Skip to main content

90% Guru Menolak Rencana Mendikbud Mempermanenkan "Hybrid Learning". Mengapa?


Image Credit: https://www.edutopia.org/article/what-teachers-china-have-learned-past-month

Pada tanggal 2-3 Juli 2020, berbagai harian daring, seperti Kompas,Tribun News, Kontan, dan Idonews mewartakan rencana Mendikbud Nadiem Makarim untuk mempermanenkan hybrid learning (pembelajaran bauran atau blended learning) seusai pandemi Covid-19. Rencana yang diutarakan dalam rapat kerja bersama Komisi X DPR RI, Kamis, 2 Juli 2020. itu didasarkan pada pemikiran bahwa pemanfaatan teknologi dalam pembelajaran memberikan banyak manfaat, seperti kesempatan bagi sekolah untuk menyelenggarakan berbagai model pembelajaran dan sekaligus melakukan berbagai efisiensi. Hal itu juga didukung oleh kenyataan bahwa meskipun pembelajaran daring selama pandemi Covid-19 dilakukan karena terpaksa, ternyata guru, siswa dan orangtua bisa belajar menyesuaikan diri dan memanfaatkan teknologi dalam proses pembelajaran. Hasilnya memang belum memuaskan, tapi penyebab utamanya adalah tidak adanya persiapan ketika pandemi itu datang dan pembelajaran tatap muka sama sekali tidak bisa dilakukan.

Pada hari Sabtu, 4 juli 2020, berita tentang rencana Mendikbud tersebut diposting di berbagai Grup Face Book (GFB) kalangan guru, dan postingan itu langsung dikomentari oleh banyak. anggota masing-masing GFB. Komentar-komentar spontan tersebut menarik untuk dianalisis karena dapat memotret persentase guru yang menerima, menolak, dan abstain, dan alasan yang mendasari penerimaan maupun penolakan tersebut. Gambaran yang diperoleh diharapkan dapat digunakan sebagai pemicu untuk penelitian lanjutan atau landasan bagi tindaklanjut yang diperlukan. Untuk memperoleh gambaran itu, penulis kemudian meng”copy-paste” seluruh komentar yang diposting sepanjang Sabtu, 4 Juli 2020 dalam dua GFB untuk digunakan sebagai korpus (data).  Dua GFB guru itu dipilih sebagai sumber data karena keduanya memiliki anggota yang banyak (masing-masing beranggota lebih dari 100.000) dan tersebar di berbagai wilayah Indonesia. Identitas dua GFB sengaja tidak disebutkan untuk menjaga aspek konfidensial.

Mengingat data yang dianalisis adalah komentar kalangan guru yang tergabung dalam dua GFB, hasil analisis ini mungkin tidak merepresentasikan sikap guru seluruh Indonesia. Namun karena para pemberi komentar adalah guru-guru yang berdomisili di berbagai wilayah di Indonesia, paling tidak, analisis ini dapat memberikan gambaran awal tentang sikap guru terhadap rencana implementasi hybrid learning di sekolah-sekolah Indonesia.

Persentase Guru yang Menerima, Menolak, dan Abstain
Komentar yang terkumpul sepanjang Sabtu, 4 juli 2020 dari dua GFB tersebut berjumlah 174 butir. Dengan asumsi bahwa satu komentar diberikan oleh satu guru, maka responden dalam analisis ini juga berjumlah 174 guru. Panjang komentar sangat variatif. Komentar terpendek terdiri dari dua kata, yakni: Tidak setuju!. Komentar terpanjang berjumlah 110 kata. Setelah semua data (komentar) dikelompokkan, ditemukan bahwa sebanyak 157 (90%) guru menolak; 15 (9%) menerima/setuju, dan 1 (1%) abstain terhadap rencana Mendikbud mempermanenkan hybrid learning (Lihat Grafik 1). 
Satu-satunya guru yang abstain tidak menyertakan alasan. Dia hanya menyatakan: “Suka-suka Mas Menteri ajalah...” Sedangkan alasan kelompok guru yang menerima dan menolak rencana tersebut cukup variatif, sebagaimana dipaparkan di bagian berikut. 


Alasan-Alasan Guru yang Menerima
Dilihat dari argumentasi yang diajukan untuk menerima rencana Mendikbud tersebut, ke 15 guru yang setuju mengajukan dua alasan. (Grafik 2). Alasan pertama, diajukan oleh 67%, adalah pemahaman bahwa yang direncanakan untuk dipermanenkan adalah hybrid learning, bukan PJJ berbasis daring semata. Mereka yakin hybrid learning berpotensi memperkaya pembelajaran, meningkatkan literasi, dan memajukan pendidikan. Namun penerimaan mereka diiringi oleh penekanan agar rencana itu diberlakukan secara selektif, dimulai dengan daerah dengan infrastruktur dan fasilitas memadai, lalu dilanjutkan secara bertahap ke wilaya-wilayah lainnya. Mereka juga menekankan bahwa Kemendikbud perlu mempersiapkan strategi dan teknis pelaksanaannya.


Alasan kedua, diajukan sebanyak 33% kelompok guru yang setuju, adalah keyakinan bahwa rencana mempermanenkan hybrid learning itu pasti sudah dipertimbangkan oleh pemerintah. Bagi mereka, rencana itu diajukan setelah terlebih dahulu  memperhitungkan bagaimana merealisasikannya. Ada juga yang mengungkapkan bahwa guru perlu melaksanakan kebijakan pemimpin (pemerintah).  

Alasan-Alasan Guru yang Menolak
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, 90% dari 173 komentar yang dijadikan korpus dalam analisis ini menolak rencana Mendikbud mempermanenkan hybrid learning pasca pandemi COVID 19. Hasil analisis menunjukkan bahwa penolakan tersebut dilandaskan pada tiga alasan (Lihat Grafik 3).

Alasan pertama terkait dengan kondisi infrastruktur (jaringan internet) dan perlengkapan siswa (laptop, desktop, smartphone, dan dana pembelian paket internet) yang buruk atau tidak memadai. Alasan ini diajukan oleh 25 (16%) guru yang menolak rencana mempermanenkan hybrid learning tersebut. Mereka terkesan sangat trauma dengan pengalaman PJJ selama merebaknya wabah virus corona. Guru yang bekerja di wilayah terpencil menyatakan pembelajaran daring tidak berjalan karena tidak adanya jaringan internet. Sebagian lagi mengatakan siswa tidak memiliki peralatan untuk melakukan pembelajaran. Sebagian lagi mengatakan keluarga-keluarga di daerah sangat kesulitan membeli paket internet. Bahkan, ada juga daerah yang belum dialiri listrik. Selain itu, kalaupun di kota besar sudah tersedia jaringan internet, kebanyakan pembelajaran daring tidak berlangsung dengan baik.

Buruknya fasilitas pembelajaran daring juga menjadi masalah bagi guru. Walaupun mereka sudah memiliki perlengkapan (smartphone), membeli paket internet untuk pembelajaran sangat berat. Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari saja, penghasilan mereka sudah kurang, apalagi jika mereka harus membeli paket internet untuk melakukan pembelajaran. Singkatnya, masalah-masalah yang timbul dalam pembelajaran daring selama pandemi COVID 19 sebagai akibat buruknya infrastruktur dan kurangnya perlengkapan pendukung pembelajaran daring membuat guru-guru di kelompok ini menolak rencana mempermanenkan hybrid learning. Bagi mereka, pembelajaran berbasis teknologi hanya menimbulkan masalah.

Disayangkan memang para guru di kelompok ini cenderung melihat kesulitan-kesulitan yang timbul dalam praktik pembelajaran daring selama selama pandemi COVID 19 sebagai kegagalan, bukan pembelajaran. Padahal, dalam berita-berita yang mewartakan rencana untuk mempermanenkan hybrid learning tersebut, Mendikbud dengan jelas mengakui keberadaan kesulitan-kesulitan tersebut. Namun penyebab utamanya adalah tidak adanya persiapan pemerintah dan sekolah karena wabah COVID 19 datang tiba-tiba. Belajar dari pengalaman itu, dengan perencanaan dan persiapan yang baik dan adanya perpaduan pembelajaran tatap muka dengan pembelajaran daring, hybrid learning seyogyanya sangat potensial untuk meningkatkan pendidikan nasional. Singkatnya, guru-guru di kelompok ini menolak rencana Mendikbud karena mereka hanya melihat permasalahan di masa lalu sebagai kegagalan. Mereka tidak dapat menangkap pandangan Mendikbud yang melihat permasalahan-permasalahan itu sebagai pembelajaran untuk melakukan pengembangan.

Ketidakpahaman atas Substansi
Alasan kedua, yang diajukan 123 (78%) guru yang menolak rencana mempermanenkan hybrid learning adalah ketidakpahaman mereka terhadap substansi rencana yang diajukan tersebut. Ketidakpahaman ini terjadi karena dua kemungkinan.

Pertama, mereka tidak membaca berita tentang rencana mempermanenkan hybrid learning secara utuh dan kritis. Akibatnya, mereka memperoleh persepsi yang keliru. Judul-judul berita yang diwartakan oleh harian-harian online memang menggunakan istilah “Sekolah Online”, “Belajar Jarak Jauh”, dan “Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Jika pembaca hanya melihat judul, kesan bahwa yang direncanakan untuk dipermanenkan adalah online learning atau PJJ, bukan hybrid learning, bisa timbul. Padahal, konten berita-berita tersebut menguraikan bahwa yang diusulkan oleh Mendikbud untuk dipermanenkan adalah kombinasi antara pembelajaran daring dan pembelajaran tatap muka. Bahkan semua harian daring tersebut menyertakan kutipan pernyataan Mendikbud Nadiem yang menekankan, "Pembelajaran jarak jauh, ini akan menjadi permanen. Bukan pembelajaran jarak jauh pure saja, tapi hybrid model. Adaptasi teknologi itu pasti tidak akan kembali lagi." Mungkin, karena mereka hanya melihat judul (tidak membaca isi berita secara utuh) para guru tersebut langsung menyimpulkan bahwa Mendikbud berencana mempermanenkan PJJ atau pembelajaran daring tanpa pembelajaran tatap muka.

Kemungkinan kedua, para pendidik tersebut sudah membaca isi berita tapi sama sekali tidak bisa membedakan pembelajaran daring (online learning atau PJJ) dengan hybrid learning. Dalam platform diskusi di FBG, diantara komentar-komentar yang menolak, sesekali guru yang mendukung berupaya mengoreksi bahwa yang akan dipermanenkan adalah hybrid learning. Dengan demikian, pembelajaran tatap muka akan tetap berlangsung. Tapi, koreksian itu sedikitpun tidak berpengaruh kepada kalangan guru yang menolak. Mereka tetap saja berkomentar bahwa rencana mendikbud tersebut akan meniadakan pembelajaran tatap muka. Temuan ini mempertegas bahwa kelompok guru ini benar-benar tidak memahami hakikat hybrid learning yang akan dipermanenkan. 

Persepsi yang mereka miliki, bahwa rencana Mendikbud tersebut akan menggantikan pembelajaran tatap muka dengan pembelajaran daring, mendorong guru-guru di kelompok ini langsung menolak dengan keras. Mereka sangat yakin bahwa rencana tersebut akan merusak pendidikan nasional, karena: (1) pembelajaran tatap muka jauh lebih berhasil daripada pembelajaran daring; (2) siswa tidak suka pembelajaran daring; (3) pembelajaran daring tidak sesuai untuk mata pelajaran yang bersifat praktik; (4) pembelajaran daring membutuhkan biaya yang jauh lebih mahal daripada pembelajaran tatap muka sehingga rencana Mendikbud itu hanya akan menghambur-hamburkan biaya; (5) pembelajaran berbasis teknologi tidak bisa digunakan untuk mengembangkan karakter dan etika; (6) pembelajaran daring akan membuat anak-anak bangsa menjadi SDM yang tertinggal dari SDM bangsa-bangsa lain; (7) jika siswa belajar daring moralitas mereka akan rusak karena bisa mengakses situs-situs “jorok”; dan (8) pembelajaran daring telah dan akan merusak keimanan siswa.

Terlihat bahwa pemahaman guru-guru di kelompok ini tentang berbagai manfaat yang ditawarkan hybrid learning masih sangat terbatas. Padahal metode pembelajaran ini bukan hal baru dalam dunia pendidikan. Mereka kelihatannya belum mengetahui hasil-hasil penelitian yang mengungkapkan bahwa hybrid learning menawarkan (1) fleksibilitas yang memungkinkan desain pembelajaran disesuaikan dengan tujuan maupun kebutuhan individu siswa; (2) akses yang luas kepada pengetahuan; (3) kesempatan mengembangkan interaksi sosial; (4) fasilitasi bagi pengembangan kompetensi pribadi mahasiswa; (5) efisiensi biaya dan kesempatan untuk menjangkau mahasiswa di segala penjuru dunia dalam waktu singkat dan dengan pelayanan semi personal yang konsisten; dan (6) kemudahan melakukan revisi terhadap konten pembelajaran (Osguthorpe & Graham, 2003). Berbagai keuntungan yang ditawarkan itu dikonfirmasi oleh Salama (2005) dengan mengungkapkan bahwa hybrid learning adalah alternatif pembelajaran daring yang logis dan dapat diterima secara ilmiah, untuk memfasilitasi capaian pembelajaran yang lebih tinggi, berbiaya lebih murah, dan dapat menggabungkan berbagai jenis pembelajaran yang ‘canggih’. Hasil penelitian (Kenney & Newcombe, 2011; Garrison & Kanuka, 2004) menunjukkan bahwa siswa yang belajar dengan metode BL mencapai skor rata-rata dan tingkat kepuasan pembelajaran lebih tinggi daripada siswa yang belajar dengan metode tatap muka saja atau metode daring saja. Selain itu, hybrid learning juga dapat mengakselerasi dan mengefektifkan pendidikan karakter (Indartono, 2011; Fisher & Kusumah, 2018) dan dapat memfasilitasi pembentukan sikap dan perilaku yang baik dalam kehidupan sehari-hari (Yulianti & Sulistiawatyi, 2020).

Seandainya para guru tersebut memahami bahwa unsur pembelajaran berbasis teknologi dalam hybrid learning sangat efektif digunakan untuk membantu dan memperkaya proses pembelajaran, mungkin mereka akan menerima rencana Mendikbud tersebut. Namun karena ketidaktahuan mereka malah membuat mereka menyatakan bahwa rencana Mendiknas mempermanenkan hybrid learning timbul karena beliau tidak memahami hakikat dan tujuan pendidikan. Ketidaktahuan mereka membuat mereka salah menilai dan kemudian melakukan penolakan.

Kecurigaan pada Motif tidak Terkait.
Alasan ketiga, yang diajukan oleh 9 (6%) guru yang menolak rencana mempermanenkan hybrid learning, adalah kecurigaan bahwa rencana tersebut didorong oleh motif bisnis yang akan menguntungkan pihak tertentu. Karena komentar-komentar yang mengungkapkan alasan ini relatif pendek, tidak diperoleh informasi mengapa alasan seperti ini muncul.

Kesimpulan.
Penolakan yang dilakukan oleh 90% guru terhadap rencana Mendikbud mempermanenkan hybrid learning, dilihat dari sisi ilmu pendidikan, adalah fakta yang sangat mengejutkan. Sebagai pendidik, seharusnya setiap guru mengetahui bahwa hybrid learning merupakan metode pembelajaran paling inovatif di Abad 21, yang dapat digunakan untuk mempersiapkan generasi muda berkiprah di era Revolusi industry 4.0. Selain mengejutkan, penolakan itu juga memprihatinkan karena sebagian guru tidak terlebih dahulu membaca secara kritis untuk memahami substansi yang didiskusikan sebelum berkomentar.

Karena korpus yang dianalisis dalam artikel ini hanyalah komentar komentar dari FBG, untuk memahami penolakan banyak guru terhadap rencana implementasi hybrid learning secara khusus dan resistensi terhadap penggunaan teknologi dalam pembelajaran secara umum, perlu dilakukan penelitian lebih mendalam dengan metode yang lebih komprehensif. Pemahaman secara mendalam itu diharapkan dapat memberikan gambaran tentang upaya yang sesuai dilakukan untuk membantu para guru menggunakan teknologi’ khususnya hybrid learning, dalam pembelajaran secara antusias dan inovatif. Hybrid learning tidak hanya memadukan tetapi juga memaksimalkan unsur terbaik yang dimiliki pembelajaran tatap muka dan manfaat terbaik yang bisa diperoleh dalam pembelajaran daring. Oleh karena itu, hybrid learning sangat urgen untuk diimplementasikan. Di era revolusi Industri 4.0 saat ini, hybrid learning bukan sebuah pilihan, tapi kebutuhan!


Bagaimana pendapat Anda tentang topik dalam artikel ini? Silahkan tuliskan pendapat Anda di bagian komentar di bawah ini.
Author: Parlindungan Pardede (parlin@weedutap.com)



Comments

Popular posts from this blog

Types and Functions of Plot

Type of Plots  The plot used in fictions can be differentiated into four types: linear, episodic, parallel, and flashback. The most common plot employed in short stories is the linear plot. Some short stories, though quite rarely, also use flashback plot. The episodic and parallel plots, however, are found only in long fiction, i.e. novels. Short storied do not use episodic and parallel plots because short stories normally concentrate on a single event with a very limited number of characters, while episodic and parallel plots include a series of events or more than one plot. The following section describes each plot briefly. The Linear Plot The linear plot (sometimes is also called dramatic or progressive plot) presents action or occurrences chronologically. It typically starts with an exposition (or introduction to the setting and characters) and the conflict. After that, the rising action follows which leads to a climax. Soon after the climax, falling action emerges which brings

Identifying a Research Problem (and Writing the Statement of the Problem)

  Research is essentially a problem-driven process. It starts and focuses on a specific problem or phenomenon. During the research process, data is collected and theories are elaborated to explain the problem. In other words, identifying and determining the problem to study is the first and the most important aspect to deal with in undertaking research. Thus, the research problem is the foundation of a research project. If the foundation is shaky the entire project is doomed to failure. Despite its critical importance, identifying and stating a research problem are the most challenging aspects of undertaking research, especially for novice researchers. This might be due to an insufficient understanding of how to identify and write for a study. This article describes research problem identification as the first step of a research process. It starts by describing what a research problem is, how to identify it, and where to obtain it. Then it briefly probes the criteria for determining a

An Analysis of the Theme of Hemingway’s “Old Man at the Bridge”

  An Analysis of the Theme of Hemingway’s “Old Man at the Bridge” Introduction The theme is one of the most interesting elements of fiction, including a short story. It refers to the central idea or meaning that the author wants to convey to the readers. Some stories convey a single theme, but some other stories have several themes. Since short stories are related to human life, Alternbend and Lewis (1966, p. 78) define theme as “The general vision of life or the more explicit proposition about human experience that literature conveys”. In relation to this, one of the easiest ways to determine the theme of a short story is by asking ourselves, “What does the story say about life? The theme of fiction is generally presented through the other elements of fiction, particularly the plot and characterization. This article is a venture to analyze the theme of Hemingway’s Old Man at the Bridge . This story is interesting to analyze due to two reasons. First, it is based on Hemingway’s exp