini bisa sangat variatif, karena kriteria guru berkualitas sangat bergantung pada nilai-nilai, lingkungan, sosial-budaya, dan situasi kehidupan dan tujuan/harapan setiap masyarakat. Karakteristk guru berkualitas di indonesia di eras 1950-an berbeda dengan yang di era 1980-an maupun 2000-an. Karakteristik guru berkualitas di Finlandia bisa saja berbeda dengan guru berkualitas di Korea Utara.

Makalah ini membahas dua topik yang saling berhubungan. Topik pertama mencoba mengidentifikasi karakteristik guru berkualitas “zaman now” (era Industri 4.0). Topik kedua mencoba menelusuri cara pembelajaran yang sesuai bagi siswa untuk mempersiapkan diri mereka memasuki kehidupan (khususnya pekerjaan) di era Industri 4,0, 

DISKUSI

Karakteristik Guru Berkualitas

Secara universal, dalam konteks pendidikan modern, banyak penelitian telah dilakukan tentang kualitas guru. Akan tetapi, belum ada konsensus baku tentang guru yang berkualitas. Meskipun demikian, sebagai titik tolak diskusi dalam makalah ini, berikut ini disajikan beberapa rumusan atau ciri-ciri guru berkualitas dalam konteks kehidupan global. 

Menurut Scherer (2003), guru berkualitas senantiasa: (1) menyediakan waktu bagi semua hal yang terkait dengan tugasnya, (2) mencintai kelompok usia siswa yang diajari, (3) menguasai manajemen kelas, (4) berhubungan secara positif dengan orang lain, (5) mengupayakan pelayanan terbaik (excellent) secara konsisten, (6) ahli dalam metode pembelajaran, (7) menguasai bidang studinya secara mendalam, (8) siap untuk bertumbuh dan berkembang sesuai tuntutan perubahan, (9) memiliki tujuan yang mantap dan kepribadian pendidik. Ciri-ciri ini relatif sama dengan empat kompetensi yang harus dimiliki guru berkualitas menurut UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen, yakni: profesional, pedagogik, sosial, dan personal. Kompetensi pedagogik mencakup pemahaman tentang peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. Kompetensi kepribadian mengacu pada kemampuan personal yang tercermin dari sikap yang mantap, stabil, jujur, dewasa, arif, berwibawa, ikhlas, suka menolong, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia. Kompetensi profesional meliputi penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam, yang mencakup penguasaan materi kurikulum mata pelajaran di sekolah dan substansi keilmuan yang menaungi materinya, serta penguasaan terhadap struktur dan metodologi keilmuannya. Kompetensi sosial adalah kemampuan guru untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta didik, dan masyarakat di lingkungannya.

Esensi keempat kompetensi dan sub-sub kompetensi tersebut sebagai komponen penyusun guru berkualitas juga senada dengan pernyataan The Center for High Impact Philanthropy (2010) yang menggambarkan guru berkualitas sebagai berikut. “Seorang guru berkualitas merupakan orang yang berdampak positif pada pembelajaran dan pengembangan siswa melalui kombinasi penguasaan konten, seperangkat keterampilan pedagogik yang luas, dan keterampilan komunikasi/interpersonal. Guru yang berkualitas adalah pembelajar seumur hidup dalam bidang studi mereka, mengajar dengan komitmen, dan reflektif atas praktik pengajaran mereka. Mereka memfasilitasi pengembangan pengetahuan dan keterampilan siswa dalam pelajaran yang diampu melalui proses pembelajaran dan komunikasi yang baik; menguasai keterampilan diagnostik, berbagai gaya belajar dan pengaruh budaya, pengetahuan tentang perkembangan siswa, dan kemampuan untuk menyusun beragam teknik untuk memenuhi kebutuhan siswa. Mereka menetapkan harapan yang tinggi dan mendukung siswa dalam mencapainya. Mereka membangun lingkungan yang kondusif untuk pembelajaran, dan memanfaatkan sumber daya yang tersedia di luar maupun di dalam kelas. 

Mengapa guru berkualitas sangat bergantung pada kompetensi yang dimilikinya? Kualitas berwujud abstrak. Oleh sebab itu, dia dapat diukur hanya dengan cara mengevaluasi komponen-komponen konkrit penyusunnya, dan komponen penyusun kualitas guru adalah kompetensi. Secara umum, kompetensi bermakna kewenangan (kekuasaan) untuk menentukan (memutuskan) sesuatu (KBBI, 2016). Business Dictionary membatasinya sebagai himpunan kecakapan, komitmen, pengetahuan, dan keterampilan yang saling terkait, yang memampukan seseorang bertindak secara efektif dalam suatu tugas atau situasi. Pasal 1 ayat 10 UU No 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, disebutkan bahwa kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati dan dikuasai guru atau dosen dalam melaksanakan tugas profesionalnya. Dengan mengkombinasikan berbagai batasan di atas, dapat dikatakan bahwa kompetensi mencakup pengetahuan, keterampilan, kecakapan, kewenangan, dan tanggungjawab untuk mendukung seseorang bertindak dalam tugas profesionalnya dalam berbagai situasi. Kepemilikan semua kompetensi guru dengan baik akan memampukannya mensukseskan pembelajaran semua siswa yang dididiknya. Guru seperti itulah yang disebut guru yang berkualitas. 

Kompetensi guru tidak statis, tetapi berkembang secara dinamis sesuai dengan perubahan yang ada. Perubahan-perubahan yang lazim terjadi dan menuntut penyesuaian kompetensi guru, misalnya: peningkatan jenjang karir, pergantian siswa yang dididik, perkembangan situasi dan tuntutan masyarakat, dan sebagainya. Sehubungan dengan itu, keempat kompetensi guru dan sub-sub kompetensi masing-masing yang dirumuskan dalam UU No. 14/2005 harus dipandang sebagai standar. Dalam praktik, semua kompetensi dan sub-sub kompetensi itu harus disesuaikan dengan kondisi yang ada. 


Guru Berkualitas “Zaman Now”.

Sebagaimana disebutkan sebelumnya, dalam konteks Indonesia, guru berkualitas adalah guru yang memiliki kompetensi profesional, pedagogik, sosial, dan personal. Ciri-ciri ini telah dirumuskan dengan mempertimbangkan ideologi bangsa, tujuan pembangunan, konsep pendidikan universal, kehidupan global dan berbagai unsur terkait lainnya. Namun, untuk melihat gambaran guru “zaman now”, keempat kompetensi itu perlu dilihat dalam konteks kehidupan saat ini. Secara universal, kehidupan manusia, termasuk bangsa Indonesia, saat ini telah berada dalam Revolusi Industri 4.0 (RI-4). Oleh karena itu, keempat kompetensi itu perlu dikaji dalam konteks RI-4, dan untuk melakukannya diperlukan gambaran singkat namun komprehensif tentang kehidupan di era RI-4 tersebut.

 

Revolusi Industri 4.0

Istilah revolusi industri berhubungan dengan berbagi gelombang perubahan mendasar yang terjadi di bidang industri (pertanian, manufaktur, pertambangan, transportasi, dan teknologi) dan berdampak besar terhadap kondisi sosial, ekonomi, dan budaya dunia, Hingga saat ini telah terjadi 4 fase revolusi industri, yang dikenal dengan  Industri 1.0, 2.0, 3.0, dan 4.0. Industri 1.0 ditandai dengan munculnya mekanisasi produksi untuk mendukung efektivitas dan efisiensi kegiatan manusia. Terjadi pada tahun 1750-1870, fase ini ditandai dengan penemuan mesin uap (1784) dan kereta api pertama (1804). Pada fase ini, industri berkembang dengan bantuan fasilitas produksi mekanis yang menggunakan tenaga air dan uap. Pekerjaan yang awalnya mengandalkan tenaga manusia dan hewan digantikan oleh mesin. Industri 2.0  berlangsung pada tahun 1870-1971, yang dipicu oleh penemuan pembangkit listrik, motor bakar, telefon,  pesawat terbang, dan sebagainya yang membuat proses transportasi dan komunikasi dapat dilakukan secara cepat. Fase ini ditandai dengan produksi massal dan standardisasi kualitas. Industri 3.0 berlangsung pada tahun 1971-2010. Dipicu oleh  penemuan komputer dan internet, aplikasi memory programmable controls dalam komputer memungkinkan pembuatan robot (mesin yang dapat bekerja secara otomatis). Pasca 2010,  Industri 4.0 dimulai, yang ditandai dengan kolaborasi antara peralatan fisik dengan IoT (internet of things), AI (Artificial intelligence), UV (Unnamed Vehicle), MT (Mobile Technology), sistem penyimpanan, dan fasilitas produksi sehingga seluruh proses produksi, termasuk pengumpulan dan analisis data serta pengambilan keputusan dilaksanakan secara mandiri dan otomatis.

Hermann et al (2016) menjelaskan empat prinsip desain industri IR 4.0. Pertama, interkoneksi antara mesin, perangkat, sensor, dan orang. Interkoneksi nirkabel (wireless) ini memungkinkan keempat elemen itu senantiasa berkomunikasi satu sama lain dalam jaringan kerja melalui Internet of Things (IoT) atau Internet of People (IoP). Melalui jaringan kerja itu manusia dapat berkolaborasi dengan elemen-elemen lain untuk mengontrol seluruh proses produksi dengan mudah. Kedua, transparansi informasi yang dihasilkan oleh kemampuan sistem informasi membuat salinan virtual dari dunia fisik dan memperkayanya menjadi model digital dengan memanfaatkan sensor, analisis data dan penyediaan informasi. Interkoneksi antar elemen membuat informasi yang tersedia semakin lengkap, dan transparansi informasi memungkinkan semua elemen dapat mengakses semua informasi untuk membuat keputusan secara bersama-sama atau mandiri (sesuai dengan fungsiinya) berdasarkan informasi global atau lokal. Ketiga, penyediaan bantuan teknis oleh teknologi informasi bagi manusia. Bantuan pertama adalah pengumpulan, pengolahan, analisis dan visualisasi informasi (hingga mudah dipahami) secara cepat sehingga manusia dapat membuat keputusan yang tepat dan memecahkan masalah yang mendesak dalam waktu singkat. Bantuan kedua bersifat fisik, yakni menggantikan manusia dalam melaksanakan tugas-tugas berat dan berbahaya. Keempat, pembuatan keputusan terdesentralisasi yang didukung oleh kemampuan sistem fisik virtual membuat keputusan sendiri dan melaksanakan tugas seefektif mungkin. Dalam praktiknya, penggunaan fitur-fitur IR 4.0 itu memungkinkan pekerja (manusia) untuk berkolaborasi dengan mesin dan/atau robot, mengendalikan dari jarak jauh (remote controlling) pekerjaan yang dilakukan mesin, mengelola pekerjaan berbasis digital, dan mengotomatiskan pengetahuan pekerjaan. Prinsip IR 4.0 diilustrasikan dalam Gambar 1 berikut.

Yang membuat RI-4 unik dibandingkan dengan revolusi sebelumnya adalah aplikasi kecerdasan buatan (artificial intelliecence). Aplikasi inilah yang mengkkordinir mesin hingga menjadi robot pintar, yang dapat bekerja dengan cepat, efektif dan efisien menggantikan tenaga manusia. Contoh sederhana robot pintar yang lazim digunakan sehari-hari adalah smartphone. Interkoneksi dan komunikasi antar unit dalam perangkat ini memungkinkan pemiliknya untuk membukanya melalui pengenalan suara atau finger-printSmartphone juga dapat mengunci sendiri jika tidak digunakan dalam jangka waktu tertentu, sesuai dengan  program yang dibuat pemiliknya. Karena terkoneksi dengan internet, smartphone juga bisa diminta menyediakan ramalan cuaca atau pergerakan kurs mata uang dunia, menemukan lokasi restoran terdekat, atau menunjukkan jalan menuju tempat yang belum pernah dikunjungi sebelumnya.

Setiap revolusi industri pasti membawa manfaat dan sekaligus tantangan di seluruh bidang kehidupanDi bidang pekerjaan, misalnya, sebelum RI-1 semua pekerjaan di sektor pertanian di Amerika Serikat dilakukan oleh manusia dan hewan. Selama RI-2, 60% pekerjaan di sektor itu yang ditangani oleh mesin. Lalu, di awal RI-4 saat ini,  hanya tinggal 2% pekerjaan itu yang dilakukan manusia. Proses pengiriman dokumen antar negara yang pada tahun 1970-an bisa membutuhkan waktu seminggu, pada saat ini dapat dilakukan secara “online” dalam waktu kurang dari satu menit. Dengan mengalihkan banyak pekerjaan kepada mesin, kehidupan manusia semakin mudah dan nyaman hingga manusia memiliki lebih banyak kesempatan melakukan aktivitas-aktivitas yang terkait langsung dengan kreativitasnya.

Setiap revolusi industri juga memunculkan berbagai tantangan. Tantangan pertama adalah kebutuhan untuk beradaptasi dengan sistem, bentuk, pola, dan kondisi kehidupan yang baru, khususnya di bidang pekerjaan, sosial, dan pendidikan. Setiap perubahan itu tidak dapat ditunda, apalagi dicegah. Oleh karena itu, satu-satunya respon yang tepat adalah beradaptasi.  Sebagai contoh, banyak pekerjaan yang mapan selama Industri 3.0 (kasir, penjual tiket, pengantar surat) “dirampas” oleh robot. World Economic Forum (2018) memprediksi, hingga 2022 robot akan merebut pekerjaan 75 juta orang, namun dalam periode yang sama juga tercipta pekerjaan baru untuk 135 juta orang. Selama masa transisi dari sistem, bentuk, pola, dan kondisi kehidupan lama ke yang baru, kebanyakan orang yang terdampak pasti mengalami kesulitan. Namun, setelah melalui masa transisi itu, orang biasanya akan kembali menjalani hidup dengan tenang.

Apakah pekerjaan guru termasuk dalam kelompok yang akan direbut oleh otomatisasi? Jika teknologi bisa menggantikan orang di berbagai bidang pekerjaan, tentu tidak tertutup kemungkinan bahwa teknologi juga akan menggantikan orang yang bekerja di bidang pendidikan. Namun, menurut Ford (2016), pekerjaan yang rentan untuk digantikan oleh robot adalah pekerjaan yang sifatnya berulang-ulang (rutin), manual dan dapat diprediksi, seperti kolektor biaya tol, kasir toko, penjual tiket (di stadion, kereta api, pesawat udara), buruh pabrik, pekerja konstruksi, dan lain-lain yang masuk dalam kategori ini.  Sedangkan pekerjaan yang melibatkan kreativitas orisinil, profesi yang melibatkan hubungan kompleks antar manusia, atau pekerjaan yang sangat tidak terduga akan terhindar dari ancaman robot. Sebagian dari pekerjaan guru sehari-hari, seperti  memeriksa kehadiran siswa, memeriksa tes objektif, mendokumentasi data siswa, menyajikan materi pembelajaran termasuk dalam kategori berulang-ulang (rutin), manual dan dapat diprediksi. Aktivitas seperti ini akan diambil alih oleh robot. Tugas menyemangati; menularkan keterampilan hidup,  sikap, dan nilai (values); menjadi model yang inspiratif bagi siswa tidak dapat dilakukan robot.  Memahami kondisi psikis dan psikologis siswa dan menggunakan sentuhan kemanusiaan  hanya dapat dilakukan oleh guru. Jadi, teknologi tidak akan merampas profesi guru.

Akan tetapi, kehadiran teknologi untuk membantu guru dalam melaksanakan aktivitas-aktivitas yang berulang-ulang (rutin), manual dan dapat diprediksi tidak dapat dihindarkan. Sebagai contoh, hingga awal tahun 1980-an, misalnya, informasi dianggap setara dengan pengetahuan. Pada masa itu, jumlah dan bentuk informasi sangat terbatas hingga mudah dikelola. Karena keterbatasannya, orang yang memperoleh informasi dapat menggunakannya sebagai keunggulan kompetitif. Namun, aplikasi internet dan kecerdasan buatan pada saat ini telah  membuat informasi tersedia dalam jumlah, bentuk dan ukuran yang sangat banyak dan semakin lama tumbuh semakin tak terkendali. Perubahan ini membuat peran guru berubah total. Hingga tahun 1970-an guru merupakan sumber utama pengetahuan. Oleh karena itu, siswa harus mendengar, mencatat, bahkan menghapal setiap kata-kata yang diucapkan guru. Oleh karena itu, ceramah merupakan  metode pembelajaran yang sangat efektif pada masa itu. Melalui internet, sekarang siswa dengan mudah dapat mengakses informasi yang mungkin lebih mutakhir daripada yang dikuasai guru. Bahkan informasi itu tersedia dalam berbagai bentuk (sketsa, gambar, video) yang lebih menarik bagi siswa. Dengan demikian, sangat dimungkinkan bagi siswa untuk mengetahui isi pelajaran jauh sebelum guru menjelaskannya di kelas.

Selain itu, TIK memungkinkan untuk menyelenggarakan pembelajaran virtual (online) secara sistematis, sebagaimana terlihat dari menjamurnya Massive Open Online Courses (MOOCs) di berbagai belahan dunia. Pembelajaran yang tidak dibatasi oleh ruang dan waktu ini meawarkan dikemas semakin menarik. Materinya disediakan dalam bentuk teks maupun video agar peserta dapat semakin mudah memahaminya. Selain itu, tersedia kuis-kuis formatif otomatis yang dapat digunakan oleh peserta untuk mengukur penguasaan materi belajarnya. Tidak sedikit pula penyelenggara MOOCs yang menyediakan sertifikat tanda lulus bagi peserta. Karena banyak penyelenggara program itu merupakan lembaga-lembaga ternama, sertifikat itu memperoleh pengakuan instansi-instansi dunia.

Dengan kondisi seperti ini, guru ditantang untuk mampu mengembangkan kompetensi profesionalnya tidak hanya dalam aras pembelajaran konvensional, tetapi juga di lingkungan pembelajaran berbasis teknologi. Selain tetap menyegarkan dan mengembangkan substansi pengetahuan di bidang studinya secara berkesinambungan, guru “zaman now” juga perlu mengetahui dan mengakses situs-situs internet yang relevan dengan bidang studinya. Sangat disarankan juga bagi guru untuk mengembangkan situs atau blog pribadi sebagai sarana baginya untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman dan sekaligus tetap memutakhirkan kompetensi profesionalnya. Selain sebagai sarana berbagi dengan siswanya yang secara alami terbiasa berinternet, situs/blog itu juga dapat digunakan sebagai sarana pengembangan profesionalisme di bidang menulis, publikasi, keterampilan TIK, dan jejaring.

Selain kompetensi profesional, RI-4 juga memberikan tantangan dahsyat kepada kompetensi pedagogik guru. Ilmu pedagogik yang dikuasai para pendidik saat ini pada umumnya didasarkan pada hasil-hasil penelitian terhadap Generasi X dan Y, sedangkan siswa saat ini merupakan Generasi Z  yang memiliki karakteristik berbeda dengan generasi-generasi sebelumnya. Sehubungan dengan itu, untuk lebih memahami siswa saat ini, mari kita lihat gambaran karakteristik mereka.


Generasi Z (iGen)

Generasi Z (GenZ), yang juga dijuluki Post-millenials, iGeneration (iGen), Net Gen, atau Digital Natives, lahir di antara tahun 1996 hingga 2015 (saat ini berusia 4-23 tahun). Mayoritas anggota generasi ini sedang bersekolah atau kuliah, dan sebagian kecil sudah bekerja. Berbeda dengan generasi-generasi sebelumnya yang sudah banyak diteliti, penelitian tentang generasi ini baru mulai digalakkan. Oleh karena itu, informasi tentang Generasi Z masih relatif terbatas. Berikut ini merupakan karakteristik Generasi Z yang terkait dan diperlukan sebagai landasan pembahasan di bidang pendidikan.

GenZ lahir dan tumbuh di era perubahan yang sangat cepat sebagai akibat dari kemajuan teknologi khususnya teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang didukung internet. Bahkan sering dikatakan GenZ lahir dengan handphone di tangan, sehingga mereka tidak terpisahkan dari TIK. Tidak sedikit anggota generasi sebelumnya yang menuduh GenZ “kecanduan” menggunakan smartphone karena banyaknya waktu yang digunakan bersama teknologi itu. Menurut Mediakix (2018), 98% GenZ di AS memiliki handphone; hampir separuh dari mereka mengakses semua informasi yang mereka butuhkan selama 7 jam/hari; dan 71% dari mereka menonton video secara “online” lebih dari 3 jam per hari. Penelitian LivePerson (dalam Hyken, 2017) menunjukkan bahwa 65% GenZ di AS, Inggris, Jerma, Australia, Jepang, dan Prancis berkomunikasi lebih banyak melalui perangkat TIK daripada tatap muka. Berdasarkan negara, jumlah tertinggi ada di Inggris (74,4%) dan AS (73,7%). Namun menurut Bliss (dalam Global news, 2018), banyaknya waktu yang digunakan GenZ untuk aktivitas “online” bukan karena kecanduan, tetapi karena teknologi merupakan perpanjangan (ekstensi) diri mereka. Seseorang sering menggunakan “tangan kanannya” bukan karena kecanduan. Bagi mereka, TIK bukan sejenis alat, tetapi cara hidup.

Di Indonesia, penelitian Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (2018) menyatakan bahwa pada tahun 2018 dari 264.161.600 jiwa penduduk, sebanyak 171.176.716 (64.8%) menggunakan internet. Dibandingkan tahun sebelumnya, tingkat pertumbuhan pengguna internet adalah 10,12%. Dilihat dari sisi usia, ternyata 25.2% anak-anak berusia 5-9 tahun telah menggunakan internet. Sedangkan anak-anak berusia10-14 tahun yang menggunakan internet adalah 66,2%, dan 91% remaja berusia 15-19 tahun merupakan pengguna internet (lihat Gambar 2). Data-data ini menunjukkan bahwa GenZ di Indonesia, sebagaimana halnya di AS, juga tumbuh bersama TIK. Saking terbiasanya menggunakan TIK, mereka sudah menganggap teknologi itu bagian dari tubuh mereka. Tidak mengherankan jika 61.8% GenZ mengatakan lebih baik dompet mereka yang tertinggal di rumah daripada handphone! (Hyken, 2017). 

Keakraban GenZ dengan penggunaan TIK untuk mengakses informasi memang membuat mereka terampil dalam penggunaan teknkologi. Karena kehidupan dalam RI-4 sangat mengandalkan teknologi, penguasaan keterampilan ini tentu sangat bermanfaat bagi mereka. Selain itu, mereka juga dapat mengakses informasi apapun yang diperlukan secara mudah dan cepat. Dengan demikian, mereka pengetahuan mereka tentang isu-isu yang diakses tetap akan mutakhir (updated). Akan tetapi, di lain sisi, keakraban dengan TIK itu juga menimbulkan paling tidak dua masalah. Pertama, GenZ sangat menyukai kenyamanan dalam bentuk pemerolehan sesuatu secara instan dan gampang. Kedua, mereka sangat tidak sabar membaca secara mendalam (deep reading), apalagi teks cetak yang panjang dan padat isi (kompleks).

GenZ sangat menyukai hal-hal yang instan dan gampang dilaksanakan/diperoleh berkembang dari pengalaman mereka melaksanakan banyak aktivitas (berkomunikasi, akses informasi, transaksi perbankan, belanja, dll.) secara online secara mudah dan cepat. Akibatnya mereka sangat menyukai kenyamanan. Gazdecki (2016) menggambarkan fenomena ini dengan mengatakan bahwa GenZ memandang kenyamanan bukan sebagai kemewahan, tetapi keharusan. Mereka tidak percaya bahwa berkeringat membuat seseorang lebih baik. Sebaliknya, dalam pandangan mereka, jika seseorang dapat menyelesaikan suatu pekerjaan atau meraih sesuatu tanpa kerja keras, mengapa dia tidak melakukannya? Bagi GenZ, tidak ada gunanya melakukan sesuatu sendiri jika teknologi atau seseorang bisa membuat orang lain melakukannya seefektif yang bisa dia lakukan sendiri. Jadi, kesukaan GenZ terhadap kenyamanan tidak disebabkan oleh kemalasan. Bagi mereka, kenyamanan adalah sisi lain dari efisiensi. Jangan heran jika ada siswa yang menuntut gurunya segera mengevaluasi tugas atau pekerjaan rumah yang baru saja di-email-nya.

Kebiasaan mengakses informasi secara cepat dan instan juga telah membuat GenZ sangat tidak sabar membaca secara mendalam (deep reading). Karena sangat mengandalkan TIK untuk mengakses informasi, mereka jadi terbiasa hanya membaca ringan (light reading) dengan cara membaca untuk mendapatkan bagian-bagian informasi yang sesuai dengan agenda mereka saja. Karena menelusuri informasi yang terkait dengan topik apa pun di internet dapat dilakukan dengan mudah dan instan, mereka hanya membaca sepintas teks dalam hitungan detik, pindah ke teks lain dan membaca dengan teknik skimming untuk mendapatkan informasi yang mereka butuhkan. Kecenderungan untuk menggunakan skimming kemudian diperkuat oleh penyediaan konten visual seperti video di YouTube. Kalaupun mereka membaca teks, yang ditelusuri hanya sebagian kecil dari kata-kata di teks itu. Nielsen (2008) melaporkan bahwa sebagian besar pengguna internet cenderung membaca rata-rata hanya 20% dari kata-kata di sebuah halaman Web. Singkatnya, kebiasaan membaca di media online telah mengikis keterampilan membaca mendalam (deep reading) dalam dari GenZ, sehingga mereka cenderung tidak bersedia membaca buku teks yang panjang dan padat isi (kompleks). Kecenderungan ini tentu saja ditunjang oleh kesukaan GenZ terhadap kenyamanan. Jika ditanya, mungkin mereka akan menjawab, “Mengapa saya harus bersusah-susah membaca buku teks jika informasi dapat diperoleh dengan mudah dengan bantuan TIK?”

Penolakan untuk membaca teks yang panjang dan padat isi tentu saja sangat merugikan. Membaca mendalam (deep reading) merupakan keterampilan pokok yang arus dimiliki untuk mensukseskan pembelajaran. Selain sebagai cara utama untuk memperkaya pengalaman dalam rangka meningkatkan pengetahuan, membaca juga merupakan alat paling efektif untuk mempertajam pemikiran analitis dan kritis, mengembangkan kreativitas, meningkatkan konsentrasi, memperkaya kosa kata, dan meningkatkan keterampilan menulis..Tanpa keterampilan membaca yang baik, seorang siswa akan gagal dalam belajar.

Kedua masalah di atas merupakan bagian dari tantangan utama bagi guru “zaman now”. Melarang penggunaan teknologi bukan solusi yang tepat, karena penggunaan ICT tidak dapat dihindari mengingat perannya yang begitu strategis untuk berhubungan dengan seluruh dunia dan untuk mendapatkan informasi tertentu dengan cepat. Hal ini didukung oleh minat yang tinggi pelajar saat ini terhadap pembelajaran berbasis teknologi yang membuat materi pembelajaran mudah diakses dan aktivitas pembelajaran dapat dilakukan kapan saja dan dimana saja (Pardede, 2019), maupun kecenderungan GenZ memandang teknologi sebagai perpanjangan dari diri mereka sendiri.

Kesukaan GenZ terhadap kenyamanan yang medorong mereka enggan “berkeringat” dapat diatasi melalui metode pembelajaran berbasis proyek  atau Project Based learning (PBL). Dengan mengarahkan siswa untuk secara berkelompok maupun individu membuat proyek yang relevan dengan setiap topik pembelajaran, mereka akan terdorong untuk secara aktif mengeksplorasi dan merespon masalah dan tantangan yang nyata yang mereka hadapi. Mereka akan terdorong memahami konsep-konsep yang dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah dan tantangan itu (PBL akan dibahas lebih lanjut dalam bagian berikut).

Untuk membantu GenZ mengatasi krisis membaca mendalam mereka, guru dapat melakukan dua hal. Pertama, mereka harus difasilitasi untuk berlatih membaca mendalam. Oleh karena itu, siswa harus dimotivasi dan difasilitasi untuk menyeimbangkan aktivitas membaca online dan membaca teks-teks cetak yang panjang dan kompleks. Apalagi membaca merupakan keterampilan yang dapat dikembangkan setiap orang melalui latihan. Kedua, ketika mereka sedang dalam proses berlatih deep reading, agar proses pembelajaran tetap berjalan dengan baik, guru perlu menyediakan teks pembelajaran yang lebih sesuai dengan GenZ. Biasanya, teks seperti itu perlu mengikutsertakan elemen-elemen visual (gambar, sketsa, grafik). Oleh karena itu, teks-teks tersebut perlu ditulis dengan gaya yang sedikit lebih populer dan menyertakan gambar-gambar berwarna yang besar. Untuk mencegah teks terlalu "berat" bagi siswa, teks sebaiknya hanya mengikutsertakan konten yang diperlukan. Informasi lebih lanjut atau tambahan dapat diberikan secara integratif dengan menggunakan tautan ke konten online.

Selain kedua poin di atas, Abrahams (2015), menjelaskan bahwa penggunaan teknologi membentuk tiga gaya belajar khas dalam diri GenZ. Pertama, mereka merupakan pembelajar multimodal yang membutuhkan penggunaan berbagai saluran dan media untuk mencerna informasi. Gaya belajar ini dapat difasilitasi dengan cara mengkombinasikan aktivitas membaca online, menonton video, berdiskusi Skype, menulis dalam bentuk pesan teks, atau mendengarkan audio perlu difasilitasi. Penggunaan TIK, yang menawarkan banyak sarana untuk menyalurkan produk-produk audio-visual, presentasi multimedia, dan perangkat lunak yang dapat digunakan dengan mudah untuk menyelenggarakan aktivitas pembelajaran baru (Pardede, 2012) akan sangat membantu guru.

Kedua, GenZ tidak suka “disuapi” dengan materi pembelajaran. Manajemen kelas yang mengharuskan siswa duduk diam dan mendengarkan ceramah guru sangat tidak efektif bagi mereka. GenZ lebih menyukai pembelajaran melalui pengalaman. Jadi mereka perlu merasakan, mendengar, melihat, menyentuh, dan mengalami pelajaran mereka, dan semua aktivitas ini dapat ditingkatkan melalui penggunaan teknologi. Menyuapi GenZ dengan data dan informasi yang kering hanya akan menghasilkan siswa yang “membeo” dan ini sangat tidak relevan dengan realita lingkungan yang dilihat dan dialami oleh Gen Z. Metode ceramah sangat membosankan bagi mereka, sehingga mereka akan lebih tertarik bermain dengan gadget mereka (jika diizinkan untuk dibawa ke kelas), daripada mendengarkan ceramah guru yang mungkin monoton. Siswa bahkan dapat berasumsi bahwa mereka tidak lagi membutuhkan guru karena mereka dapat mengetahui berbagai isi pelajaran secara cepat melalui internet.

Untuk memfasilitasi pembelajaran melalui pengalaman secara efektif, sebagaimana disinggung sebelumnya, penerapan metode PBL merupakan pilihan terbaik. Pardede (2019) menjelaskan bahwa PBL menggunakan proyek atau kegiatan untuk mendorong siswa secara otonom  melakukan eksplorasi, analisis, penilaian, interpretasi, refleksi, sintesis atau kreasi. Semua aktivitas itu membangun pengalaman kepada siswa, dan berdasarkan pengalaman kemudian dikombinasi dengan pengalaman yang telah dimiliki sebelumnya untuk merekonstukti pengetahuan dan keterampilan baru. Berbeda dengan metode ceramah yang hanya melibatkan level berpikir Lower Order Thingkings (LOTs), yakni mengingat dan memahami, PBL melibatkan Higher Order Thinkings  (HOTs), yakni aplikasi, analisis, evaluasi, dan kreasi, sesuai dengan Taksonomi Bloom.

PBL dapat diterapkan dengan meminta siswa melakukan satu proyek kecil untuk setiap toik pembelajaran. Sebagai contoh, ketika siswa sedang mempelajari sebuah cerita pendek dalam mata pelajaran Bahasa Inggris atau Bahasa Indonesia, siswa tidak hanya disuruh membaca cerita itu, tetapi juga diarahkan untuk mementaskan isi cerita dalam bentuk drama. Contoh lain, ketika mempelajari topik “Siklus Air” dalam mata pelajaran IPA (Sains), siswa tidak hanya diminta memahami konsep, tetapi juga meneliti unsur lingkungan sekolah atau rumah yang terlibat dalam siklus air. Lalu mereka menuliskan dan mempresentasikan laporan penelitian masing-masing lengkap dengan foto-foto  unsur lingkungan yang terlibat dalam siklus air. Sebagai reward kepada siswa, dan sekaligus untuk meningkatkan motivasi belajar mereka, dokumentasi pementasan drama atau laporan penelitian siswa dapat dipajang di majalah dinding sekolah atau di-upload ke website sekolah atau blog yang disediakan secara khusus.

Akan tetapi, meskipun lebih sederhana dan terkesan mudah dikerjakan, proyek-proyek kecil cenderung menyebabkan beban yang berlebihan kepada siswa. Menurut Pardede (2019), menugaskan 5 atau 6 proyek besar kepada siswa per semester namun dilakukan siswa secara berkelompok dan interdisipliner (sebuah proyek mencakup pembelajaran dua atau lebih mata pelajaran) jauh lebih bermanfaat dibandingkan puluhan proyek kecil yang fokus pada satu topik dalam satu mata pelajaran saja. Sebagagai ilustrasi sebuah proyek besar, empat atau lima orang siswa ditugaskan mengerjakan proyek tentang “Produksi dan Distribusi Beras”. Proyek ini bisa dilakukan sebagai kolaborasi mata pelajaran IPA dan IPS. IPA berfokus pada konsep “Bertanam Padi” dan IPS menyoroti dari sisi konsep “Pembiayaan dan Distribusi”. Setelah mempelajari konsep yang dibutuhkan, kelompok siswa melakukan penelitian ke sawah dan mengamati petani bekerja dan mewawancarai mereka. Siswa juga mengunjungi penggilingan padi dan koperasi petani yang mendistribusikan beras serta mencari tahu biaya yang dikeluarkan dan diperoleh untuk proses produksi dan distribusi. Penelitian juga bisa diperluas hingga ke pasar. Setelah semua data (foto, transkrip wawancara, dan catatan) dianalisis, tiap kelompok siswa kemudian membuat laporan dan presentasi. Jika beberapa kelompok mengerjakan kelompok yang sama, laporan mereka dibandingkan untuk menghasilkan laporan paripurna yang lebih bagus. Terlihat jelas bahwa di setiap tahapan pengerjaan proyek itu, siswa berkomunikasi dengan berbagai pihak, mencatat, mengokfirmasi dan menganalisis temuan berdasarkan konsep-konsep dari IPA dan IPS yang relevan, menulis laporan, merancang presentasi, dan banyak kegiatan lain yang bermuara pada pembentukan pengetahuan dan keterampilan. Dengan demikian, siswa terlatih mengkombinasikan berbagai konsep dan keterampilan untuk meneyelesaikan sebuah masalah yang kompleks. Bukankah dalam kehidupan nyata sebuah masalah diselesaikan dengan melibatkan berbagai pengetahuan dan keterampilan sekaligus

Ketiga, GenZ cenderung mengakses terlalu banyak informasi tanpa mengevaluasi, apalagi mengkritisi. Kemudahan dan kecepatan mengakses informasi hanya dengan satu sentuhan tombol pencarian membuat mereka tidak terbiasa menganalisis dan membuat penilaian tentang validitas dan reliabilitas informasi tersebut. Akibatnya, kemampuan berpikir kritis mereka cenderung lemah (Mungkin kecenderungan ini berhubungan dengan mudahnya hoaks menyebar dan diterima kalangan GenZ). 

Karena keterampilan berpikir analitis dan kritis sangat diperlukan, guru perlu membuat terobosan untuk menghentikan kecenderungan ini dan meningkatkan pemikiran kritis siswa. Selain melalui fasilitasi dan pelatihan deep reading sebagaimana disebutkan sebelumnya,  pengembangan keterampilan berpikir kritis dapat dilakukan dengan cara menerapkan “Flipped Classroom” (FC). Model yang mengaktivasi seluruh tingakatan berpikir yang digagas Bloom (lihat Gambar 3) ini sangat sesuai diimplementasikan dalam sistem “blended learning” (BL). Dalam FC, ceramah dan penjelasan guru yang dilakukan untuk menyampaikan konsep sebuah topik pembelajaran dipindahkan atau diubah menjadi pembelajaran mandiri (Hamden, dkk., 2013). Konsep dan informasi disajikan secara online di learning management system (LMS) dalam bentuk modul yang dibantu dengan video, aplikasi interaktif, audio, tautan ke situs web yang kaya konten, gambar atau slide PowerPoint. Ketika siswa mempelajari bahan-bahan itu, mereka terpapar dengan konten baru yang kemudian direkonstruksi menjadi bagian dari pengetahuan masing-masing dengan menggunakan tingkatan berpikir rendah “remember” (memadukan pengetahuan baru dengan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya) dan “understand” (menjelaskan konsep atau ide).

Setelah itu, pembelajaran dilakukan di dalam kelas konvensional, di laboratorium, atau di lapangan. Aktivitas pembelajaran diarahkan untuk menerapkan tingkatan berpikir “apply” (menggunakan pengetahuan dalam situsi lain dengan konteks yang mirip), dan “analyze” (memilah-milah informasi ke dalam bagian-bagian lebih kecil untuk memahami hubungan antar bagian) melalui presentasi mahasiswa dan dilanjutkan dengan diskusi kelas atau diskusi kelompok. Untuk memperdalam penguasaan, diskusi dapat dilanjutkan di LMS secara asinkronos (non-real time). Setelah itu, mahasiswa mengerjakan kuis di LMS untuk mengukur penguasaannya atas konsep-konsep yang telah dipelajari.

Gambaran di atas menunjukkan, untuk menjadi guru berkualitas “zaman now”, kepemilikan kompetensi pedagogik dalam pembelajaran konvensional saja tidak lagi memadai. Mengingat gaya belajar dan cara hidup GenZ yang dididik saat ini sangat dekat dengan penggunaan teknologi maka keempat kompetensi dan sub-sub kompetensi guru harus disesuaikan dengan lingkungan pembelajaran berbasis teknologi. Dengan kata lain, agar dapat menjadi guru berkualitas “zaman now”, setiap pendidik harus mampu memadukan pembelajaran tatap muka dan pembelaran berbasis teknologi (belended learning) secara efektif.

Pada sesi berikutnya, pembelajaran dilakukan di ruang kelas atau di lapangan untuk menerapkan tingkatan berpikir “evaluate” (menilai keputusan atau tindakan yang diambil) dan “create” (memformulasikan ide, atau membuat produk maupun metode untuk melakukan sesuatu) melalui aktivitas penugasan atau proyek. Jika penugasan dilakukan secara individual, siswa dapat didorong untuk berdiskusi di LMS. Jika penugasan dilakukan berkelompok, komunikasi antar anggota dalam satu kelompok dapat dilakukan melalui forum diskusi kelompok di LMS. Penelitian McLaughlin dkk. (2014) dan Freeman, dkkl. (2014). Menunjukkan bahwa FC efektif untuk melibatkan higher order thinkings (HOTs) dalam pembelajaran. Tabel 1 menyajikan aktivitas alternatif yang dapat diterapkan dalam kelas BL ditinjau dari sisi aktivasi berpikir dalam taksonomi Bloom. Daftar ini tidak mencakup semua aktivitas untuk semua jenis mata kuliah. Penyajian daftar ini hanyalah untuk menginspirasi guru dalam memilih aktivitas pembelajaran. Guru tentu saja harus memilih aktivitas yang sesuai dengan tujuan, sasaran, dan konten pembelajaran kelas yang diampunya. 

Kemudian, karena para pendidik saat ini, secara umum, merupakan generasi X atau Y (digital imigrants), mereka perlu banyak berinteraksi dengan siswa (digital natives), bahkan menjadi bagian dari mereka agar dapat lebih memahami karakteristik, harapan, dan kesulitan mereka. Dalam praktik, guru perlu turut berkomunikasi melalui media sosial dengan siswa. Sehubungan dengan itu, membentuk Grup WA atau Instagram yang beranggotakan seluruh anggota kelas dan guru adalah terobosan yang layak dicoba. Penerapan pendekatan PBL untuk mendorong keterlibatan siswa dalam pembelajaran sangat sesuai bagi GenZ. Model FC, yang mengakomodir penggunaan materi yang relevan di internet, berdiskusi dan mengerjakan tugas mandiri atau kelompok secara online, atau melakukan kuiz online sebagai asesmen formatif juga dapat meningkatkan minat siswa. Selain itu, FC juga memfasilitasi pengembangan keterampilan berpikir tingkat tinggi (HOTs) siswa.

Diskusi di atas menunjukkan bahwa profesi guru termasuk kategori yang tidak akan dirampas oleh otomastisasi. Namun, karena penggunaan teknologi dalam pembelajaran sudah merupakan kebutuhan, guru yang tidak kompeten menggunakannya untuk mendukung tugasnya akan tersingkir. Sebaliknya, yang kompeten memanfaatkan teknologi akan terus maju dan berkembang. Clifford (dalam Pardede, 2018) menegaskan, “Technology will not replace teachers, but teachers who do not use technology will be replaced.” Sangat jelas bahwa guru berkualitas zaman “now” merupakan pendidik yang menguasai keempat kompetensi pendidik sehingga mereka—meminjam istilah Naisbit"High touch" and at the same time "high tech" (skilled in using the latest technology)

Silahkan klik  Cara Pembelajaran Siswa Memasuki Era Industri 4.0 untuk  membaca bagian selanjutnya.


*Disajikan dalam Seminar & Workshop Guru Mahanaim yang diselenggarakan di Sekolah Mahanaim bekasi pada tanggal 1-2 Juli 2019

Comments

Popular posts from this blog

Types and Functions of Plot

Type of Plots  The plot used in fictions can be differentiated into four types: linear, episodic, parallel, and flashback. The most common plot employed in short stories is the linear plot. Some short stories, though quite rarely, also use flashback plot. The episodic and parallel plots, however, are found only in long fiction, i.e. novels. Short storied do not use episodic and parallel plots because short stories normally concentrate on a single event with a very limited number of characters, while episodic and parallel plots include a series of events or more than one plot. The following section describes each plot briefly. The Linear Plot The linear plot (sometimes is also called dramatic or progressive plot) presents action or occurrences chronologically. It typically starts with an exposition (or introduction to the setting and characters) and the conflict. After that, the rising action follows which leads to a climax. Soon after the climax, falling action emerges which brings

Identifying a Research Problem (and Writing the Statement of the Problem)

  Research is essentially a problem-driven process. It starts and focuses on a specific problem or phenomenon. During the research process, data is collected and theories are elaborated to explain the problem. In other words, identifying and determining the problem to study is the first and the most important aspect to deal with in undertaking research. Thus, the research problem is the foundation of a research project. If the foundation is shaky the entire project is doomed to failure. Despite its critical importance, identifying and stating a research problem are the most challenging aspects of undertaking research, especially for novice researchers. This might be due to an insufficient understanding of how to identify and write for a study. This article describes research problem identification as the first step of a research process. It starts by describing what a research problem is, how to identify it, and where to obtain it. Then it briefly probes the criteria for determining a

An Analysis of the Theme of Hemingway’s “Old Man at the Bridge”

  An Analysis of the Theme of Hemingway’s “Old Man at the Bridge” Introduction The theme is one of the most interesting elements of fiction, including a short story. It refers to the central idea or meaning that the author wants to convey to the readers. Some stories convey a single theme, but some other stories have several themes. Since short stories are related to human life, Alternbend and Lewis (1966, p. 78) define theme as “The general vision of life or the more explicit proposition about human experience that literature conveys”. In relation to this, one of the easiest ways to determine the theme of a short story is by asking ourselves, “What does the story say about life? The theme of fiction is generally presented through the other elements of fiction, particularly the plot and characterization. This article is a venture to analyze the theme of Hemingway’s Old Man at the Bridge . This story is interesting to analyze due to two reasons. First, it is based on Hemingway’s exp