Pendahuluan
Flipped classroom adalah inovasi metode pembelajaran terbaru di
era dijital. Metode ini merupakan salah satu model blended learning yang begitu efektif hingga para pendidik yang
sedang mempersiapkan diri melaksanakan blended learning direkomendasikan untuk
menggunakannya. Penelitian mengungkapkan
metode ini sangat efektif untuk mengubah siswa dari pasif menjadi menjadi
aktif, dari pembelajar yang ‘ogah-ogahan’ menjadi bertanggungjawab untuk
menguasai konten pembelajaran, karena metode ini mengaktivasi dan mengembangkan
keterampilan berpikir siswa, baik secara mandiri maupun kolaboratif. Dengan
metode ini, guru lebih berperan sebagai fasilitator, pembimbing dan motivator.
Hakikat Flipped Classroom
Hakikat Flipped Classroom
Sesuai dengan namanya, ‘flipped’, yang bermakna ‘membalikkan pola,
posisi, urutan, susunan, atau arah sesuatu, flipped classroom merupakan metode
pembelajaran yang membalikkan atau mengubah pola pembelajaran tradisional.
Karena kata ‘flipped’ bersinonim dengan ‘inverted’, flipped classroom juga dikenal
sebagai sebagai “inverted classroom” (sehingga nama yang paling sesuai dalam
bahasa Indonesia untuk metode ini adalah “kelas inversi”.
Kelas tradisional pada umumnya diawali dengan pemaparan konten atau ‘transfer’ informasi dari guru kepada siswa melalui ceramah atau presentasi tatap muka. Sebagaian ceramah atau presentasi, jika masih ada waktu, dilanjutkan dengan tanya-jawab atau diskusi. Setelah itu, pembelajaran dilanjutkan di luar kelas (non-tatap muka) dengan fokus pada aktivitas mengasimilasi pengetahuan oleh siswa melalui penyelesaian tugas atau pekerjaan rumah (PR).
Kelas tradisional pada umumnya diawali dengan pemaparan konten atau ‘transfer’ informasi dari guru kepada siswa melalui ceramah atau presentasi tatap muka. Sebagaian ceramah atau presentasi, jika masih ada waktu, dilanjutkan dengan tanya-jawab atau diskusi. Setelah itu, pembelajaran dilanjutkan di luar kelas (non-tatap muka) dengan fokus pada aktivitas mengasimilasi pengetahuan oleh siswa melalui penyelesaian tugas atau pekerjaan rumah (PR).
Gambar 1. Tahapan dan Moda Pembelajaran dalam Flipped Classroom |
Sebaliknya, seperti terlihat dalam Gambar 1, siswa dalam flipped
classroom memeroleh paparan konten atau pengetahuan awal di luar sesi tatap muka
melalui berbagai cara dan media, seperti membaca modul, menonton video
pembelajaran, mendengarkan rekaman audio, berdiskusi informal secara daring di learning management system (LMS), dan
membuat catatan tentang poin yang sulit dipahami. Setelah siswa mengkonstruksi
pengetahuan melalui aktivitas-aktivitas itu, barulah pembelajaran dilanjutkan
dengan sesi tatap muka, dengan fokus pada klarifikasi poin-poin yang sulit
(jika ada) dan pengasimilasian pengetahuan melalui aktivitas diskusi
kelas/kelompok, studi kasus, debat, pemecahan masalah, atau presentasi siswa. Setelah
itu, aktivitas pembelajaran dilanjutkan dengan menugaskan siswa mengaplikasikan
pengetahuan yang baru dipelajari dengan cara mengevaluasi produk atau membuat
proyek, yang kemudian bisa diakhiri dengan tes/ujian akhir (jika diperlukan).
Tabel 1 menyajikan aktivitas pembelajaran yang lazim digunakan pada
masing-masing tahapan flipped classroom.
Empat Pilar Flipped
Classroom
The Flipped Learning Network (2018) menyatakan Flipped classroom ditunjang oleh empat pilar yang huruf inisialnya membentuk akronim FLIP, yakni: Flexible environment, Learning culture, Intentional content, dan Professional educator (Gambar2). Pilar pertama mengacu pada fleksibilitas dalam hal waktu dan tempat pembelajaran maupun gaya belajar yang dapat dipilih siswa. Ketika melakukan aktiivitas mengenal dan mengkonstruksi pengetahuan (Tahap 1 pada Gambar 1), siswa dapat melakukan pembelajaran di tempat dan pada waktu yang paling disenangi serta disesuaikan dengan gaya dan kecepatan belajarnya. Siswa yang lebih suka gaya belajar auditorial dapat memilih mendengar rekaman ceramah guru. Siswa yang lebih menyukai gaya belajar visual dapat menonton video pembelajaran. Yang lebih menyenagi gaya belajar verbal bisa memilih membaca teks. Dengan demikian, guru juga bersikap fleksibel dalam hal pemenuhan tenggat waktu oleh siswa, selagi hal itu masih berada dalam periode yang telah ditentukan.
The Flipped Learning Network (2018) menyatakan Flipped classroom ditunjang oleh empat pilar yang huruf inisialnya membentuk akronim FLIP, yakni: Flexible environment, Learning culture, Intentional content, dan Professional educator (Gambar2). Pilar pertama mengacu pada fleksibilitas dalam hal waktu dan tempat pembelajaran maupun gaya belajar yang dapat dipilih siswa. Ketika melakukan aktiivitas mengenal dan mengkonstruksi pengetahuan (Tahap 1 pada Gambar 1), siswa dapat melakukan pembelajaran di tempat dan pada waktu yang paling disenangi serta disesuaikan dengan gaya dan kecepatan belajarnya. Siswa yang lebih suka gaya belajar auditorial dapat memilih mendengar rekaman ceramah guru. Siswa yang lebih menyukai gaya belajar visual dapat menonton video pembelajaran. Yang lebih menyenagi gaya belajar verbal bisa memilih membaca teks. Dengan demikian, guru juga bersikap fleksibel dalam hal pemenuhan tenggat waktu oleh siswa, selagi hal itu masih berada dalam periode yang telah ditentukan.
Aktivitas
pembelajaran di Tahap 2 dan Tahap 3 juga perlu disesuaikan dengan preferensi
siswa. Jika para siswa lebih menyukai debat daripada didskusi ketika belajar di
sesi tatap muka, maka pembelajaran sebaiknya dilakukan melalui debat. Jika
siswa lebih suka membuat film pendek daripada menulis makalah sebagai tugas
akhir, maka guru juga perlu memfasilitasi, dengan catatan fleksibilitas yang dipilih
harus relevan dengan konten dan tujuan pembelajaran.
Pilar
kedua, budaya pembelajaran, mengacu pada pendekatan pembelajaran yang berpusat
pada siswa (student-centered) yang
mengembangkan otonomi siswa menuju independensi dalam pembelajaran. Jika dalam kelas tradisional guru merupakan sumber
informasi utama, sedangkan siswa berperan seperti busa yang menyerap informasi
atau ‘penonton’ yang menyimak ceramah atau presentasi guru, maka dalam flipped
classroom siswa berperan sebagai ‘kreator’ yang mengkonstruksi pengetahuan atau
aktor yang terlibat dalam pertunjukan dan sekaligus menjadi evaluator
pembelajaran masing-masing.
Hasil hasil penelitian terkini mengungkapkan bahwa pembelajaran yang efektif dapat berlangsung hanya jika para siswa terlibat secara aktif. Belajar berbeda dengan menonton sepakbola. Siswa tidak bisa belajar optimal jika dia hanya duduk dan mendengar ceramah guru, menghapal informasi, mengerjakan tugas yang jawabannya sudah dikemas mirip dengan informasi yang dihapal. Agar benar-benar menguasai pengetahuan/ keterampilan dengan baik, siswa harus mempertanyakan informasi yang diperoleh, mengaitkan pengetahuan/keterampilan baru dengan pengalaman dan realita, melihat pengetahuan/ keterampilan itu dari berbagai sudut pandang orang lain (teman sekelas, guru, dll.), dan menerapkan pengetahuan/keterampilan baru dalam kehidupan sehari-hari. Singkatnya, pembelajaran yang efektif memampukan setiap siswa menjadikan pengetahuan/ keterampilan yang dipelajarai menjadi bagian dari dirinya sendiri, dan ini bisa dicapai hanya jika pembelajaran benar-benar student-centered.
Pilar ketiga, konten pembelajaran yang diprogram dengan baik oleh guru sehingga semua aktivitas pembelajaran terintegrasi dengan tujuan dan melibatkan serta sekaligus mengembangkan keterampilan berpikir. Dengan demikian, siswa tidak hanya menguasai pengetahuan/keterampilan yang dipelajarai tetapi juga mengembangkan keterampilan berpikir. Agar pengintegrasian tersebut efektif, guru perlu memastikan bahwa waktu pembelajaran yang tersedia benar-benar dioptimalkan untuk mencapai tujuan pembelajaran, namun dilaksanakan dengan metode dan strategi yang semenarik mungkin bagi para siswa.
Pilar keempat menekankan bahwa guru yang menjalankan flipped classroom harus benar-benar professional. Tuntutan flipped classroom terhadap profesionalisme guru jauh lebih tinggi daripada tuntutan kelas tradisional. Dalam flipped classroom, guru tidak hanya menguasai bidang studi yang diajarkan dan kompeten membangun blended learning yang efektif untuk bidang studi itu tetapi juga harus berkomitmen untuk terus memonitor, membimbing dan memberi umpan balik ketika dibutuhkan. Jika guru yang menyelenggarakan pembelajaran tradisional tidak lagi berkomunikasi dengan siswa setelah tatap muka selesai, guru yang menyelenggarakan Flipped classroom tetap terhubung dan membimbing siswa secara berkelanjutan melalui komunikasi daring. Selain itu, guru yang menjalankan flipped classroom juga harus menjadi praktisi yang reflektif, terbuka pada kritik yang konstruktif, dan bisa menerima serta memanfaatkan berbagai dinamika yang timbul untuk menyempurnakan untuk terus memperbaiki pengajarannya.
Gambar 2. Pilar Flipped Classroom |
Hasil hasil penelitian terkini mengungkapkan bahwa pembelajaran yang efektif dapat berlangsung hanya jika para siswa terlibat secara aktif. Belajar berbeda dengan menonton sepakbola. Siswa tidak bisa belajar optimal jika dia hanya duduk dan mendengar ceramah guru, menghapal informasi, mengerjakan tugas yang jawabannya sudah dikemas mirip dengan informasi yang dihapal. Agar benar-benar menguasai pengetahuan/ keterampilan dengan baik, siswa harus mempertanyakan informasi yang diperoleh, mengaitkan pengetahuan/keterampilan baru dengan pengalaman dan realita, melihat pengetahuan/ keterampilan itu dari berbagai sudut pandang orang lain (teman sekelas, guru, dll.), dan menerapkan pengetahuan/keterampilan baru dalam kehidupan sehari-hari. Singkatnya, pembelajaran yang efektif memampukan setiap siswa menjadikan pengetahuan/ keterampilan yang dipelajarai menjadi bagian dari dirinya sendiri, dan ini bisa dicapai hanya jika pembelajaran benar-benar student-centered.
Pilar ketiga, konten pembelajaran yang diprogram dengan baik oleh guru sehingga semua aktivitas pembelajaran terintegrasi dengan tujuan dan melibatkan serta sekaligus mengembangkan keterampilan berpikir. Dengan demikian, siswa tidak hanya menguasai pengetahuan/keterampilan yang dipelajarai tetapi juga mengembangkan keterampilan berpikir. Agar pengintegrasian tersebut efektif, guru perlu memastikan bahwa waktu pembelajaran yang tersedia benar-benar dioptimalkan untuk mencapai tujuan pembelajaran, namun dilaksanakan dengan metode dan strategi yang semenarik mungkin bagi para siswa.
Pilar keempat menekankan bahwa guru yang menjalankan flipped classroom harus benar-benar professional. Tuntutan flipped classroom terhadap profesionalisme guru jauh lebih tinggi daripada tuntutan kelas tradisional. Dalam flipped classroom, guru tidak hanya menguasai bidang studi yang diajarkan dan kompeten membangun blended learning yang efektif untuk bidang studi itu tetapi juga harus berkomitmen untuk terus memonitor, membimbing dan memberi umpan balik ketika dibutuhkan. Jika guru yang menyelenggarakan pembelajaran tradisional tidak lagi berkomunikasi dengan siswa setelah tatap muka selesai, guru yang menyelenggarakan Flipped classroom tetap terhubung dan membimbing siswa secara berkelanjutan melalui komunikasi daring. Selain itu, guru yang menjalankan flipped classroom juga harus menjadi praktisi yang reflektif, terbuka pada kritik yang konstruktif, dan bisa menerima serta memanfaatkan berbagai dinamika yang timbul untuk menyempurnakan untuk terus memperbaiki pengajarannya.
Konstruktivisme
dalam Flipped Classroom
Adanya dukungan keempat pilar di atas membuat flipped classroom sangat sesuai dengan konstruktivisme, pendekatan atau filsafat pembelajaran yang memandang bahwa pembelajaran tidak berlangsung di ruang hampa, tetapi dalam sebuah konteks dan terkait dengan pengalaman sebelumnya. Menurut konstruktivisme, setiap peserta didik memperoleh pengetahuan atau keterampilan baru dengan cara menghubungkan informasi baru dengan pengalaman untuk menciptakan makna pada informasi baru dan pengalaman itu. Dengan demikian, dalam setiap pembelajaran siswa merupakan pencipta, bukan penerima pengetahuan. Menurut konstruktivisme, pengetahuan bukan sebuah entitas yang berada di luar pikiran dan dapat dituangkan atau ditransfer ke dalam pikiran orang lain. Konstruktivisme menentang pendekatan objektivisme yang menyatakan pembelajaran terbaik dapat dilakukan dengan cara memindahkan atau mentransfer pengetahuan dari seorang pemberi (guru) kepada penerima (siswa). Konstruktivisme menekankan bahwa sebagai kreator pengetahuan, siswa harus terlibat dan berperan aktif dalam pembelajaran.
Karena dalam pembelajaran siswa merupakan kreator pengetahuan, tugas utama seorang guru bukanlah mentransfer informasi tetapi merancang sebuah lingkungan pembelajaran yang otentik, yang memfasilitasi, merangsang, dan merekreasi kehidupan nyata untuk memperkaya pengalaman bermakna bagi siswa. Lingkungan belajar seperti itu memberikan pengalaman dan kesempatan berlimpah kepada mahasiswa untuk membangun pengetahuan dalam suatu konteks.
Selama pembelajaran berlangsung masing-masing siswa akan membangun pemahaman yang unik terhadap informasi baru yang diterima. Keunikan atau ketidaksamaan pemahaman itu diakibatkan oleh dua hal. Pertama, setiap siswa membawa pengalaman berbeda ke dalam pembelajaran. Kedua, setiap siswa memiliki perspektif masing-masing. Meskipun demikian, perbedaan perbedaan itu justru merupakan landasan yang bagus untuk melakukan aktivitas pertukaran ide. Interaksi dengan berbagai pihak serta beragam perspektif, budaya dan konteks akan memperkuat pemahaman tiap siswa atas sebuah konsep dan konteks penerapannya. Sebagai contoh, kemahiran siswa dalam menulis alinea akan semakin tinggi jika dia menerima umpan balik tentang pengembangan ide pokok dari si A, penggunaan tanda baca yang tepat dari si B, pilihan kata yang sesuai dari si C, dan sebagainya.
Karena dalam pembelajaran siswa merupakan kreator pengetahuan, tugas utama seorang guru bukanlah mentransfer informasi tetapi merancang sebuah lingkungan pembelajaran yang otentik, yang memfasilitasi, merangsang, dan merekreasi kehidupan nyata untuk memperkaya pengalaman bermakna bagi siswa. Lingkungan belajar seperti itu memberikan pengalaman dan kesempatan berlimpah kepada mahasiswa untuk membangun pengetahuan dalam suatu konteks.
Selama pembelajaran berlangsung masing-masing siswa akan membangun pemahaman yang unik terhadap informasi baru yang diterima. Keunikan atau ketidaksamaan pemahaman itu diakibatkan oleh dua hal. Pertama, setiap siswa membawa pengalaman berbeda ke dalam pembelajaran. Kedua, setiap siswa memiliki perspektif masing-masing. Meskipun demikian, perbedaan perbedaan itu justru merupakan landasan yang bagus untuk melakukan aktivitas pertukaran ide. Interaksi dengan berbagai pihak serta beragam perspektif, budaya dan konteks akan memperkuat pemahaman tiap siswa atas sebuah konsep dan konteks penerapannya. Sebagai contoh, kemahiran siswa dalam menulis alinea akan semakin tinggi jika dia menerima umpan balik tentang pengembangan ide pokok dari si A, penggunaan tanda baca yang tepat dari si B, pilihan kata yang sesuai dari si C, dan sebagainya.
Keterampilan Berpikir dalam
Flipped Classroom
Berpikir dan belajar merupakan dua entitas yang tidak terpisahkan,
karena pembelajaran tidak dapat berlangsung tanpa melibatkan pikiran. Bahkan,
selain memperkaya pengetahuan dan membangun karakter, mengembangkan kemampuan
berpikir adalah salah satu tujuan utama pembelajaran.
Dilihat dari penglibatan dan pengembangan keterampilan berpikir, flipped
classroom jauh lebih efektivitas
daripada kelas tradisional.
Dengan menggunakan Taksonomi Bloom sebagai konsep keterampilan
berpikir, dengan jelas terlihat bahwa pola pembelajaran dalam flipped classroom
mengembangkan pikiran siswa secara lebih realistis daripada pola pembelajaran
dalam kelas tradisional. Sebagaimana telah digambarkan sebelumnya, kelas
tradisional diawali dengan penyempaian informasi oleh guru kepada siswa.
Aktivitas ini melibatkan aktivitas kognisi “mengingat” dan “memahami” (dua tipe
berpikir tingkat rendah (Lower Order Thinkings atau LOTs) dan paling mudah.
Setelah itu, siswa ditugaskan untuk menerapkan aktivitas kognisi mengaplikasikan,
menganalisis, mengevaluasi dan berkreasi (Higher Order Thinkings atau HOTs)
dengan cara mengerjakan PR secara mandiri setelah sesi tatap muka selesai. Dengan
demikian, dalam kelas tradisional siswa belajar dengan menggunakan keterampilan
berpikir tingkat rendah yang relative mudah ketika belajar bersama dengan guru
dan teman sekelas tapi dituntut untuk menggunakan mengaplikasikan,
menganalisis, mengevaluasi dan berkreasi) keterampilan berpikir tingkat tinggi
(HOTs) yang lebih sulit ketika belajar sendirian. Sebaliknya, dalam flipped
classroom, siswa belajar dengan menggunakan LOTs yang lebih mudah ketika
belajar sendiri namun menggunakan HOTs yang lebih sulit di sesi tatap muka ketika
dukungan teman sekelas dan guru tersedia (Gambar 3).
Tabel 2 menyajikan
aktivitas alternatif yang dapat diterapkan dalam kelas flipped classroom
ditinjau dari sisi aktivasi berpikir dalam taksonomi Bloom. Daftar ini tidak
mencakup semua aktivitas untuk semua jenis mata pelajaran. Penyajian daftar ini
hanyalah untuk menginspirasi guru dalam memilih aktivitas pembelajaran. guru
tentu saja harus memilih aktivitas yang sesuai dengan tujuan, sasaran, dan
konten pembelajaran kelas yang diampunya.
Tabel 2. Aktivitas Pembelajaran FC berdasarkan Taksonomi Bloom
Sebagian siswa di
sekolah dasar dan menengah, khususnya yang relatif baru mengikuti flipped
classroom dan belum terbiasa belajar mandiri, aktivitas mengenal dan
mengkonstruksi pengetahuan di Tahap 1 mungkin saja sulit dilakukan. Untuk
membantu mereka, konten pembelajaran
perlu disediakan dalam berbagai bentuk file (teks, audio, video, gambar/slides)
di LMS. Dengan demikian, siswa bisa memilih file yang paling sesuai dengan gaya
belajar masing-masing atau mempelajari beberapa file (misalnya, teks dan video)
untuk mempermudah aktivitas “remembering” dan “understanding”.
Memulai Flipped
Classroom
Sebagaimana telah disebutkan sebelmnya,
flipped classroom merupakan salah satu model blended learning. Oleh karena itu,
prosedur dan langkah-langkah membangun flipped classroom sama dengan membangun
blended learning. sehubungan dengan itu, seilahkan melihat tahapan pembangunan blended
learning dalam artikel Membangun
Blended Learning.
Untuk
mempermudah guru membangun flipped classroom, berikut ini adalah tip-tip
praktis yang mungkin dibutuhkan. Pertama, implementasi flipped classroom tidak
harus langsung mencakup semua pokok bahasan sebuah mata pelajaran. Guru dapat memulai
dengan menerapkannya hanya pada satu pokok bahasan. Jika guru sudah mulai mahir
dan siswa sudah beradaptasi, beberapa pokok bahasan lainnya dapat ditambahkan.
Kedua,
teknologi yang digunakan harus berwujud learning
management system (LMS) sehingga semua konten dan media terpusat dan dapat
diakses kapan saja, serta smua aktivitas dan progres siswa terrekam dan dapat
diakses kembali dengan mudah.
Ketiga,
guru perlu menyediakan video pembelajaran yang komprehensif dan menarik. Pengalaman dan penelitian menunjukkan bahwa video adalah media
yang sangat diminati siswa, terutama di jenjang pendidikan dasar dan menengah.
Bagi kebanyakan siswa, video lebih mudah dipahami dan lebih menarik daripada
teks. Selain itu, para siswa dapat menonton video pembelajaran kapanpun dan di
manapun. Dalam praktik, mereka dengan mudah dapat menghentikan video ketika
membuat catatan atau memutar ulang video untuk mempelajari kembali poin
tertentu.
Keempat, flipped
classroom sangat bergantung pada partisipasi siswa. Oleh karena itu, semua
siswa perlu diberikan pemahaman tentang esensi keterlibatan mereka sebelum
memulai flipped classroom serta memonitor dan terus memotivasi mereka selama
implementasi hingga akuntabilitas mereka dalam pembelajaran benar-benar
terbangun.
Kelima, guru perlu
melakukan perbaikan berkelanjutan hingga kelas yang dibangunnya semakin
komprehensif dan kemahirannya mengimplemen-tasikan flipped learning semakin
mumpuni. Dalam konteks ini, membangun jejaring dan sharing dengan kolega yang juga sedang mengembangkan flipped
classroom sangat disarankan.
Kesimpulan
Flipped classroom merupakan
model yang paling sering direkomendasikan ketika guru sedang mempersiapkan diri
melaksanakan blended learning karena efektivitasnya. Efektivitas ini diperoleh
karena flipped classroom didukung oleh empat pilar pembelajaran inovatif: flexible environment, learning culture, intentional
content,
dan professional educator, didasarkan
pada pendekatan pembelajaran konstruktivisme dan disainnya mengaktivasi serta
mengembangkan keterampilan berpikir. Flipped classroom diawali dengan
menugaskan siswa mengenal dan memahami konten pelajaran di luar kelas tatap
muka dengan menggunakan keterampilan berpikir tingkat rendah (LOTs). Setelah siswa
memiliki “modal” pemahaman tentang konten, pembelajaran berpindah ke kelas tatap
muka dengan aktivitas-aktivitas yang diarahkan untuk mengklarifikasi,
memper-kuat, dan memperdalam pemahaman serta sekaligus mengembangkan
keterampilan berpikir tingkat tinggi (HOTs).***
Bagaimana pendapat Anda tentang konsep flipped classroom dalam artikel ini? Adakah aspek lainnya yang urgen diikutsertakan? Silahkan tuliskan pendapat Anda di bagian komentar di bawah ini.
Bagaimana pendapat Anda tentang konsep flipped classroom dalam artikel ini? Adakah aspek lainnya yang urgen diikutsertakan? Silahkan tuliskan pendapat Anda di bagian komentar di bawah ini.
Author: Parlindungan Pardede (parlin@weedutap.com)
Konsep Flipped Classroom ini sangat bagus karena melibatkan semua tingkatan berpikir. Siswa SMA dan Mahasiswa yang sudah bisa diminta belajar mandiri mungkin dapat mengikutinya. Bagaimana dengan pelajar SD dan SMP? Mohon penjelasan.
ReplyDeleteDecent post! Its truly fascinating. The thoughts were acceptable and supportive to us. I recommend Dissertation Writing Services UK to maintain the quality of your writing skills.
ReplyDeleteThese tips are very helpful for us and through these, we can make our classrooms effective and promote education in no time because students will learn properly and they will get high grades. According to the writers of dissertation writing services our classrooms should be neat and clean, so that students can get education in good atmosphere.
ReplyDeleteThe flipped classroom model, rooted in constructivist learning, effectively combines flexible environments and a focus on developing high-level thinking skills. By engaging students with content before class and deepening their understanding during face-to-face sessions, it mirrors the support provided by Assignment Writing Service In Nottingham in enhancing academic success.
ReplyDelete