Image Credit: https://www.edutopia.org/article/what-teachers-china-have-learned-past-month |
Pada tanggal 2-3 Juli 2020, berbagai harian daring, seperti Kompas,Tribun News, Kontan, dan Idonews mewartakan rencana Mendikbud Nadiem Makarim untuk mempermanenkan hybrid learning (pembelajaran bauran atau blended learning) seusai pandemi Covid-19. Rencana yang diutarakan dalam rapat kerja bersama Komisi X DPR RI, Kamis, 2 Juli 2020. itu didasarkan pada pemikiran bahwa pemanfaatan teknologi dalam pembelajaran memberikan banyak manfaat, seperti kesempatan bagi sekolah untuk menyelenggarakan berbagai model pembelajaran dan sekaligus melakukan berbagai efisiensi. Hal itu juga didukung oleh kenyataan bahwa meskipun pembelajaran daring selama pandemi Covid-19 dilakukan karena terpaksa, ternyata guru, siswa dan orangtua bisa belajar menyesuaikan diri dan memanfaatkan teknologi dalam proses pembelajaran. Hasilnya memang belum memuaskan, tapi penyebab utamanya adalah tidak adanya persiapan ketika pandemi itu datang dan pembelajaran tatap muka sama sekali tidak bisa dilakukan.
Pada hari Sabtu, 4 juli 2020, berita tentang rencana Mendikbud
tersebut diposting di berbagai Grup
Face Book (GFB) kalangan guru, dan postingan itu langsung dikomentari oleh
banyak. anggota masing-masing GFB. Komentar-komentar spontan tersebut menarik
untuk dianalisis karena dapat memotret persentase guru yang menerima, menolak,
dan abstain, dan alasan yang mendasari penerimaan maupun penolakan tersebut. Gambaran yang diperoleh diharapkan dapat digunakan sebagai pemicu untuk penelitian lanjutan atau landasan bagi tindaklanjut yang diperlukan. Untuk memperoleh gambaran itu, penulis
kemudian meng”copy-paste” seluruh komentar yang diposting sepanjang Sabtu, 4
Juli 2020 dalam dua GFB untuk digunakan sebagai korpus (data). Dua GFB guru itu dipilih sebagai sumber data
karena keduanya memiliki anggota yang banyak (masing-masing beranggota lebih
dari 100.000) dan tersebar di berbagai wilayah Indonesia. Identitas dua GFB sengaja tidak disebutkan untuk menjaga aspek konfidensial.
Mengingat data yang dianalisis adalah komentar kalangan guru
yang tergabung dalam dua GFB, hasil analisis ini mungkin tidak
merepresentasikan sikap guru seluruh Indonesia. Namun karena para pemberi
komentar adalah guru-guru yang berdomisili di berbagai wilayah di Indonesia, paling
tidak, analisis ini dapat memberikan gambaran awal tentang sikap guru terhadap
rencana implementasi hybrid learning di sekolah-sekolah Indonesia.
Persentase
Guru yang Menerima, Menolak, dan Abstain
Komentar
yang terkumpul sepanjang Sabtu, 4 juli 2020 dari dua GFB tersebut berjumlah 174 butir. Dengan asumsi bahwa satu komentar diberikan oleh satu guru, maka
responden dalam analisis ini juga berjumlah 174 guru. Panjang komentar sangat
variatif. Komentar terpendek terdiri dari dua kata, yakni: Tidak setuju!.
Komentar terpanjang berjumlah 110 kata. Setelah semua data (komentar)
dikelompokkan, ditemukan bahwa sebanyak 157 (90%) guru menolak; 15 (9%) menerima/setuju,
dan 1 (1%) abstain terhadap rencana Mendikbud mempermanenkan hybrid learning
(Lihat Grafik 1).
Satu-satunya guru yang abstain tidak menyertakan alasan. Dia
hanya menyatakan: “Suka-suka
Mas Menteri ajalah...” Sedangkan alasan kelompok guru yang
menerima dan menolak rencana tersebut cukup variatif, sebagaimana dipaparkan di
bagian berikut.
Alasan-Alasan Guru yang Menerima
Alasan
kedua, diajukan sebanyak 33% kelompok guru yang setuju, adalah keyakinan bahwa
rencana mempermanenkan hybrid learning
itu pasti sudah dipertimbangkan oleh pemerintah. Bagi mereka, rencana itu
diajukan setelah terlebih dahulu memperhitungkan bagaimana merealisasikannya. Ada
juga yang mengungkapkan bahwa guru perlu melaksanakan kebijakan pemimpin (pemerintah).
Alasan-Alasan Guru yang Menolak
Sebagaimana
telah disebutkan sebelumnya, 90% dari 173 komentar yang dijadikan korpus dalam
analisis ini menolak rencana Mendikbud mempermanenkan
hybrid learning pasca pandemi COVID
19. Hasil analisis menunjukkan bahwa penolakan tersebut dilandaskan pada tiga
alasan (Lihat Grafik 3).
Alasan
pertama terkait dengan kondisi infrastruktur (jaringan internet) dan
perlengkapan siswa (laptop, desktop, smartphone, dan dana pembelian paket
internet) yang buruk atau tidak memadai. Alasan ini diajukan oleh 25 (16%) guru
yang menolak rencana mempermanenkan hybrid learning tersebut. Mereka
terkesan sangat trauma dengan pengalaman PJJ selama merebaknya wabah virus
corona. Guru yang bekerja di wilayah terpencil menyatakan pembelajaran daring
tidak berjalan karena tidak adanya jaringan internet. Sebagian lagi mengatakan
siswa tidak memiliki peralatan untuk melakukan pembelajaran. Sebagian lagi mengatakan keluarga-keluarga di daerah sangat kesulitan membeli paket internet.
Bahkan, ada juga daerah yang belum dialiri listrik. Selain itu, kalaupun di
kota besar sudah tersedia jaringan internet, kebanyakan pembelajaran daring
tidak berlangsung dengan baik.
Buruknya fasilitas pembelajaran daring juga menjadi masalah bagi
guru. Walaupun mereka sudah memiliki perlengkapan (smartphone), membeli paket
internet untuk pembelajaran sangat berat. Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari
saja, penghasilan mereka sudah kurang, apalagi jika mereka harus membeli paket
internet untuk melakukan pembelajaran. Singkatnya, masalah-masalah
yang timbul dalam pembelajaran daring selama pandemi COVID 19 sebagai akibat buruknya infrastruktur dan kurangnya perlengkapan pendukung pembelajaran daring
membuat guru-guru di kelompok ini menolak rencana mempermanenkan hybrid learning. Bagi mereka,
pembelajaran berbasis teknologi hanya menimbulkan masalah.
Disayangkan memang para guru di kelompok ini cenderung melihat
kesulitan-kesulitan yang timbul dalam praktik pembelajaran daring selama selama
pandemi COVID 19 sebagai kegagalan, bukan pembelajaran. Padahal, dalam
berita-berita yang mewartakan
rencana untuk mempermanenkan hybrid learning tersebut, Mendikbud dengan
jelas mengakui keberadaan kesulitan-kesulitan tersebut. Namun penyebab utamanya
adalah tidak adanya persiapan pemerintah dan sekolah karena wabah COVID 19 datang tiba-tiba. Belajar dari pengalaman itu,
dengan perencanaan dan persiapan yang baik dan adanya perpaduan pembelajaran
tatap muka dengan pembelajaran daring, hybrid
learning seyogyanya sangat potensial untuk meningkatkan pendidikan
nasional. Singkatnya, guru-guru di kelompok ini menolak rencana Mendikbud
karena mereka hanya melihat permasalahan di masa lalu sebagai kegagalan. Mereka
tidak dapat menangkap pandangan Mendikbud yang melihat
permasalahan-permasalahan itu sebagai pembelajaran untuk melakukan
pengembangan.
Ketidakpahaman
atas Substansi
Alasan
kedua, yang diajukan 123 (78%) guru yang menolak rencana
mempermanenkan hybrid learning adalah
ketidakpahaman mereka terhadap substansi rencana yang diajukan tersebut.
Ketidakpahaman ini terjadi karena dua kemungkinan.
Pertama, mereka tidak membaca berita tentang rencana mempermanenkan
hybrid learning secara utuh dan kritis. Akibatnya, mereka memperoleh persepsi
yang keliru. Judul-judul berita yang diwartakan oleh harian-harian online
memang menggunakan istilah “Sekolah Online”, “Belajar Jarak Jauh”, dan
“Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Jika pembaca hanya melihat judul, kesan bahwa
yang direncanakan untuk dipermanenkan adalah online learning atau PJJ, bukan hybrid
learning, bisa timbul. Padahal, konten berita-berita tersebut menguraikan
bahwa yang diusulkan oleh Mendikbud untuk dipermanenkan adalah kombinasi antara
pembelajaran daring dan pembelajaran tatap muka. Bahkan semua harian daring
tersebut menyertakan kutipan pernyataan Mendikbud Nadiem yang menekankan, "Pembelajaran
jarak jauh, ini akan menjadi permanen. Bukan pembelajaran jarak jauh pure saja,
tapi hybrid model. Adaptasi teknologi itu pasti tidak akan kembali lagi."
Mungkin, karena mereka hanya melihat judul (tidak membaca isi berita secara
utuh) para guru tersebut langsung menyimpulkan bahwa Mendikbud berencana mempermanenkan
PJJ atau pembelajaran daring tanpa pembelajaran tatap muka.
Kemungkinan kedua, para pendidik tersebut sudah membaca isi
berita tapi sama sekali tidak bisa membedakan pembelajaran daring (online learning atau PJJ) dengan hybrid learning. Dalam platform diskusi
di FBG, diantara komentar-komentar yang menolak, sesekali guru yang mendukung
berupaya mengoreksi bahwa yang akan dipermanenkan adalah hybrid learning. Dengan demikian, pembelajaran tatap muka akan tetap berlangsung. Tapi, koreksian itu sedikitpun tidak berpengaruh kepada kalangan guru yang menolak. Mereka tetap
saja berkomentar bahwa rencana mendikbud tersebut akan meniadakan pembelajaran
tatap muka. Temuan ini mempertegas bahwa kelompok guru ini benar-benar tidak
memahami hakikat hybrid learning yang
akan dipermanenkan.
Persepsi yang mereka miliki, bahwa rencana
Mendikbud tersebut akan menggantikan pembelajaran tatap muka dengan
pembelajaran daring, mendorong guru-guru di kelompok ini langsung menolak
dengan keras. Mereka sangat yakin bahwa rencana tersebut akan merusak pendidikan
nasional, karena: (1) pembelajaran tatap muka jauh lebih berhasil daripada
pembelajaran daring; (2) siswa tidak suka pembelajaran daring; (3) pembelajaran
daring tidak sesuai untuk mata pelajaran yang bersifat praktik; (4)
pembelajaran daring membutuhkan biaya yang jauh lebih mahal daripada
pembelajaran tatap muka sehingga rencana Mendikbud itu hanya akan menghambur-hamburkan biaya; (5)
pembelajaran berbasis teknologi tidak bisa digunakan untuk mengembangkan karakter
dan etika; (6) pembelajaran daring akan membuat anak-anak bangsa menjadi SDM yang tertinggal dari SDM bangsa-bangsa lain; (7) jika siswa belajar daring moralitas mereka akan rusak karena
bisa mengakses situs-situs “jorok”; dan (8) pembelajaran daring telah dan akan
merusak keimanan siswa.
Terlihat bahwa pemahaman guru-guru di kelompok
ini tentang berbagai manfaat yang ditawarkan hybrid learning masih
sangat terbatas. Padahal metode pembelajaran ini bukan hal baru dalam dunia pendidikan. Mereka kelihatannya belum mengetahui hasil-hasil
penelitian yang mengungkapkan bahwa hybrid
learning menawarkan (1) fleksibilitas yang memungkinkan desain
pembelajaran disesuaikan dengan tujuan maupun kebutuhan individu siswa; (2)
akses yang luas kepada pengetahuan; (3) kesempatan mengembangkan interaksi
sosial; (4) fasilitasi bagi pengembangan kompetensi pribadi mahasiswa; (5)
efisiensi biaya dan kesempatan untuk menjangkau mahasiswa di segala penjuru
dunia dalam waktu singkat dan dengan pelayanan semi personal yang konsisten;
dan (6) kemudahan melakukan revisi terhadap konten pembelajaran (Osguthorpe &
Graham, 2003). Berbagai keuntungan
yang ditawarkan itu dikonfirmasi oleh Salama (2005)
dengan mengungkapkan bahwa hybrid
learning adalah alternatif pembelajaran daring yang logis dan dapat diterima
secara ilmiah, untuk memfasilitasi capaian pembelajaran yang lebih tinggi,
berbiaya lebih murah, dan dapat menggabungkan berbagai jenis pembelajaran yang
‘canggih’. Hasil penelitian (Kenney & Newcombe, 2011; Garrison
& Kanuka, 2004) menunjukkan
bahwa siswa yang belajar dengan metode BL mencapai skor rata-rata dan tingkat
kepuasan pembelajaran lebih tinggi daripada siswa yang belajar dengan
metode tatap muka saja atau metode daring saja. Selain itu, hybrid learning juga dapat mengakselerasi dan
mengefektifkan pendidikan karakter (Indartono,
2011; Fisher
& Kusumah, 2018) dan dapat memfasilitasi pembentukan sikap dan perilaku
yang baik dalam kehidupan sehari-hari (Yulianti & Sulistiawatyi, 2020).
Seandainya para guru tersebut memahami bahwa unsur
pembelajaran berbasis teknologi dalam hybrid
learning sangat efektif digunakan untuk membantu dan memperkaya proses
pembelajaran, mungkin mereka akan menerima rencana Mendikbud tersebut. Namun karena
ketidaktahuan mereka malah membuat mereka menyatakan bahwa rencana Mendiknas mempermanenkan
hybrid learning timbul karena beliau tidak
memahami hakikat dan tujuan pendidikan. Ketidaktahuan mereka membuat mereka
salah menilai dan kemudian melakukan penolakan.
Kecurigaan pada Motif tidak Terkait.
Alasan
ketiga, yang diajukan oleh 9 (6%) guru yang menolak rencana
mempermanenkan hybrid learning, adalah
kecurigaan bahwa rencana tersebut didorong oleh motif bisnis yang akan
menguntungkan pihak tertentu. Karena komentar-komentar yang
mengungkapkan alasan ini relatif pendek, tidak diperoleh informasi mengapa alasan
seperti ini muncul.
Kesimpulan.
Penolakan yang dilakukan oleh 90% guru terhadap rencana
Mendikbud mempermanenkan hybrid learning,
dilihat dari sisi ilmu pendidikan, adalah fakta yang sangat mengejutkan. Sebagai
pendidik, seharusnya setiap guru mengetahui bahwa hybrid learning merupakan metode pembelajaran paling inovatif di
Abad 21, yang dapat digunakan untuk mempersiapkan generasi muda berkiprah di
era Revolusi industry 4.0. Selain mengejutkan, penolakan itu juga
memprihatinkan karena sebagian guru tidak terlebih dahulu membaca secara kritis
untuk memahami substansi yang didiskusikan sebelum berkomentar.
Karena korpus yang dianalisis dalam artikel
ini hanyalah komentar komentar dari FBG, untuk memahami penolakan banyak guru
terhadap rencana implementasi hybrid
learning secara khusus dan resistensi terhadap penggunaan teknologi dalam
pembelajaran secara umum, perlu dilakukan penelitian lebih mendalam dengan
metode yang lebih komprehensif. Pemahaman secara mendalam itu
diharapkan dapat memberikan gambaran tentang upaya yang sesuai dilakukan untuk
membantu para guru menggunakan teknologi’ khususnya hybrid learning, dalam pembelajaran secara antusias dan inovatif. Hybrid
learning tidak hanya memadukan tetapi juga
memaksimalkan unsur terbaik yang dimiliki pembelajaran tatap muka dan manfaat
terbaik yang bisa diperoleh dalam pembelajaran daring. Oleh karena itu, hybrid learning sangat urgen untuk diimplementasikan. Di era revolusi Industri 4.0 saat ini, hybrid learning bukan sebuah pilihan, tapi kebutuhan!
Bagaimana pendapat Anda
tentang topik dalam artikel ini? Silahkan tuliskan pendapat Anda di bagian
komentar di bawah ini.
Author: Parlindungan Pardede (parlin@weedutap.com)
Comments
Post a Comment