Artikel sebelumnya, Krisis Membaca: Biang Kerok Rendahnya Kualitas Pendidikan Indonesia, telah memaparkan bahwa pendidikan nasional Indonesia yang telah berlangsung hampir 75 tahun sukses secara kuantitas namun masih terpuruk di sisi kualitas. Penyebab utama rendahnya kualitas tersebut adalah krisis membaca. Pengabaian membaca sebagai fondasi dan faktor sukses pembelajaran berdampak langsung pada kualitas aspek pembelajaran lainnya. Jika minat dan kemahiran membaca krisis, aspek pembelajaran lainnya juga krisis.
Untuk melanjutkan pembahasan tentang topik tersebut, artikel ini fokus pada faktor-faktor penyebab krisis membaca di kalangan pelajar Indonesia. Karena membaca merupakan aktivitas yang kompleks dan melibatkan banyak aspek, keberhasilan atau kegagalan pembelajaran membaca ditentukan oleh banyak faktor. Thomas (2019) menjelaskan bahwa membaca adalah suatu proses kognitif yang rumit, yang dimediasi oleh praktik sosial dan budaya serta membutuhkan bimbingan guru dan interaksi dengan teks untuk membangun makna. Definisi ini mengungkapkan bahwa membaca dilakukan untuk membangun makna melalui interaksi dengan teks dengan cara melibatkan pikiran, fisik, pengaruh sosial dan budaya serta media. Selain itu, berbeda dengan keterampilan berbicara yang dapat dikuasai secara alami, keterampilan membaca harus dipelajari.
Paparan tentang penyebab krisis membaca di kalangan pelajar Indonesia berikut dilandaskan pada elaborasi terhadap hakikat dan aspek-aspek membaca di atas. Bertitik tolak dari definisi tersebut, terlihat bahwa dari sisi fisik dan pikiran, mayoritas anak Indonesia tidak memiliki kendala untuk menguasai keterampilan membaca. Persentase anak berkebutuhan khusus yang ikut belajar secara inklusif di sekolah dasar umum terhitung kecil. Namun, penelitian ACDP (2012) mengungkapkan hanya 50% siswa kelas 3 dari 184 SD di 7 provinsi di Indonesia yang dapat membaca dengan lancar, itupun dengan pemahaman yang tidak menyeluruh, hanya sebagian besar isi teks yang dibaca. Dengan demikian, kegagalan pembelajaran membaca itu kelihatannya lebih dipengaruhi oleh faktor-faktor yang terkait dengan pengajaran (bimbingan) guru, sosial budaya, dan media.
Penyebab pertama adalah kegagalan praktik pembelajaran mengembangkan keterampilan membaca dasar dan dorongan agar siswa membaca untuk kesenangan. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, kegagalan menguasai keterampilan membaca dasar akan menghalangi siswa membaca untuk kesenangan. Jika siswa tidak membaca untuk kesenangan, minatnya untuk membaca untuk belajar, dan membaca fungsional akan terreduksi. Makenzi (2004) menegaskan bahwa kurangnya penguasaan keterampilan membaca dasar membuat jutaan anak-anak di negara berkembang tidak mampu membangun keterampilan membaca selanjutnya seperti yang dinikmati oleh teman-teman sebaya mereka di negara-negara maju. Temuan ACDP (2012) bahwa hanya 29% guru yang menggunakan metode yang efektif dan siswa aktif dalam pembelajaran membaca menegaskan bahwa faktor pengajaran dari guru berkontribusi cukup besar terhadap krisis membaca di kalangan siswa Indonesia.
Penyebab kedua adalah faktor budaya di Indonesia yang masih cenderung menekankan komunikasi lisan. Secara historis, budaya Indonesia memang tidak berorientasi pada komunikasi tertulis. Tulisan-tulisan kuno yang diperoleh dari berbagai wilayah Indonesia didominasi oleh naskah religius, bukan catatan ilmu pengetahuan. Selain itu, yang berhak membaca naskah-naskah itu hanyalah pemuka agama, pendeta atau rahib. Anggota masyarakat “diprogram” untuk mempelajari ajaran-ajaran dalam naskah tersebut dengan cara menyimak khotbah atau ceramah. Akibatnya, anggota masyarakat menjadi terbiasa hanya dengan komunikasi lisan. Kebiasaan ini masih berlangsung dalam berbagai bentuk aktivitas hingga saat ini. Itulah sebabnya, membaca untuk belajar, membaca fungsional, apalagi membaca untuk kesenangan masih merupakan aktivitas asing bagi sebagian besar masyarakat di Indonesia. Karena kehidupan modern sangat menuntut literasi, dan bangsa kita tidak mungkin menghindari kehidupan modern, budaya ini perlu disesuaikan.
Untuk melanjutkan pembahasan tentang topik tersebut, artikel ini fokus pada faktor-faktor penyebab krisis membaca di kalangan pelajar Indonesia. Karena membaca merupakan aktivitas yang kompleks dan melibatkan banyak aspek, keberhasilan atau kegagalan pembelajaran membaca ditentukan oleh banyak faktor. Thomas (2019) menjelaskan bahwa membaca adalah suatu proses kognitif yang rumit, yang dimediasi oleh praktik sosial dan budaya serta membutuhkan bimbingan guru dan interaksi dengan teks untuk membangun makna. Definisi ini mengungkapkan bahwa membaca dilakukan untuk membangun makna melalui interaksi dengan teks dengan cara melibatkan pikiran, fisik, pengaruh sosial dan budaya serta media. Selain itu, berbeda dengan keterampilan berbicara yang dapat dikuasai secara alami, keterampilan membaca harus dipelajari.
Paparan tentang penyebab krisis membaca di kalangan pelajar Indonesia berikut dilandaskan pada elaborasi terhadap hakikat dan aspek-aspek membaca di atas. Bertitik tolak dari definisi tersebut, terlihat bahwa dari sisi fisik dan pikiran, mayoritas anak Indonesia tidak memiliki kendala untuk menguasai keterampilan membaca. Persentase anak berkebutuhan khusus yang ikut belajar secara inklusif di sekolah dasar umum terhitung kecil. Namun, penelitian ACDP (2012) mengungkapkan hanya 50% siswa kelas 3 dari 184 SD di 7 provinsi di Indonesia yang dapat membaca dengan lancar, itupun dengan pemahaman yang tidak menyeluruh, hanya sebagian besar isi teks yang dibaca. Dengan demikian, kegagalan pembelajaran membaca itu kelihatannya lebih dipengaruhi oleh faktor-faktor yang terkait dengan pengajaran (bimbingan) guru, sosial budaya, dan media.
Penyebab pertama adalah kegagalan praktik pembelajaran mengembangkan keterampilan membaca dasar dan dorongan agar siswa membaca untuk kesenangan. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, kegagalan menguasai keterampilan membaca dasar akan menghalangi siswa membaca untuk kesenangan. Jika siswa tidak membaca untuk kesenangan, minatnya untuk membaca untuk belajar, dan membaca fungsional akan terreduksi. Makenzi (2004) menegaskan bahwa kurangnya penguasaan keterampilan membaca dasar membuat jutaan anak-anak di negara berkembang tidak mampu membangun keterampilan membaca selanjutnya seperti yang dinikmati oleh teman-teman sebaya mereka di negara-negara maju. Temuan ACDP (2012) bahwa hanya 29% guru yang menggunakan metode yang efektif dan siswa aktif dalam pembelajaran membaca menegaskan bahwa faktor pengajaran dari guru berkontribusi cukup besar terhadap krisis membaca di kalangan siswa Indonesia.
Penyebab kedua adalah faktor budaya di Indonesia yang masih cenderung menekankan komunikasi lisan. Secara historis, budaya Indonesia memang tidak berorientasi pada komunikasi tertulis. Tulisan-tulisan kuno yang diperoleh dari berbagai wilayah Indonesia didominasi oleh naskah religius, bukan catatan ilmu pengetahuan. Selain itu, yang berhak membaca naskah-naskah itu hanyalah pemuka agama, pendeta atau rahib. Anggota masyarakat “diprogram” untuk mempelajari ajaran-ajaran dalam naskah tersebut dengan cara menyimak khotbah atau ceramah. Akibatnya, anggota masyarakat menjadi terbiasa hanya dengan komunikasi lisan. Kebiasaan ini masih berlangsung dalam berbagai bentuk aktivitas hingga saat ini. Itulah sebabnya, membaca untuk belajar, membaca fungsional, apalagi membaca untuk kesenangan masih merupakan aktivitas asing bagi sebagian besar masyarakat di Indonesia. Karena kehidupan modern sangat menuntut literasi, dan bangsa kita tidak mungkin menghindari kehidupan modern, budaya ini perlu disesuaikan.
Penyebab ketiga adalah pendekatan pembelajaran yang cenderung mengarahkan siswa untuk mampu mengerjakan soal-soal ujian, termasuk ujian nasional. Pendekatan ini membuat guru lebih mengutamakan penuntasan
seluruh materi ajar dengan cara menyuruh siswa mendengarkan penjelasan,
mencatat atau membuat ringkasan materi, lalu menghapal (rote learning).
Akibatnya, siswa tidak diberi kesempatan untuk pleasure reading dan tidak perlu
membaca untuk belajar secara serius. Tidak sedikit guru yang merasa penerapan
Peraturan Mendikbud No. 23 Tahun 2015, yang mewajibkan semua siswa membaca 15 menit sebelum sebuah pembelajaran dimulai, hanya mengurangi waktu untuk
menyelesaikan ‘target’ penyelesaian materi. Terkait dengan permasalahan ini,
penghapusan ujian nasional (UN) sbagai salah satu upaya mewujudkan kebijakan "Merdeka Belajar" oleh Mendikbud Nadiem Makarim perlu
dipandang sebagai kesempatan untuk meningkatkan kesempatan bagi siswa
meningkatkan minat dan keterampilan membaca.
Faktor berikutnya adalah minimnya sarana dan prasarana
membaca. Selama ini, pengembangan perpustakaan sekolah dan pengadaan buku yang
beragam dan menarik bagi pelajar belum menjadi prioritas. Sudah menjadi rahasia
umum bahwa kebanyakan sekolah di wilayah terpencil belum memiliki perpustakaan
yang memadai. Bahkan perpustakaan sekolah di kota-kota besar juga belum
dikelola dengan baik. Koleksi buku yang dimiliki cenderung hanya berupa buku
teks. Buku-buku yang menunjang membaca untuk kesenangan sangat terbatas.
Kalaupun ada, kebanyakan merupakan terbitan lama dan sudah lusuh. Padahal,
untuk menumbuhkan minat membaca, pelajar harus terlebih dahulu membaca untuk
kesenangan, dan hal ini dapat terwujud jika mereka difasilitasi dengan banyak
buku yang variatif dan menarik, yang dapat ‘diraih’ kapan saja. Penelitian Fayose (2003) mengungkapkan bahwa
remaja di Nigeria tidak membaca untuk kesenangan karena mereka tidak menemukan
buku yang menarik bagi mereka. Mayoritas (85%) remaja yang diteliti menyatakan
mereka tidak mengunjungi perpustakaan karena koleksi buku yang ada tidak sesuai
dengan minat mereka.
Faktor kelima adalah kemajuan teknologi yang
disalahgunakan. Karena pembelajaran cenderung diarahkan untuk menghadapi ujian,
dan soal-soal ujian didominasi oleh ‘objective test’, siswa merasa perlu
membaca buku teks. Mengakses dan menghapal ringkasan topik-topik pelajaran yang
tersedia di Internet lebih praktis dan nyaman bagi mereka. Kebiasaan membaca
ringkasan di Intenet itu, disadari atau tidak, mengakibatkan dua kerugian yang
sangat fatal dilihat dari sisi membaca. Pertama, mereka menjadi terbiasa
memperoleh sesuatu secara instan dan gampang sehingga mereka sangat tidak sabar
membaca secara mendalam, apalagi teks cetak yang panjang dan padat isi
(kompleks). Kedua, karena lebih menyukai teks-teks sederhana dan pendek, mereka
seringkali tidak memperdulikan validitas dan kualitas teks yang dibaca.
Akibatnya, kemampuan membaca dan berpikir kritis mereka semakin menurun. (Tidak
heran jika 65% warga Indonesia mudah terpedaya
oleh hoak atau berita-berita palsu).
Faktor terakhir adalah kurangnya dukungan keluarga.
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, pengembangan minat membaca idealnya
dimulai ketika anak-anak mulai menguasai bahasa verbal dengan cara membacakan
cerita kepada mereka. Setelah mereka mulai membaca secara mandiri (kelas 2 atau
3), memfasilitasi mereka dengan banyak bacaan variatif yang sesuai dengan usia
mereka akan sangat mendukung. Akan tetapi, masih banyak orang tua di Indonesia
yang mengabaikan hal ini. Selain itu, tidak sedikit orangtua yang menganggap
membaca tidak penting. Meskipun mereka memiliki uang, membeli buku dianggap
tidak perlu.
Paparan dalam artikel telah mengidentifikasi enam
penyebab krisis membaca di kalangan pelajar Indonesia. Berdasarkan identifikasi
itu, pembahasan tentang solusi dapat dilakukan. Anda dapat membaca paparan tersebut
dalam Strategi Untuk Mengatasi Krisis Membaca di Kalangan Pelajar di Indonesia. ***
Apa pendapat Anda tentang isi artikel ini? Silahkan tuliskan pandangan Anda pada bagian "Comments" di bawah.
Versi Bahasa Inggris artikel ini dapat dibaca di sini.
Apa pendapat Anda tentang isi artikel ini? Silahkan tuliskan pandangan Anda pada bagian "Comments" di bawah.
Versi Bahasa Inggris artikel ini dapat dibaca di sini.
Comments
Post a Comment