Skip to main content

Krisis Membaca: Biang Kerok Rendahnya Kualitas Pendidikan Indonesia

Image Credit: https://raisingrobustreaders.com/2015/07/struggling-readers/


Pendahuluan
Sejak proklamasi kemerdekaan pada tahun 1945, pembangunan pendidikan nasional Indonesia kelihatannya masih memprioritaskan pemenuhan aspek kuantitas, khususnya pengadaan gedung sekolah, sarana pendidikan, dan pendidik (guru dan dosen). Fokus pengembangan kuantitas ini membuahkan hasil yang signifikan. Menurut Biro Pusat Statistik (2019) di tahun 2019, persentase penduduk yang bersekolah berdasarkan usia adalah: untuk kelompok usia 7-12 tahun, 99,24%; yang berusia 13-15 tahun, 95,31%; yang berusia 16-18 tahun, 72,36%; dan yang berusia 19-24 tahun, 25,21%. Dengan demikian, hampir semua anak Indonesia usia SD dan SMP telah bersekolah; 3 dari 4 penduduk berusia 16-18 tahun belajar di SLTA, dan 1 dari 4 lulusan SLTA belajar di perguruan tinggi. Selain itu, pada tahun 2019 Angka Melek Huruf (AMH) penduduk Indonesia berusia 15 tahun ke atas adalah 95,90%.
Berbagai upaya peningkatan kualitas sebenarnya sudah dilakukan. Kurikulum, misalnya, sudah diubah sebanyak 10 kali, yakni kurikulum  1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004, 2006 dan 2013. Untuk mengimplementasikan kurikulum baru, berbagai pelatihan guru juga telah dilakukan. Namun, upaya-upaya tersebut masih belum berhasil. Kualitas pendidikan nasional Indonesia masih rendah jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Hasil studi PISA (Programme for International Student Assessment) 2018 yang dirilis oleh OECD menunjukkan bahwa skor rata-rata kemampuan membaca siswa Indonesia hanya 371, jauh lebih rendah dari skor rata-rata OECD, 487. Dengan skor itu, kemampuan membaca siswa Indonesia berada di peringkat ke-74 dari 79 negara OECD. Tren yang sama terjadi pada kemampuan matematika (Indonesia, 379; rata-rata OECD, 489), dengan peringkat ke-73 dari 79 negara OECD. Kemampuan sains (Indonesia, 371; rata-rata OECD, 489), dengan peringkat ke-71 dari 79.
Image Credit: https://oklahoman.com/article/feed/9447468/we-have-a-national-reading-crisis
Esensi Membaca Sebagai Fondasi Pembelajaran
Terdapat banyak faktor yang menyebabkan rendahnya capaian pembelajaran siswa di sekolah Indonesia. Namun salah satu faktor utama adalah lemahnya budaya membaca di kalangan murid/siswa. Membaca adalah fondasi dan sekaligus pintu gerbang menuju pembelajaran. Siswa yang mahir dan gemar membaca dapat mempelajari apapun juga, sedangkan siswa yang tidak mahir dan tidak suka membaca akan menghadapi banyak kesulitan ketika belajar.
Peran membaca sebagai fondasi dan sekaligus faktor sukses pembelajaran didukung oleh lima faktor berikut. Kelima faktor ini pada hakikatnya saling terkait. Pemisahan kelima faktor itu dilakukan hanya untuk mempermudah pembahasan.
Pertama, sistem pembelajaran modern sangat tergantung kepada literasi (keterampilan membaca dan menulis). Ketergantungan ini terjadi karena kehidupan modern, ke mana siswa dipersiapkan, menuntut literasi sebagai kebutuhan utama. Reading Foundation memperkirakan lebih dari 85% kurikulum pendidikan modern dipelajari melalui membaca. Apapun subjek yang dipelajari, matematika, sains, sejarah, atau seni, sumber informasi utamanya diperoleh melalui buku, artikel, lembar kerja, atau sumber-sumber daring (online), dan semua sumber itu harus dibaca.
Kedua, membaca berdampak positif terhadap pengembangan perilaku, sikap dan kepribadian siswa. Menurut Panneton (2015), siswa dengan keterampilan membaca yang kuat mampu meraih prestasi akademik yang baik, memiliki citra diri yang sehat, menjadi pembelajar seumur hidup, dan menjadi karyawan yang banyak dicari. Sebaliknya, siswa dengan keterampilan membaca lebih rendah dari teman sebayanya cenderung merasa inferior, rendah diri dan bahkan kehilangan kepercayaan diri (Lynn’s Learning). Penelitian Karanja (2015) juga mengungkapakan bahwa siswa yang drop out, sering membolos, dan mengulang kelas adalah siswa yang bermasalah dalam membaca.
Membaca, khususnya membaca fiksi, efektif membantu pengembangan sikap dan kepribadian. Penelitian Kidd dan Castano (2013) terhadap 114 orang dewasa mengungkapkan bahwa membaca karya satra fiksi mengembangkan kemampuan memahami emosi orang lain, sebuah keterampilan krusial dalam pergaulan sosial yang kompleks. Senada dengan itu, penelitian Mar (2010) tentang dampak membacakan fiksi dan menonton film di televisi kepada anak-anak berusia 4-6 tahun menunjukkan bahwa semain banyak mendengar cerita fiksi, empati anak-anak tersebut terhadap orang lain semakin tinggi, sedangkan menonton film tidak berpengaruh terhadap empati mereka.
Ketiga, membaca mengembangkan kemampuan berpikir. Hasil penelitian terkini menunjukkan bahwa pandangan tradisional yang menyatakan membaca merupakan keterampilan reseptif, yang di dalamnya pembaca menerima pesan penulis melalui teks, sudah tidak relevan. Penelitian terkini menunjukkan bahwa membaca merupakan sebuah proses mental (kognisi) yang didalamnya pembaca secara aktif melibatkan memori untuk membandingkan dan memadukan pengetahuan yang telah dimilikinya dengan informasi yang tersaji dalam teks hingga dia memperoleh pemahaman (makna) yang baru.
Dengan demikian, membaca merupakan dialog antara pembaca dengan teks. Dalam dialog itu, dengan berlandaskan pada pengetahuan latar yang dimiliki, pembaca memroses informasi dalam teks sambil memprediksi, membandingkan, mengevaluasi, dan menarik kesimpulan. Dengan demikian, membaca merupakan aktivitas berpikir. Orang yang malas berpikir tidak dapat membaca.
Keempat, membaca merangsang perkembangan dan kesehatan otak. Sama dengan otot lain di tubuh manusia, otak memerlukan latihan supaya tetap kuat dan sehat, dan membaca merupakan latihan utama bagi otak. Szweb dkk (2011) mengkaji efek membaca terhadap otak dengan melibatkan 31 orang dewasa yang telah belajar membaca sejak kecil, 21 orang dewasa yang belajar membaca setelah dewasa, dan 10 orang dewasa yang belum pernah membaca.  Dengan menggunakan alat pencitraan resonansi magnetic fungsional (functional magnetic resonance imaging), fungsi otak partisipan dimonitor ketika mereka merespon ungkapan lisan, teks, dan aktivitas visual.  Hasil penelitian menunjukkan bacaan lebih efektif untuk menstimulasi otak dibandingkan dengan bahasa oral atau gambar. Selaain itu, ditemukan bahwa membaca berdampak pada kemampuan komunikatif individu lainnya, dan. membantu individu untuk memproses infromasi secara verbal dan visual. Inilah yang menyebabkan kemampuan membaca yang rendah membuat individu berprestasi rendah di bidang akademik lainnya.
Ketika seseorang membaca, otaknya membentuk neuron-neuron baru yang sekaligus meningkatkan kapasitas memori. Pembentukan neuron baru ini dapat berlangsung pada individu berusia muda maupun tua. Oleh karena itu, keterampilan membaca dapat dikembangkan oleh setiap individu tanpa memandang usia. Bagi anak-anak, kebiasaan membaca akan meningkatkan pengembangan diri, sedangkan bagi kalangan lanjut usia, membaca akan membantu pencegahan demensia. Lee, Richards, dan Chan (2018) mengobservasi 15.582 warga Cina berusia 65 tahun ke atas selama lima tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aktivitas intelektual, termasuk membaca (buku, Koran, majalah) serta bermain mahyong dan kartu membantu partisipan mencegah demensia. Penelitian Wilson dkk (2013) mengungkapkan bahwa pembaca seumur hidup (life-long readers) lebih terlindungi dari demensia dan pengerutan volume otak (amyloid burden). Membaca hingga usia lanjut juga mengurangi penurunan daya ingat hingga lebih dari 30% dibandingkan dengan aktivitas intelektual lainnya.
Faktor kelima adalah kemahiran membaca berdampak positif dan signifikan terhadap capaian pada semua aspek akademik. British Cohort Study, yang meneliti 17,000 orang yang lahir pada minggu yang sama di tahun 1970, mengungkapkan bahwa partisipan yang sering membaca untuk kesenangan pada usia 10 tahun dan melakukannya lebih dari sekali per minggu ketika berumur 16 tahun selalu memperoleh hasil ujian lebih tinggi daripada mereka yang jarang membaca untuk kesenangan.
Membaca kesenangan juga mengembangkan inteligensi karena aktivitas itu meningkatkan kosa kata, ejaan dan kemampuan matematika. Penelitian Karanja (2015) yang melibatkan 500 siswa dari 10 sekolah menengah umum di Distrik Kiambu, Kenya mengungkapkan bahwa siswa yang tidak memiliki masalah membaca memperoleh hasil tes akademik yang lebih tinggi daripada siswa yang memiliki kesulitan dalam membaca. Penelitian Cromley (2009) yang melibatkan siswa sekolah menengah pertama manca negara mengungkapkan bahwa kemampuan membaca berkorelasi sangat tinggi dengan capaian pembelajaran sains. Berdasarkan penelitian yang melibatkan 2.517 siswa kelas 4 sekolah dasar di Amerika Serikat, Shin dkk.(2013) melaporkan bahwa dampak kemampuan membaca terhadap matematika lebih tinggi daripada dampak kemampuan matematika terhadap membaca.


Gambar 1. Skor Rata-Rata Kemampuan siswa Indonesia Menurut PISA 2009-2018 (Source: https://www.oecd.org/pisa/publications/)

Hasil studi PISA juga secara jelas memperlihatkan kemahiran membaca berpengaruh positif dan signifikan kepada capaian matematika dan sains. Gambar 1 yang memuat tren capaian siswa Indonesia di bidang membaca, matematika, dan sains berdasarkan studi OECD selama periode 2009-2018  memperlihatkan bahwa ketika kemampuan membaca menurun maka kemampuan matematika dan sains juga menurun.
Kajian Akbaslı dkk (2016) terhadap hasil PISA 2006, 2009, dan 2012 yang diperoleh 18 negara mengungkapkan bahwa kemampuan membaca berkorelasi dengan capaian pembelajaran di bidang matematika dan sains. Hasil penelitian juga mengindikasikan bahwa kemampuan membaca berkontribusi positif atau negatif kepada keberhasilan pembelajaran matematika dan sains. Dengan kata lain, jika siswa dapat membaca dengan baik, hasil pembelajaran matematika dan sainsnya tinggi. Sebaliknya, kemampuan membaca yang rendah akan menghasilkan pembelajaran matematika dan sains yang rendah.

Benarkah Pendidikan Indonesia Krisis Membaca?
Beberapa penelitian yang pernah dilakukan mengungkapkan bangsa Indonesia belum menjadi masyarakat pembaca. Studi UNESCO (2013) memperlihatkan hanya 1 dari 1000 orang Indonesia yang membaca buku secara berkelanjutan. Hasil penelitian The Central Connecticut State University (2016) menunjukkan minat baca Indonesia berada pada urutan 60 dari 61 negara yang disurvai.
Selain itu, skor rata-rata kemampuan membaca siswa Indonesia versi PISA yang belum pernah mendekati skor rata-rata siswa di negara-negara OECD sejak tahun 2000. Hasil PISA 2018 mengungkapkan hanya 30% pelajar Indonesia yang mampu mencapai Kemahiran Membaca Tingkat 2 (rata-rata OECD: 77%). Untuk mencapai Tingkat 2 ini, siswa harus dapat mengidentifikasi ide pokok sebuah teks yang panjangnya sedang, menemukan informasi secara eksplisit, yang kadang-kadang didasarkan pada kriteria yang rumit, dan dapat menentukan tujuan serta bentuk teks jika diminta. Persentase pelajar Indonesia yang mencapai Kemahiran Membaca Tingkat 5 dan 6 sangat kecil (rata-rata OECD: 9%). Di level ini, pembaca harus mampu memahami teks yang panjang, menangani konsep abstrak atau yang berlawanan dengan intuisi, serta secara kritis membedakan fakta dan opini berdasarkan isyarat-isyarat implisit yang terkait dengan konten atau sumber informasi. Hasil-hasil penelitian tersebut jelas menunjukkan menunjukkan adanya krisis membaca di kalangan siswa Indonesia.
Empat Tipe Membaca
Setelah menyadari bahwa pelajar Indonesia mengalami krisis membaca, tentu kita bertanya: lalu, apa yang harus dilakukan untuk mengatasi krisis itu? Untuk merumuskan solusi, diperlukan identifikasi yang tepat tentang penyebab krisis tersebut. Namun, sebelum membicarakan faktor-faktor penyebab tersebut, kita perlu memiliki persepsi yang sama tentang empat tipe membaca, karena konsep ini berkaitan erat dengan faktor-faktor penyebab rendahnya minat dan praktik membaca.
Reynolds dan Fletcher-Janzen (2007), berdasarkan tujuannya, membedakan membaca ke dalam empat tipe: membaca dasar (developmental reading), membaca untuk belajar (study reading), membaca fungsional (functional reading) dan membaca untuk kesenangan (recreational reading  atau reading for pleasure).
Membaca dasar merupakan aktivitas yang dilakukan ketika seseorang belajar cara membaca (how to read). Aktivitas tersebut biasanya diarahkan untuk memampukan murid melihat bagaimana bahasa lisan diungkapkan oleh Bahasa tulis melalui pengembangan kesadaran fonemik, kemampuan dekoding, dan pengembangan kosa kata. Membaca dasar dapat dimulai di tingkat taman kanak-kanak, dan selama di kelas 1 SD, murid diharapkan sudah dapat membaca kalimat-kalimat sederhana, dan di kelas 2 SD dia sudah bisa membaca tanpa harus mengurutkan abjad. Setelah di kelas 3, murid idealnya sudah bisa membaca cerita anak-anak secara mandiri. Membaca dasar ini merupakan keterampilan yang sangat krusial. Jika anak-anak berhasil menguasai keterampilan ini dengan baik tepat waktu, ketiga tipe membaca lain akan mudah dilakukan.
Membaca untuk belajar merupakan aktivitas yang digunakan untuk mengembangkan pengetahuan dengan cara membaca. Tipe membaca ini sering disebut dengan istilah membaca pemahaman (reading for comprehension), yang dikembangkan melalui penguasaan berbagai sub-skill seperti memahami makna kata (word meaning) dengan menggunakan konteks, sinonim/antonim, atau analisis kata; membandingkan dan menghubungkan informasi untuk membangun makna (constructing meaning), mengidentifikasi topik, ide pokok, dan detil pendukung; menganalisis informasi (evaluating information), dan menarik kesimpulan.
Membaca fungsional mengacu pada aktivitas yang diarahkan untuk memperoleh informasi dalam kehidupan sehari-hari. Jadi, tujuannya bukan untuk memenuhi tuntutan pembelajaran/akademik tetapi tuntutan kebutuhan personal atau sosial. Membaca peta, mengikuti petunjuk untuk memasak makanan tertentu atau untuk merakit sebuah produk adalah contoh membaca fungsional.
Membaca untuk kesenangan merupakan aktivitas yang dilakukan berdasarkan motivasi internal, dengan tujuan utama untuk hiburan. Bahan bacaan yang sering digunakan dalam membaca untuk kesenangan adalah cerita pendek, novel, puisi, atau komik. Meskipun tujuan utamanya adalah untuk hiburan, membaca untuk kesenangan juga menjelma menjadi sebuah pengalaman yang membawa pembaca mengeksplorasi dan mengalami dunia alternatif (Department for Education, 2012). Karena membaca untuk kesenangan melibatkan kognisi, emosi, dan imajinasi sekaligus, aktivitas ini biasanya menimbulkan keterlibatan yang mendalam sehingga pembaca mengalami kehidupan yang tersaji di dalam bacaan.
Pengalaman menunjukkan bahwa minat untuk membaca fungsional dan membaca untuk belajar timbul dalam diri seseorang setelah dia cukup banyak membaca untuk kesenangan. Dengan kata lain, untuk mengembangkan minat membaca pelajar, dia terlebih dahulu harus difasilitasi dengan aktivitas membaca untuk kesenangan, yang seyogyanya dimulai ketika anak-anak mulai menguasai bahasa verbal dengan cara membacakan cerita kepada mereka. Setelah mereka mulai membaca secara mandiri (kelas 2 atau 3), memfasilitasi mereka dengan banyak bacaan variatif yang sesuai dengan usia mereka akan sangat mendukung.
Setelah memahami bahwa keberhasilan pendidikan Indonesia yang telah berlangsung hampir 75 tahun di sisi kuantitas belum diimbangi oleh aspek kualitas karena krisis membaca, tentu kita ingin melihat solusi yang sesuai untuk mengatasi krisis tersebut. Namun, sebelum tiba pada pembahasan solusi, kita perlu mengidentifikasi penyebab krisis tersebut. Identifikasi itu dibahas dalam Mengapa Pelajar Indonesia Krisis Membaca. Berdasarkan identifikasi itu, solusi yang dapat dilakukan dipaparkan di Strategi Untuk Mengatasi Krisis Membaca di Kalangan Pelajar di Indonesia. ***

Apa pendapat Anda tentang isi artikel ini? Silahkan tuliskan pandangan Anda pada bagian "Comments" di bawah.

Versi Bahasa Inggris artikel ini dapat dibaca di sini.
Author: Parlindungan Pardede (parlin@weedutap.com)

Comments

Popular posts from this blog

Types and Functions of Plot

Type of Plots  The plot used in fictions can be differentiated into four types: linear, episodic, parallel, and flashback. The most common plot employed in short stories is the linear plot. Some short stories, though quite rarely, also use flashback plot. The episodic and parallel plots, however, are found only in long fiction, i.e. novels. Short storied do not use episodic and parallel plots because short stories normally concentrate on a single event with a very limited number of characters, while episodic and parallel plots include a series of events or more than one plot. The following section describes each plot briefly. The Linear Plot The linear plot (sometimes is also called dramatic or progressive plot) presents action or occurrences chronologically. It typically starts with an exposition (or introduction to the setting and characters) and the conflict. After that, the rising action follows which leads to a climax. Soon after the climax, falling action emerges which brings

Identifying a Research Problem (and Writing the Statement of the Problem)

  Research is essentially a problem-driven process. It starts and focuses on a specific problem or phenomenon. During the research process, data is collected and theories are elaborated to explain the problem. In other words, identifying and determining the problem to study is the first and the most important aspect to deal with in undertaking research. Thus, the research problem is the foundation of a research project. If the foundation is shaky the entire project is doomed to failure. Despite its critical importance, identifying and stating a research problem are the most challenging aspects of undertaking research, especially for novice researchers. This might be due to an insufficient understanding of how to identify and write for a study. This article describes research problem identification as the first step of a research process. It starts by describing what a research problem is, how to identify it, and where to obtain it. Then it briefly probes the criteria for determining a

An Analysis of the Theme of Hemingway’s “Old Man at the Bridge”

  An Analysis of the Theme of Hemingway’s “Old Man at the Bridge” Introduction The theme is one of the most interesting elements of fiction, including a short story. It refers to the central idea or meaning that the author wants to convey to the readers. Some stories convey a single theme, but some other stories have several themes. Since short stories are related to human life, Alternbend and Lewis (1966, p. 78) define theme as “The general vision of life or the more explicit proposition about human experience that literature conveys”. In relation to this, one of the easiest ways to determine the theme of a short story is by asking ourselves, “What does the story say about life? The theme of fiction is generally presented through the other elements of fiction, particularly the plot and characterization. This article is a venture to analyze the theme of Hemingway’s Old Man at the Bridge . This story is interesting to analyze due to two reasons. First, it is based on Hemingway’s exp