Skip to main content

Flipped Classroom: Model Pembelajaran Campuran yang Efektif


Pendahuluan
Flipped classroom adalah inovasi metode pembelajaran terbaru di era dijital. Metode ini merupakan salah satu model blended learning yang begitu efektif hingga para pendidik yang sedang mempersiapkan diri melaksanakan blended learning direkomendasikan untuk menggunakannya. Penelitian mengungkapkan metode ini sangat efektif untuk mengubah siswa dari pasif menjadi menjadi aktif, dari pembelajar yang ‘ogah-ogahan’ menjadi bertanggungjawab untuk menguasai konten pembelajaran, karena metode ini mengaktivasi dan mengembangkan keterampilan berpikir siswa, baik secara mandiri maupun kolaboratif. Dengan metode ini, guru lebih berperan sebagai fasilitator, pembimbing dan motivator. 

Hakikat Flipped Classroom
Sesuai dengan namanya, ‘flipped’, yang bermakna ‘membalikkan pola, posisi, urutan, susunan, atau arah sesuatu, flipped classroom merupakan metode pembelajaran yang membalikkan atau mengubah pola pembelajaran tradisional. Karena kata ‘flipped’ bersinonim dengan ‘inverted’, flipped classroom juga dikenal sebagai sebagai “inverted classroom” (sehingga nama yang paling sesuai dalam bahasa Indonesia untuk metode ini adalah “kelas inversi”. 

Kelas tradisional pada umumnya diawali dengan pemaparan konten atau ‘transfer’ informasi dari guru kepada siswa melalui ceramah atau presentasi tatap muka. Sebagaian ceramah atau presentasi, jika masih ada waktu, dilanjutkan dengan tanya-jawab atau diskusi. Setelah itu, pembelajaran dilanjutkan di luar kelas (non-tatap muka) dengan fokus pada aktivitas mengasimilasi pengetahuan oleh siswa melalui penyelesaian tugas atau pekerjaan rumah (PR).

Gambar 1. Tahapan dan Moda Pembelajaran dalam Flipped Classroom

Sebaliknya, seperti terlihat dalam Gambar 1, siswa dalam flipped classroom memeroleh paparan konten atau pengetahuan awal di luar sesi tatap muka melalui berbagai cara dan media, seperti membaca modul, menonton video pembelajaran, mendengarkan rekaman audio, berdiskusi informal secara daring di learning management system (LMS), dan membuat catatan tentang poin yang sulit dipahami. Setelah siswa mengkonstruksi pengetahuan melalui aktivitas-aktivitas itu, barulah pembelajaran dilanjutkan dengan sesi tatap muka, dengan fokus pada klarifikasi poin-poin yang sulit (jika ada) dan pengasimilasian pengetahuan melalui aktivitas diskusi kelas/kelompok, studi kasus, debat, pemecahan masalah, atau presentasi siswa. Setelah itu, aktivitas pembelajaran dilanjutkan dengan menugaskan siswa mengaplikasikan pengetahuan yang baru dipelajari dengan cara mengevaluasi produk atau membuat proyek, yang kemudian bisa diakhiri dengan tes/ujian akhir (jika diperlukan). Tabel 1 menyajikan aktivitas pembelajaran yang lazim digunakan pada masing-masing tahapan flipped classroom.


Empat Pilar Flipped Classroom
The Flipped Learning Network (2018) menyatakan Flipped classroom ditunjang oleh  empat pilar yang huruf inisialnya membentuk akronim FLIP, yakni: Flexible environment, Learning culture, Intentional content, dan Professional educator (Gambar2). Pilar pertama mengacu pada fleksibilitas dalam hal waktu dan tempat pembelajaran maupun gaya belajar yang dapat dipilih siswa. Ketika melakukan aktiivitas mengenal dan mengkonstruksi pengetahuan (Tahap 1 pada Gambar 1), siswa dapat melakukan pembelajaran di tempat dan pada waktu yang paling disenangi serta disesuaikan dengan gaya dan kecepatan belajarnya. Siswa yang lebih suka gaya belajar auditorial dapat memilih mendengar rekaman ceramah guru. Siswa yang lebih menyukai gaya belajar visual dapat menonton video pembelajaran. Yang lebih menyenagi gaya belajar verbal bisa memilih membaca teks. Dengan demikian, guru juga bersikap fleksibel dalam hal pemenuhan tenggat waktu oleh siswa, selagi hal itu masih berada dalam periode yang telah ditentukan.
Aktivitas pembelajaran di Tahap 2 dan Tahap 3 juga perlu disesuaikan dengan preferensi siswa. Jika para siswa lebih menyukai debat daripada didskusi ketika belajar di sesi tatap muka, maka pembelajaran sebaiknya dilakukan melalui debat. Jika siswa lebih suka membuat film pendek daripada menulis makalah sebagai tugas akhir, maka guru juga perlu memfasilitasi, dengan catatan fleksibilitas yang dipilih harus relevan dengan konten dan tujuan pembelajaran.
Pilar kedua, budaya pembelajaran, mengacu pada pendekatan pembelajaran yang berpusat pada siswa (student-centered) yang mengembangkan otonomi siswa menuju independensi dalam pembelajaran. Jika dalam kelas tradisional guru merupakan sumber informasi utama, sedangkan siswa berperan seperti busa yang menyerap informasi atau ‘penonton’ yang menyimak ceramah atau presentasi guru, maka dalam flipped classroom siswa berperan sebagai ‘kreator’ yang mengkonstruksi pengetahuan atau aktor yang terlibat dalam pertunjukan dan sekaligus menjadi evaluator pembelajaran masing-masing.
Gambar 2. Pilar Flipped Classroom

Hasil hasil penelitian terkini mengungkapkan bahwa pembelajaran yang efektif dapat berlangsung hanya jika para siswa terlibat secara aktif. Belajar berbeda dengan menonton sepakbola. Siswa tidak bisa belajar optimal jika dia hanya duduk dan mendengar ceramah guru, menghapal informasi, mengerjakan tugas yang jawabannya sudah dikemas mirip dengan informasi yang dihapal. Agar benar-benar menguasai pengetahuan/ keterampilan dengan baik, siswa harus mempertanyakan informasi yang diperoleh, mengaitkan pengetahuan/keterampilan baru dengan pengalaman dan realita, melihat pengetahuan/ keterampilan itu dari berbagai sudut pandang orang lain (teman sekelas, guru, dll.), dan menerapkan pengetahuan/keterampilan baru dalam kehidupan sehari-hari. Singkatnya, pembelajaran yang efektif memampukan setiap siswa menjadikan pengetahuan/ keterampilan yang dipelajarai menjadi bagian dari dirinya sendiri, dan ini bisa dicapai hanya jika pembelajaran benar-benar student-centered.

Pilar ketiga, konten pembelajaran yang diprogram dengan baik oleh guru sehingga semua aktivitas pembelajaran terintegrasi dengan tujuan dan melibatkan serta sekaligus mengembangkan keterampilan berpikir. Dengan demikian, siswa tidak hanya menguasai pengetahuan/keterampilan yang dipelajarai tetapi juga mengembangkan keterampilan berpikir. Agar pengintegrasian tersebut efektif, guru perlu memastikan bahwa waktu pembelajaran yang tersedia benar-benar dioptimalkan untuk mencapai tujuan pembelajaran, namun dilaksanakan dengan metode dan strategi yang semenarik mungkin bagi para siswa.


Pilar keempat menekankan bahwa guru yang menjalankan flipped classroom harus benar-benar professional. Tuntutan flipped classroom terhadap profesionalisme guru jauh lebih tinggi daripada tuntutan kelas tradisional.  Dalam flipped classroom, guru tidak hanya menguasai bidang studi yang diajarkan dan kompeten membangun blended learning yang efektif untuk bidang studi itu tetapi juga harus berkomitmen untuk terus memonitor, membimbing dan memberi umpan balik ketika dibutuhkan. Jika guru yang menyelenggarakan pembelajaran tradisional tidak lagi berkomunikasi dengan siswa setelah tatap muka selesai, guru yang menyelenggarakan Flipped classroom tetap terhubung dan membimbing siswa secara berkelanjutan melalui komunikasi daring. Selain itu, guru yang menjalankan flipped classroom juga harus menjadi praktisi yang reflektif, terbuka pada kritik yang konstruktif, dan bisa menerima serta memanfaatkan berbagai dinamika yang timbul untuk menyempurnakan untuk terus memperbaiki pengajarannya.


Konstruktivisme dalam Flipped Classroom
Adanya dukungan keempat pilar di atas membuat flipped classroom sangat sesuai dengan konstruktivisme, pendekatan atau filsafat pembelajaran yang memandang bahwa pembelajaran tidak berlangsung di ruang hampa, tetapi dalam sebuah konteks dan terkait dengan pengalaman sebelumnya. Menurut konstruktivisme, setiap peserta didik memperoleh pengetahuan atau keterampilan baru dengan cara menghubungkan informasi baru dengan pengalaman untuk menciptakan makna pada informasi baru dan pengalaman itu. Dengan demikian, dalam setiap pembelajaran siswa merupakan pencipta, bukan penerima pengetahuan. Menurut konstruktivisme, pengetahuan bukan sebuah entitas yang berada di luar pikiran dan dapat dituangkan atau ditransfer ke dalam pikiran orang lain. Konstruktivisme menentang pendekatan objektivisme yang  menyatakan  pembelajaran terbaik dapat dilakukan  dengan  cara memindahkan  atau  mentransfer pengetahuan dari seorang  pemberi  (guru)  kepada penerima  (siswa). Konstruktivisme menekankan bahwa sebagai kreator pengetahuan, siswa harus terlibat dan berperan aktif dalam pembelajaran.

Karena dalam pembelajaran siswa merupakan kreator pengetahuan, tugas utama seorang guru bukanlah mentransfer informasi tetapi  merancang  sebuah  lingkungan  pembelajaran yang  otentik,  yang memfasilitasi, merangsang,  dan  merekreasi  kehidupan nyata untuk memperkaya pengalaman bermakna bagi siswa.  Lingkungan belajar seperti itu memberikan pengalaman dan kesempatan berlimpah  kepada  mahasiswa untuk membangun pengetahuan dalam suatu konteks.

Selama pembelajaran berlangsung masing-masing siswa akan  membangun pemahaman yang unik terhadap informasi baru yang diterima. Keunikan atau ketidaksamaan pemahaman itu diakibatkan oleh dua hal. Pertama, setiap siswa membawa pengalaman berbeda ke dalam pembelajaran. Kedua, setiap siswa memiliki perspektif masing-masing. Meskipun demikian, perbedaan perbedaan itu justru merupakan landasan yang bagus untuk melakukan aktivitas pertukaran ide. Interaksi dengan berbagai pihak serta beragam perspektif, budaya dan konteks akan memperkuat pemahaman tiap siswa atas  sebuah konsep dan  konteks penerapannya. Sebagai contoh, kemahiran siswa dalam menulis alinea akan semakin tinggi jika dia menerima umpan balik tentang pengembangan ide pokok dari si A, penggunaan tanda baca yang tepat dari si B, pilihan kata yang sesuai dari si C, dan sebagainya.

Keterampilan Berpikir dalam Flipped Classroom
Berpikir dan belajar merupakan dua entitas yang tidak terpisahkan, karena pembelajaran tidak dapat berlangsung tanpa melibatkan pikiran. Bahkan, selain memperkaya pengetahuan dan membangun karakter, mengembangkan kemampuan berpikir adalah salah satu tujuan utama pembelajaran.

Dilihat dari penglibatan dan pengembangan keterampilan berpikir, flipped classroom jauh lebih efektivitas daripada kelas tradisional. Dengan menggunakan Taksonomi Bloom sebagai konsep keterampilan berpikir, dengan jelas terlihat bahwa pola pembelajaran dalam flipped classroom mengembangkan pikiran siswa secara lebih realistis daripada pola pembelajaran dalam kelas tradisional. Sebagaimana telah digambarkan sebelumnya, kelas tradisional diawali dengan penyempaian informasi oleh guru kepada siswa. Aktivitas ini melibatkan aktivitas kognisi “mengingat” dan “memahami” (dua tipe berpikir tingkat rendah (Lower Order Thinkings atau LOTs) dan paling mudah. Setelah itu, siswa ditugaskan untuk menerapkan aktivitas kognisi mengaplikasikan, menganalisis, mengevaluasi dan berkreasi (Higher Order Thinkings atau HOTs) dengan cara mengerjakan PR secara mandiri setelah sesi tatap muka selesai. Dengan demikian, dalam kelas tradisional siswa belajar dengan menggunakan keterampilan berpikir tingkat rendah yang relative mudah ketika belajar bersama dengan guru dan teman sekelas tapi dituntut untuk menggunakan mengaplikasikan, menganalisis, mengevaluasi dan berkreasi) keterampilan berpikir tingkat tinggi (HOTs) yang lebih sulit ketika belajar sendirian. Sebaliknya, dalam flipped classroom, siswa belajar dengan menggunakan LOTs yang lebih mudah ketika belajar sendiri namun menggunakan HOTs yang lebih sulit di sesi tatap muka ketika dukungan teman sekelas dan guru tersedia (Gambar 3).

Tabel 2 menyajikan aktivitas alternatif yang dapat diterapkan dalam kelas flipped classroom ditinjau dari sisi aktivasi berpikir dalam taksonomi Bloom. Daftar ini tidak mencakup semua aktivitas untuk semua jenis mata pelajaran. Penyajian daftar ini hanyalah untuk menginspirasi guru dalam memilih aktivitas pembelajaran. guru tentu saja harus memilih aktivitas yang sesuai dengan tujuan, sasaran, dan konten pembelajaran kelas yang diampunya.

Tabel 2. Aktivitas Pembelajaran FC berdasarkan Taksonomi Bloom

Sebagian siswa di sekolah dasar dan menengah, khususnya yang relatif baru mengikuti flipped classroom dan belum terbiasa belajar mandiri, aktivitas mengenal dan mengkonstruksi pengetahuan di Tahap 1 mungkin saja sulit dilakukan. Untuk membantu mereka, konten pembelajaran perlu disediakan dalam berbagai bentuk file (teks, audio, video, gambar/slides) di LMS. Dengan demikian, siswa bisa memilih file yang paling sesuai dengan gaya belajar masing-masing atau mempelajari beberapa file (misalnya, teks dan video) untuk mempermudah aktivitas “remembering” dan “understanding”.

Memulai Flipped Classroom
Sebagaimana telah disebutkan sebelmnya, flipped classroom merupakan salah satu model blended learning. Oleh karena itu, prosedur dan langkah-langkah membangun flipped classroom sama dengan membangun blended learning. sehubungan dengan itu, seilahkan melihat tahapan pembangunan blended learning dalam artikel Membangun Blended Learning.

Untuk mempermudah guru membangun flipped classroom, berikut ini adalah tip-tip praktis yang mungkin dibutuhkan. Pertama, implementasi flipped classroom tidak harus langsung mencakup semua pokok bahasan sebuah mata pelajaran. Guru dapat memulai dengan menerapkannya hanya pada satu pokok bahasan. Jika guru sudah mulai mahir dan siswa sudah beradaptasi, beberapa pokok bahasan lainnya dapat ditambahkan.

Kedua, teknologi yang digunakan harus berwujud learning management system (LMS) sehingga semua konten dan media terpusat dan dapat diakses kapan saja, serta smua aktivitas dan progres siswa terrekam dan dapat diakses kembali dengan mudah.

Ketiga, guru perlu menyediakan video pembelajaran yang komprehensif dan menarik. Pengalaman dan penelitian menunjukkan bahwa video adalah media yang sangat diminati siswa, terutama di jenjang pendidikan dasar dan menengah. Bagi kebanyakan siswa, video lebih mudah dipahami dan lebih menarik daripada teks. Selain itu, para siswa dapat menonton video pembelajaran kapanpun dan di manapun. Dalam praktik, mereka dengan mudah dapat menghentikan video ketika membuat catatan atau memutar ulang video untuk mempelajari kembali poin tertentu.

Keempat, flipped classroom sangat bergantung pada partisipasi siswa. Oleh karena itu, semua siswa perlu diberikan pemahaman tentang esensi keterlibatan mereka sebelum memulai flipped classroom serta memonitor dan terus memotivasi mereka selama implementasi hingga akuntabilitas mereka dalam pembelajaran benar-benar terbangun.

Kelima, guru perlu melakukan perbaikan berkelanjutan hingga kelas yang dibangunnya semakin komprehensif dan kemahirannya mengimplemen-tasikan flipped learning semakin mumpuni. Dalam konteks ini, membangun jejaring dan sharing dengan kolega yang juga sedang mengembangkan flipped classroom sangat disarankan.

Kesimpulan
Flipped classroom merupakan model yang paling sering direkomendasikan ketika guru sedang mempersiapkan diri melaksanakan blended learning karena efektivitasnya. Efektivitas ini diperoleh karena flipped classroom didukung oleh empat pilar pembelajaran inovatif: flexible environment, learning culture, intentional content, dan professional educator, didasarkan pada pendekatan pembelajaran konstruktivisme dan disainnya mengaktivasi serta mengembangkan keterampilan berpikir. Flipped classroom diawali dengan menugaskan siswa mengenal dan memahami konten pelajaran di luar kelas tatap muka dengan menggunakan keterampilan berpikir tingkat rendah (LOTs). Setelah siswa memiliki “modal” pemahaman tentang konten, pembelajaran berpindah ke kelas tatap muka dengan aktivitas-aktivitas yang diarahkan untuk mengklarifikasi, memper-kuat, dan memperdalam pemahaman serta sekaligus mengembangkan keterampilan berpikir tingkat tinggi (HOTs).***

Bagaimana pendapat Anda tentang konsep flipped classroom dalam artikel ini? Adakah aspek lainnya yang urgen diikutsertakan? Silahkan tuliskan pendapat Anda di bagian komentar di bawah ini.



Author: Parlindungan Pardede (parlin@weedutap.com)

Comments

  1. Konsep Flipped Classroom ini sangat bagus karena melibatkan semua tingkatan berpikir. Siswa SMA dan Mahasiswa yang sudah bisa diminta belajar mandiri mungkin dapat mengikutinya. Bagaimana dengan pelajar SD dan SMP? Mohon penjelasan.

    ReplyDelete
  2. Decent post! Its truly fascinating. The thoughts were acceptable and supportive to us. I recommend Dissertation Writing Services UK to maintain the quality of your writing skills.

    ReplyDelete
  3. These tips are very helpful for us and through these, we can make our classrooms effective and promote education in no time because students will learn properly and they will get high grades. According to the writers of dissertation writing services our classrooms should be neat and clean, so that students can get education in good atmosphere.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Types and Functions of Plot

Type of Plots  The plot used in fictions can be differentiated into four types: linear, episodic, parallel, and flashback. The most common plot employed in short stories is the linear plot. Some short stories, though quite rarely, also use flashback plot. The episodic and parallel plots, however, are found only in long fiction, i.e. novels. Short storied do not use episodic and parallel plots because short stories normally concentrate on a single event with a very limited number of characters, while episodic and parallel plots include a series of events or more than one plot. The following section describes each plot briefly. The Linear Plot The linear plot (sometimes is also called dramatic or progressive plot) presents action or occurrences chronologically. It typically starts with an exposition (or introduction to the setting and characters) and the conflict. After that, the rising action follows which leads to a climax. Soon after the climax, falling action emerges which brings

Identifying a Research Problem (and Writing the Statement of the Problem)

  Research is essentially a problem-driven process. It starts and focuses on a specific problem or phenomenon. During the research process, data is collected and theories are elaborated to explain the problem. In other words, identifying and determining the problem to study is the first and the most important aspect to deal with in undertaking research. Thus, the research problem is the foundation of a research project. If the foundation is shaky the entire project is doomed to failure. Despite its critical importance, identifying and stating a research problem are the most challenging aspects of undertaking research, especially for novice researchers. This might be due to an insufficient understanding of how to identify and write for a study. This article describes research problem identification as the first step of a research process. It starts by describing what a research problem is, how to identify it, and where to obtain it. Then it briefly probes the criteria for determining a

An Analysis of the Theme of Hemingway’s “Old Man at the Bridge”

  An Analysis of the Theme of Hemingway’s “Old Man at the Bridge” Introduction The theme is one of the most interesting elements of fiction, including a short story. It refers to the central idea or meaning that the author wants to convey to the readers. Some stories convey a single theme, but some other stories have several themes. Since short stories are related to human life, Alternbend and Lewis (1966, p. 78) define theme as “The general vision of life or the more explicit proposition about human experience that literature conveys”. In relation to this, one of the easiest ways to determine the theme of a short story is by asking ourselves, “What does the story say about life? The theme of fiction is generally presented through the other elements of fiction, particularly the plot and characterization. This article is a venture to analyze the theme of Hemingway’s Old Man at the Bridge . This story is interesting to analyze due to two reasons. First, it is based on Hemingway’s exp