Skip to main content

Blended Learning: Solusi Terbaik bagi Pembelajaran di Era Normal Baru


Blended Leraning (BL) atau hybrid learning, pembelajaran yang mengombinasikan pembelajaran daring (online learning) dengan pembelajaran tatap muka, merupakan metode pembelajaran terbaik di Abad 21 dan sangat sesuai diterapkan di era Normal Baru. Momentum memasuki era Normal Baru saat ini adalah kesempatan terbaik untuk membangun BL. 


Image Credit: https://elearningindustry.com/blended-learning-experiences-building-deliver
Pendahuluan
Sejak Maret 2020 hingga saat ini, Covid 19 telah secara paksa memindahkan  pembelajaran dari ruang kelas ke ruang keluarga atau kamar tidur siswa. Agar pembelajaran tetap berlangsung selama pandemi itu, UNESCO memperkirakan sekitar 1,6 miliar (90%) siswa di 191 negara, termasuk 68.2 juta siswa dari seluruh jenjang pendidikan di Indonesia belajar dari rumah. Mayoritas siswa mengikuti online learning atau pembelajaran daring (dalam jaringan) melalui internet, dan sebagian lagi mengikuti off line learning atau pembelajaran luring (luar jaringan) melalui televisi, radio, atau buku dan lembar kerja siswa.

Di Indonesia, pembelajaran daring ternyata bukan menjadi solusi tetapi menjadi masalah baru bagi banyak siswa. Pembelajaran itu begitu menguras energi serta kuota internet, namun tujuannya tidak tercapai. Dari 213 keluhan yang diterima KPAI tentang penerapan pembelajaran ini, kebanyakan siswa mengeluhkan betapa membosankan, melelahkan, dan tidak efektifnya pembelajaran tersebut. Keluhan-keluhan itu, misalnya, mengungkapkan: (1) ada guru SMP dan SMA yang ‘getol’ memberikan tugas merangkum bab baru setiap jam pelajaran tiba; (2) ada siswa  SD yang ditugaskan menyalin 83 halaman buku teks; (3) ada guru yang menugaskan  siswa kelas 4 menuliskan bacaan salat, mulai dari bahasa Indonesia, Latin dan Arab, padahal semuanya ada di buku cetak; (4) banyak siswa yang ditugaskan menuliskan tiap soal sebelum menjawabnya, padahal soal tersebut ada di buku teks mereka; (5) banyak siswa SMA/SMK yang ditugaskan menulis esai hampir di semua bidang studi; (6) ada siswa SMP yang pada hari kedua pembelajaran daring saja sudah mengerjakan 250 soal dari guru; dan (7) ada  siswa SD yang diminta mengarang lagu tentang corona. Lalu lagu itu dinyanyikan dengan iringan musik serta divideokan. (Permasalahan lainnya dapat dibaca dalam laporan survei Potret Implementasi Pembelajaran Daring pada Saat Covid 19 di Jakarta dan Sekitarnya).
Artikel ini membahas hakikat, kekuatan, kelemahan, dan unsur pembelajaran daring (online learning), mengapa pelaksanaannya di Indonesia selama Covid 19 bermasalah, dan memperkenalkan blended learning (BL) sebagai metode pembelajaran terbaik di era kelaziman baru (new normal) pasca Covid 19.

Pembelajaran Daring (Online Learning)
Pembelajaran daring sebenarnya sudah berlangsung lebih dari 30 tahun. Sejak dimulai oleh CALCampus di tahun 1986, implementasi pembelajaran daring berkembang secara massif di perguruan tinggi karena potensinya yang besar, seperti kemudahan mengimplementasikan pendekatan students-centered, waktu dan tempat pembelajaran yang fleksibel, kemudahan bagi siswa mengakses informasi yang tersedia di internet, kesempatan bagi siswa menggunakan gaya dan kecepatan belajar masing-masing, dan kesempatan berinteraksi dan berjejaring dengan siswa dan pihak lain dari seluruh dunia. Selain itu, NACOL (2006) memaparkan bahwa pembelajaran daring juga memfasilitasi pengembangan keterampilan yang dibutuhkan di Abad-21, seperti kesadaran global, literasi teknologi informasi serta 4Cs (communication, collaboration, critical thinking and creativity).
Menyadari banyaknya potensi yang ditawarkan dan semakin efektifnya implementasi pembelajaran daring berkat perbaikan berkelanjutan berdasarkan pengalaman dan hasil hasil penelitian, secara perlahan sekolah menengah dan sekolah dasar juga mulai menerapkannya. Banyak negara yang sudah memfasilitasi siswa SD menggunakan pembelajaran daring, minimal sebagai unsur untuk memperkaya pembelajaran tradisional. NACOL (2006) memperkirakan implementasi pembelajaran online meningkat 30% setiap tahun di sekolah dasar dan menengah di Amerika Serikat.

Pembelajaran daring memerlukan empat elemen utama: kurikulum, teknologi, siswa dan guru. Kurikulum mengacu pada tujuan, isi, strategi, metode, jadual, prosedur, aktivitas, dan asesmen pembelajaran. Teknologi dalam pembelajaran daring mengacu pada perangkat lunak (software) yang digunakan sebagai lingkungan (kelas, perpustakaan, kantor dan laboratorium) pembelajaran yang berlokasi di dunia maya. Karena semua aktivitas pembelajaran dalam jaringan diatur melalui perangkat lunak ini, dia sering disebut sebagai sistem manajemen pembelajaran atau learning management system (LMS). Agar dapat masuk dan belajar di LMS, siswa membutuhkan gawai (laptop/Ipad/desktop/smartphone) dan koneksi internet. Selain itu, siswa juga memerlukan keterampilan teknis mengoperasikan perangkat yang digunakan dan panduan tentang cara terbaik untuk terlibat dalam pembelajaran di LMS. Meskipun pembelajaran berlangsung di "dalam" teknologi, faktor guru sebagai fasilitator berperan strategis. "Secanggih" apapun teknologi yang digunakan dalam pembelajaran daring, pendidik tetap diperlukan untuk memfasilitasi, mengarahkan, memotivasi, dan menginspirasi.  dalam pendidikan, sentuhan kemanusiaan tetap dibutuhkan, dan teknologi tidak dapat melakukannya.
Pengalaman dan hasil penelitian mengungkapkan bahwa pembelajaran daring juga memiliki berbagai kelemahan dibandingkan dengan pembelajaran tradisional. Pertama, pembelajaran daring memerlukan waktu yang relatif lebih panjang. Jika pembelajaran tradisional berbasis komunikasi oral, pembelajaran daring lebih didominasi teks komunikasi tertulis. Komunikasi oral tetap dapat dilakukan melalui teleconference, video call, atau telepon. Tapi pola komunikasi ini akan menyebabkan jadual yang mengikat (tidak fleksibel), durasi yang lebih panjang dan biaya lebih banyak. Oleh sebab itu, interaksi dalam pembelajaran daring lebih mengutamakan penggunaan pesan atau feedback tertulis. Kedua, siswa dituntut menjadi lebih independen, aktif, disiplin mengelola waktu, dan bertanggungjawab dalam pelaksanaan pembelajaran. Ketiga, siswa bisa merasa terisolasi. Untuk mengatasinya, siswa perlu aktif menghubungi teman sekelas atau guru melalui email atau forum diskusi yang tersedia di LMS. Keempat, pembelajaran daring memberikan kebebasan besar kepada siswa. Jika kebebasan itu tidak digunakan dengan benar, siswa bisa mengabaikan kewajibannya dalam pembelajaran!

Terlepas dari berbagai kelemahannya, jika direncakan dan dikelola dengan baik, efektivitas pembelajaran daring tidak kalah dengan pembelajaran tradisional. Selain itu, generasi Z, para pelajar saat ini, sangat menyukai pembelajaran daring. Temuan University of the Potomac mengungkapkan 77% guru dan dosen memandang pembelajaran daring sama dengan pembelajaran tradisional, jika tidak lebih baik; 70% siswa mengatakan pembelajaran daring lebih baik atau sama dengan pembelajaran tradisional; dan 25% siswa yang belajar dalam jaringan merasakan pembelajaran mereka lebih baik melalui pembelajaran daring daripada secara tradisional.
Jika pembelajaran daring sudah berlangsung lama dan strategi implementasinya juga sudah semakin baik, mengapa praktik tersebut di masa Covid 19 menimbulkan banyak persoalan di kalangan siswa di Indonesia? Persoalan-persoalan itu timbul karena dua faktor yang saling terkait. Pertama, pandemi virus corona datang secara tiba-tiba hingga sekolah dan guru tidak punya waktu membuat persiapan. Kedua, guru belum pernah menyelenggarakan arau berlatih menyelenggarakan pembelajaran daring.  Kedua faktor itu membuat guru tidak berdaya menyelenggarakan pembelajaran dengan baik. Kompetensi dalam mendisain tujuan, media, aktivitas dan asesmen dalam pembelajaran tradisional tidak dapat menolong guru Seperti telah disebutkan sebelumnya, lingkungan pembelajaran daring berbeda dengan pembelajaran tradisional sehingga pola komunikasi, aktivitas, media dan asesmen pembelajaran harus disinkronkan dengan lingkungan pembelajaran daring. Karena guru hanya memindahkan elemen-elemen pembelajaran tradisional tanpa penyesuaian ke dalam kelas daring, pembelajaran menjadi menjadi sporadis dan tidak terintegrasi. Selain itu, siswa dan guru tidak dapat berkomunikasi untuk memberi dan menerima umpan balik (feedback). Padahal umpan balik sangat krusial untuk mensukseskan pembelajaran daring (lihat artikel ini untuk penjelasan lebih lanjut). Akibatnya, banyak guru yang merasa frustrasi hingga mereka hanya sekedar menyuruh siswa membaca, meringkas, atau mengerjakan latihan atau proyek yang tidak terintegrasi dengan tujuan pembelajaran. 

Pembelajaran di Era Kelaziman Baru (New Normal)
Menurut Kemedikbud, sekolah di berbagai wilayah di Indonesia akan mulai dibuka kembali mulai pertengahan Juli 2020. Namun suasana kehidupan di semua sektor, termasuk pendidikan, di era kelaziman baru pasca pandemi virus corona sangat berbeda dengan suasana sebelum pandemi itu. Hingga vaksin corona yang benar-benar dapat membuat orang immun terhadap virus corona ditemukan, seluruh masyarakat kelihatannya masih harus menjalankan protokol kesehatan, termasuk memeriksa suhu tubuh, memakai masker, menjaga jarak fisik, dan mencuci tangan. Selain itu, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) merekomendasikan agar pembelajaran berlangsung hanya 4 jam per hari tanpa jam istirahat. Sedangkan Hetifah Sjaifudian, Wakil ketua Komisi X DPR meminta pemerintah menerapkan pola yang diterapkan Australia, yakni siswa belajar di sekolah hanya sehari dalam seminggu, sedangkan di hari lainnya dilaksanakan pembelajaran daring.
Penulis lebih cenderung sepakat dengan usulan Hetifah syaifudin yang memadukan dua metode yakni pembelajaran tradisional (tatap muka) di sekolah dan pembelajaran daring, yang dikenal dengan nama blended learning (BL). Alasannya adalah, mengkombinasikan pembelajaran daring dengan pembelajaran tatap muka akan mengurangi frekuensi siswa pergi ke sekolah dan sekaligus menghasilkan capaian belajar yang jauh lebih berkualitas dibandingkan dengan hanya melalui pembelajaran tradisional. Dalam kondisi sebelum pandemik saja, BL lebih unggul daripada pembelajaran tradisional, apalagi di era Kelaziman baru yang mengharuskan siswa dan guru menjalani protokol kesehatan. 

Akan tetapi, usulan agar siswa belajar di sekolah hanya sekali seminggu masih perlu dipertimbangkan sesuai dengan karakteristik mata pelajaran dan kesiapan siswa dan guru melaksanakan pembelajaran daring. Jika pembelajaran tatap muka terlalu minim, capaian pembelajaran kemungkinan tidak optimal. Oleh karena itu, jika siswa bisa mengikuti pembelajaran tatap muka 2 hari per minggu dengan durasi 4 jam per hari akan lebih baik. (Argumentasinya diuraikan di bagian berikut).

Blended Learning (BL)
BL didefinisikan sebagai pembelajaran yang mengombinasikan keunggulan teknologi informasi dan komunikasi dengan unsur-unsur terbaik pembelajaran tatap muka di kelas. Karena memadukan pembelajaran tatap muka dan daring, BL juga sering disebut sebagai "Pembelajaran Campuran". Osguthorpe and Graham (2003) menjelaskan bahwa pendidik yang menggunakan BL berusaha memaksimalkan unsur terbaik yang dimiliki pembelajaran tatap muka dan manfaat terbaik yang bisa diperoleh dalam pembelajaran daring. Jadi, dalam BL, unsur pembelajaran daring tidak hanya sekedar ditambahkan kepada pembelajaran tradisional, tetapi unsur-unsur terbaik dari keduanya diintegrasikan secara efektif (Garrison & Kanuka, 2004). Dengan demikian, BL merupakan perpaduan dari high tech dan high touch. Manfaat high tech diperoleh melalui proses dan aktivitas pembelajaran dalam LMS sedangkan high touch diperoleh melalui pembelajaran tradisional (tatap muka).



Secara teoritis, agar dapat disebut BL, sebuah pembelajaran harus mengandung 30%-79% unsur (proses, konten, aktivitas) dari salah satu dari pembelajaran tatap muka dan daring (Allen, Seaman & Garrett, 2007). Misalnya, jika konten atau proses yang dilaksanakan melalui pembelajaran tatap muka sebanyak 40% maka yang dilaksanakan melalui pembelajaran daring adalah 60%. Jika pembelajaran tatap muka sebanyak 45%, pembelajaran daring 55%, dan seterusnya (Lihat Gambar 1). Dengan demikian, dalam BL proporsi dari kedua unsur itu fleksibel, tergantung karakteristik mata pelajaran dan kondisi yang ada. 


Mata pelajaran yang menuntut banyak praktik dan aktivitas fisik, seperti "Belajar Berenang" atau "Menenun Permadani" tentu memerlukan lebih banyak porsi pembelajaran tatap muka. Sebaliknya, mata pelajaran yang bersifat konseptual bisa diberikan porsi dominan pada pembelajaran daring. Dalam konteks era Kelaziman Baru (New Normal), pertimbangan kondisi lingkungan cenderung diberi prioritas. Jika siswa direncanakan hadir di sekolah dua hari seminggu dengan waktu empat jam sehari, dan mata pelajaran yang diambil dalam satu semester melalui BL ada delapan, maka siswa setiap kelas dapat mengalokasikan porsi pembelajaran tatap muka sebanyak 50 menit per minggu. Sisa waktu yang diperlukan untuk menuntaskan pembelajaran di minggu yang sama (misalnya 100 menit) dapat dialokasikan ke dalam pembelajaran daring. Dengan demikian, porsi waktu antara pembelajaran tatap muka dan daring dalam BL tiap kelas adalah 33% : 67%.


Pembelajaran diawali dengan pengenalan dan pemahaman topik yang dipelajarai secara mandiri dengan mengakses teks, peta pikiran, slide powerpoint dan/atau menonton video yang tesedia di LMS atau di laman lain di internet. Setelah itu, masih di LMS, dilaksanakan pendalaman pemahaman melalui diskusi dan pemberian umpan balik antara siswa dengan siswa maupun guru dan siswa, yang dilakukan dalam kelompok kecil atau bersama-sama oleh seluruh anggota kelas. Dengan konsep yang sudah dimiliki, setiap siswa siap untuk menganalisis, memecahkan kasus, atau membuat proyek secara berkelompok lalu mempresentasikannya dalam sesi tatap muka. Kemudian, pembelajaran tentang topik itu dapat diakhiri dengan asesmen dengan cara mengerjakan kuis di LMS. Setelah itu, pembelajaran topik baru dapat dimulai.


Paparan di atas memperlihatkan bahwa BL pada hakikatnya tidak hanya memadukan unsur pembelajaran tatap-muka dan daring, tetapi juga pola pembelajaran individual dan kolaboratif (lihat Gambar 2). Ketika mempelajari sebuah topik, siswa tidak hanya berinteraksi dengan konten pembelajaran secara individual tetapi juga dengan siswa lain dan guru (kolaboratif). 



Gambar 2. Kombinasi Pembelajaran Tatap-Muka dan Daring serta Individual dan Kolaboratif dalam BL
(Image credit: http://www.staloysiusla.org)

Dengan adanya unsur pembelajaran tatap muka dalam BL, kelemahan pembelajaran daring, khususnya perasaan terisolasi dan minimnya komunikasi oral dapat diatasi. Keberadaan unsur pembelajaran dalam jaringan juga memungkinkan  manfaat yang ditawarkan teknologi sebagaimana diuraikan sebelumnya juga tetap dapat diperoleh. Selain itu, Osguthorpe dan Graham (2003) juga mengidentifikasi enam manfaat BL lain: (1) fleksibilitas yang memungkinkan desain pembelajaran disesuaikan dengan tujuan maupun kebutuhan individu siswa; (2) akses yang luas kepada pengetahuan; (3) kesempatan mengembangkan interaksi sosial; (4) fasilitasi bagi pengembangan kompetensi pribadi mahasiswa; (5) efisiensi biaya dan kesempatan untuk menjangkau mahasiswa di segala penjuru dunia dalam waktu singkat dan dengan pelayanan semi personal yang konsisten; dan (6) kemudahan melakukan revisi terhadap konten pembelajaran.
Keunggulan lain BL adalah kompatibilitasnya dengan prinsip-prinsip konstruktivisme yang memandang bahwa dalam pembelajaran pengetahuan dibangun oleh siswa dari pengalaman dan pemikiran tentang pengalaman itu. Berbeda dengan pendekatan objektivis yang meyakini cara terbaik untuk menguasai pengetahuan adalah melalui transfer atau diseminasi dari seorang pemberi (guru) kepada penerima (siswa), konstruktivis menekankan bahwa pengetahuan diperoleh dengan cara menciptakan makna pada pengalaman.
Lebih jauh, konstruktivisme sosial menekankan penciptaan makna untuk membangun pengetahuan biasanya berlangsung melalui interaksi sosial karena siswa memproses informasi secara sosial lalu menginternalisasinya. Oleh karena itu, siswa harus aktif berinteraksi dengan berbagai sumber informasi dan berbagi ide dengan siswa lainnya sehingga mereka saling melengkapi. Dalam BL, siswa dengan mudah dapat berinteraksi secara individual dengan konten pembelajaran (sumber dan media belajar) maupun secara kolaboratif dengan beragam pihak (guru, sesama siswa, atau pihak terkait lainnya). Interaksi individual dengan konten membangun pemahaman pribadi, sedangkan interaksi kolaboratif memberikan beragam perspektif, budaya dan konteks, yang memperkuat pemahaman pribadi tiap siswa atas sebuah konsep dan konteks penerapannya.
Berbagai penelitian di jenjang pendidikan dasar hingga perguruan tinggi menunjukkan BL meningkatkan capaian pembelajaran dan keterampilan serta mengembangkan sikap siswa. Karena keunggulannya, mayoritas siswa di AS yang tadinya mengikuti pembelajaran daring telah beralih ke BL. Salama (2005) menegaskan bahwa BL merupakan alternatif pembelajaran daring yang logis dan dapat diterima secara ilmiah, memberikan capaian pembelajaran yang lebih tinggi, berbiaya lebih murah, dan dapat menggabungkan berbagai jenis pembelajaran yang ‘canggih’. Hasil penelitian (Kenney & Newcombe, 2011; Garrison & Kanuka, 2004) menunjukkan bahwa siswa yang belajar dengan metode BL mencapai skor rata-rata dan tingkat kepuasan pembelajaran lebih tinggi daripada siswa yang belajar dengan metode non-BL.

Elemen Pokok Blended Learning
Untuk membangun BL yang efektif diperlukan empat elemen pokok. Pertama, guru yang menguasai mata pelajaran yang diampu, keterampilan literasi TIK dasar, kompetensi pedagogi, dan kesediaan “berlama-lama” terkoneksi dengan internet. Kedua, siswa yang memiliki infrastruktur untuk mengakses LMS via internet dan memahami tujuan serta prosedur BL Dalam hal ini siswa perlu dilengkapi dengan panduan yang senantiasa dapat diakses. Ketiga, kurikulum yang telah didisain sedemikian rupa hingga menggambarkan dengan jelas bagian mana dan aktivitas apa dalam silabus yang paling pas ditempatkan atau diselenggarakan melalui pembelajaran tatap muka dan yang yang paling cocok di LMS. Keempat, teknologi yang digunakan sebagai LMS. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, sangat baik jika sekolah telah memiliki LMS sendiri. Tapi sekolah yang belum memiliki LMS sendiri tetap bisa menyelenggarakan pembelajaran daring dengan memanfaatkan aplikasi yang tersedia di internet, seperti Edmodo, Moodle, Khan Academy, Schoology, dan Google Classroom.
Berdasarkan pengalaman penulis, agar mampu menyelenggarakan BL, seorang guru yang menguasai bidang studinya dan difasilitasi dengan infrastruktur TIK dan akses internet, dapat mentransformasi pembelajaran tatap muka menjadi BL setelah berlatih dalam 8 sesi. Jika sesi pelatihan berlangsung sekali seminggu dengan durasi sekitar dua jam, pelatihan selesai dalam waktu dua bulan. Jika sesi pelatihan berlangsung 2 kali seminggu, pelatihan akan selesai dalam waktu sebulan. Karena pelatihan membangun BL lebih efektif melalui metode BL, guru tidak perlu meninggalkan tugas pokoknya sebagai pendidik. Setelah menjalani pelatihan, guru dapat langsung mengajarkan mata pelajarannya melalui BL. Sebagaimana halnya dengan keterampilan lain, kemahiran menyelenggarakan BL juga akan terus berkembang seiring dengan bertambahnya pengalaman. Penjelasan tentang prosedur membangun BL dapat dilihat dalam artikel Membangun Blended Learning.

Penutup

Pengalaman selama menjalani “learning from home” mengajarkan kepada kita betapa strategisnya pembelajaran daring. Meskipun pembelajaran daring memiliki beberapa kelemahan, ketidaksiapan kita mengoptimalkannya telah menelantarkan pembelajaran puluhan juta generasi muda kita. Suasana kehidupan di era kelaziman baru juga sangat riskan untuk “memaksakan” pembelajaran tatap muka setiap hari dalam waktu yang lama di sekolah. Oleh karena itu, sudah saatnya kita mulai membangun BL sebagai opsi terbaik untuk mensukseskan pembelajaran. Karena keterampilan dasar untuk mendisain dan menjalankan BL dapat dilatih dengan cepat (satu hingga dua bulan), adalah sangat strategis bila tiap sekolah memfasilitasi pelatihan seperti ini. Jika setiap mata pelajaran sudah dapat menerapkan BL, pembelajaran di masa selanjutnya akan tetap berjalan efektif meskipun era kelaziman baru menuntut pelaksanaan protokol-protokol baru yang mungkin dibutuhkan. BL adalah metode pendidikan terbaik. Sehubungan dengan itu, jika momentum untuk mengoptimalkan penggunaan teknologi yang ditimbulkan oleh Covid 19 ini tidak kita manfaatkan untuk membangun BL yang efektif, maka kita akan kehilangan kesempatan besar untuk mentranformasi pendidikan bagi bangsa kita. Jika kesempatan ini berlalu begitu saja, diperlukan pandemi yang sama atau lebih mengerikan untuk memperoleh kesempatan yang sama, dan pastilah tidak ada diantara kita yang menyetujuinya. *****


Bagaimana pendapat Anda tentang esensi membangun Blended Learning di sekolah-sekolah di Indonesia? Silahkan tuliskan pendapat Anda di bagian komentar di bawah ini. Jika Anda ingin berkonsultasi tentang pembangunan BL, silahkan hubungi kami melalui email penulis.

Versi Bahasa Inggris artikel in dapat diakses di sini.


Author: Parlindungan Pardede (parlin@weedutap.com)

Comments

  1. Wah... hebat, Pak. Pak Mendikbud, Nadiem Makarim setuju dengan Ide Bapak tentang blended atau hybrid learning. Malah sudah diputuskan dua hari yang lalu. https://www.haibunda.com/trending/20200704170455-93-149840/menteri-nadiem-rencanakan-sistem-belajar-permanen-hybrid-begini-penjelasannya
    Yang saya khawatirkan adalah: Apakah guru-guru siap? Apakah fasilitas belajar daring bisa segera ditingkatkan dan dilengkapi?

    ReplyDelete
  2. Iya nih... kok ide dalam artikel ini, yang ditulis 6 minggu lalu bisa sama dengan keputusan Mendikbud ya. Semoga rencana tersebut dapat direalisasikan.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Types and Functions of Plot

Type of Plots  The plot used in fictions can be differentiated into four types: linear, episodic, parallel, and flashback. The most common plot employed in short stories is the linear plot. Some short stories, though quite rarely, also use flashback plot. The episodic and parallel plots, however, are found only in long fiction, i.e. novels. Short storied do not use episodic and parallel plots because short stories normally concentrate on a single event with a very limited number of characters, while episodic and parallel plots include a series of events or more than one plot. The following section describes each plot briefly. The Linear Plot The linear plot (sometimes is also called dramatic or progressive plot) presents action or occurrences chronologically. It typically starts with an exposition (or introduction to the setting and characters) and the conflict. After that, the rising action follows which leads to a climax. Soon after the climax, falling action emerges which brings

Identifying a Research Problem (and Writing the Statement of the Problem)

  Research is essentially a problem-driven process. It starts and focuses on a specific problem or phenomenon. During the research process, data is collected and theories are elaborated to explain the problem. In other words, identifying and determining the problem to study is the first and the most important aspect to deal with in undertaking research. Thus, the research problem is the foundation of a research project. If the foundation is shaky the entire project is doomed to failure. Despite its critical importance, identifying and stating a research problem are the most challenging aspects of undertaking research, especially for novice researchers. This might be due to an insufficient understanding of how to identify and write for a study. This article describes research problem identification as the first step of a research process. It starts by describing what a research problem is, how to identify it, and where to obtain it. Then it briefly probes the criteria for determining a

An Analysis of the Theme of Hemingway’s “Old Man at the Bridge”

  An Analysis of the Theme of Hemingway’s “Old Man at the Bridge” Introduction The theme is one of the most interesting elements of fiction, including a short story. It refers to the central idea or meaning that the author wants to convey to the readers. Some stories convey a single theme, but some other stories have several themes. Since short stories are related to human life, Alternbend and Lewis (1966, p. 78) define theme as “The general vision of life or the more explicit proposition about human experience that literature conveys”. In relation to this, one of the easiest ways to determine the theme of a short story is by asking ourselves, “What does the story say about life? The theme of fiction is generally presented through the other elements of fiction, particularly the plot and characterization. This article is a venture to analyze the theme of Hemingway’s Old Man at the Bridge . This story is interesting to analyze due to two reasons. First, it is based on Hemingway’s exp