Untuk meraih hasil yang lebih baik dari yang sudah Anda peroleh, Anda harus menggunakan pendekatan berbeda. Mengharapkan hasil yang berbeda dengan melakukan hal yang sama terus menerus adalah tindakan gila. (Albert Einstein).
Image credit: https://readsmartlearning.com/struggling-readers-101-helping-children-learn-to-read/ |
Poin utama:
- Perbaiki praktik pembelajaran membaca dasar
- Transformasi budaya lisan menjadi budaya literasi
- Perbaiki sistem pendidikan
- Tingkatkan sarana dan prasarana membaca
- Bimbing siswa untuk menggunakan teknologi secara bijaksana
- Tingkatkan dukungan keluarga.
Artikel sebelumnya, Krisis Membaca: Biang Kerok Rendahnya Kualitas Pendidikan Indonesia, telah memaparkan bahwa pendidikan nasional Indonesia yang telah berlangsung hampir 75 tahun sukses secara kuantitas namun masih terpuruk di sisi kualitas. Penyebab utama rendahnya kualitas tersebut adalah krisis membaca. Pengabaian membaca sebagai fondasi dan faktor sukses pembelajaran berdampak langsung pada kualitas aspek pembelajaran lainnya. Jika minat dan kemahiran membaca krisis, aspek pembelajaran lainnya juga krisis. Dalam artikel Mengapa Pelajar Indonesia Krisis Membaca telah diidentifikasi enam penyebab krisis membaca di kalangan pelajar Indonesia. Berdasarkan identifikasi itu, pembahasan dalam artikel ini fokus pada beberapa strategi untuk mengatasi krisis tersebut dalam rangka meningkatkan kualitas pembelajaran.
Strategi pertama untuk mengatasi krisis membaca di kalangan pelajar Indonesia adalah memperbaiki praktik pembelajaran membaca dasar (learning to read). Dalam artikel sebelumnya diidentifikasi bahwa praktik pembelajaran selama ini belum berhasil mengembangkan minat dan keterampilan siswa untuk membaca dasar dan membaca untuk kesenangan. Penelitian ACDP (2012) mengungkapkan hanya 50% siswa kelas 3 dari 184 SD di 7 provinsi di Indonesia yang dapat membaca dengan lancar dan memahami sebagian besar isi teks yang dibaca, dan hanya 29% guru yang menggunakan metode yang efektif dan siswa aktif dalam pembelajaran membaca. Temuan ini mengindikasikan bahwa perbaikan pembelajaran membaca dasar di sekolah-sekolah dasar di Indonesia sangat mendesak untuk diwujudkan.
Membaca dasar adalah landasan bagi pengembangan ketiga tipe membaca lainnya. Secara umum, waktu terefektif untuk mempelajarinya adalah ketika anak-anak berusia 6 hingga 9 tahun. Itulah sebabnya periode ketika murid berada di kelas 1-3 SD harus dioptimalkan untuk penguasaan membaca dasar. Pembelajaran diawali dengan pemahaman tentang hubungan bunyi bahasa dan simbol tertulis, dekoding, dan pembangunan kosa kata dasar. Setelah itu, di kelas 2 dan 3, pembelajaran meningkat pada kelancaran membaca sambil memahami pesan (makna) dengan menggunakan teks yang tingkat kesulitannya semakin meningkat.
Aktivitas peningkatan kelancaran dan pemahaman di
kelas 2 dan 3 tersebut sebaiknya difasilitasi dengan memulai program membaca
untuk kesenangan (pleasure reading).
Program ini dilaksanakan dengan cara menawarkan berbagai jenis buku cerita dengan
gambar-gambar ilustrasi yang menarik. Murid dibebaskan untuk memilih buku yang
mereka sukai. Di periode ini, menugaskan murid membaca buku teks yang sulit
sebaiknya dicegah, karena hal itu bisa menimbulkan kesan bahwa membaca itu
adalah pengalaman yang membebani. Akibatnya, murid kehilangan kesenangan ketika
membaca. Jika di kelas 3 murid sudah memiliki sekitar 100 kosa kata umum yang
memungkinkannya membaca sebuah cerita sederhana dengan lancar dan sekaligus
memahaminya, di kelas 4 dan seterusnya pengembangan strategi/teknik membaca
untuk belajar (reading to learn) dapat
dimulai, sambil tetap menyelenggarakan program membaca untuk kesenangan.
Mengingat betapa pentingnya penguasaan keterampilan
membaca dasar di kelas rendah SD, mengapa sebagian guru membiarkan sebagian
murid mereka kurang menguasai keterampilan membaca dasar? Salah satu
penyebabnya adalah pandangan bahwa kemahiran itu akan terbentuk secara alami
seiring dengan semakin seringnya siswa bergumul dengan teks tertulis. Pandangan
ini menganggap proses pemerolehan kemahiran membaca sama dengan kemahiran
berbicara. Hasil penelitian terkini membuktikan pandangan ini keliru. Menurut Moats dan Tolman, komunikasi lisan sudah sangat lama digunakan masyarakat manusia hingga
otak manusia, yang berevolusi sejak 100.000 tahun lalu, sudah beradaptasi penuh
untuk memroses bahasa lisan. Ini yang menyebabkan anak manusia dapat menguasai
Bahasa ibunya secara alami, tanpa perlu diajari. Bahasa tulis masih relatif baru.
Schmandt-Besserat
memaparkan bahwa sistim tulisan pertama, “cuneiform script” dibuat di Mesopotamia pada 3.200 SM sedangkan alfabet dibuat pada tahun 1.500
SM. Jadi, manusia mulai membaca tulisan yang menggunakan alfabet
sejak 2.500 tahun lalu, dan otak manusia belum berevolusi untuk mengenalnya. Oleh karena itu,
membaca dan menulis tidak dapat dikuasai secara alami tetapi harus diajarkan.
Dengan memastikan bahwa murid-muridnya berhasil
menguasai keterampilan membaca dasar dengan baik dan tepat waktu, guru sudah
membantu mereka mereka membangun landasan yang kokoh untuk mengembangkan ketiga
tipe membaca lainnya. Makenzi
(2004) menegaskan bahwa kurangnya penguasaan keterampilan membaca dasar membuat
jutaan anak-anak di negera berkembang tidak mampu membangun keterampilan
membaca selanjutnya seperti yang dinikmati oleh teman-teman sebaya mereka di
negara-negara maju. Oleh sebab itu, tanpa mengurangi esensi mata pelajaran
lainnya, penguasaan kemampuan membaca dasar perlu diberikan prioritas di kelas rendah
sekolah dasar.
Strategi kedua adalah mentransformasi budaya lisan
menjadi budaya literasi. Secara historis, budaya Indonesia memang tidak
berorientasi pada komunikasi tertulis. Tulisan-tulisan kuno yang diperoleh dari
berbagai wilayah Indonesia didominasi oleh naskah religius, bukan catatan ilmu
pengetahuan. Selain itu, yang berhak membaca naskah-naskah itu hanyalah pemuka
agama, pendeta atau rahib. Anggota masyarakat mempelajari ajaran-ajaran dalam
naskah tersebut melalui khotbah atau ceramah.
Kebiasaan ini masih berlangsung dalam berbagai
bentuk aktivitas masyarakat hingga saat ini. Mayoritas masyarakat lebih suka
menonton ‘talkshow’, termasuk yang membahas hal-hal tidak
penting seperti gossip, dan senangng ‘ngobrol’ daripada membaca. Untuk
memperdalam pemahaman agama, mayoritas kita juga lebih suka mendengarkan
khotbah, ceramah, atau orasi. Di lembaga pendidikan,
metode ceramah masih mendominasi. Sebagian besar akademisi bahkan lebih senang
mengikuti seminar di berbagai tempat yang jauh daripada membaca buku dan referensi.
Padahal sudah diketahui secara umum bahwa kualitas pengetahuan yang diperoleh melalui
membaca jauh lebih lengkap dan dipahami daripada melalui ceramah dan seminar.
Dari perspektif sosiologis, Comte (2018) membagi
perkembangan peradaban manusia ke dalam tiga tahap: teologis, metafisik dan positif. Al-Zastrouw menguraikan bahwa selama
tahap teologis, kebudayaan ditandai oleh mitos dan tahayul sebagaimana
tercermin dalam masyarakat primitif. Tahap metafisik didominasi dengan
kepercayaan akan hukum-hukum alam yang asasi yang dapat diterima akal budi,
sedangkan tahap positif ditandai oleh kepercayaan akan data empiris sebagai
sumber pengetahuan. Budaya oral pada hakikatnya berada pada transisi antara tahap
teologis menuju tahap metafisik. Dengan demikian, masyarakat yang mengutamakan
budaya oral masih jauh dari masyarakat modern yang positifistik dan
mempersyaratkan literasi. Jadi, jika
bangsa Indonesia ingin berkiprah dalam masyarakat modern, diperlukan
transformasi dari dominasi budaya oral ke dominasi budaya baca.
Transformasi budaya ini tentu tidak dapat dilakukan oleh sekolah
saja. Pemerintah dan lembaga-lembaga agama, sosial, dan adat berperan penting. Al-Zastrouw mengusulkan
dua strategi, soft culture dan hard culture,
untuk mewujudkan transformasi itu. Kedua strategi itu dilaksanakan
secara serentak dan berkesinambungan. Soft culture dilakukan melalui eksplorasi
dan pengembangan berbagai ajaran dan
nilai-nilai agama, adat, petuah dan tradisi yang bisa mendorong tumbuhnya
budaya baca. Strategi hard culture dilakukan melalui penyediaan fasilitas-fasilitas
yang mendorong tumbuhnya minat baca di kalangan masyarakat, seperti beragam
buku yang mudah diakses oleh masyrakat, perpustakaan yang nyaman dengan
pelayanan yang mudah dan menyenangkan, dan acara-acara yang memotivasi
masyarakat membaca buku.
Strategi ketiga adalah memperbaiki sistem pendidikan,
khususnya di bidang tujuan dan proses pembelajaran. Selama ini ada anggapan
yang keliru tentang esensi pendidikan di sekolah formal. Banyak anggota masyarakat, pihak pemerintah, guru maupun pelajar
di semua jenjang pendidikan di Indonesia memandang tujuan belajar adalah untuk
lulus ujian dengan skor setinggi mungkin dan memperoleh ijazah. Dalam istilah Raka, sekolah diperlakukan sebagai pabrik yang mempekerjakan “mesin” bernama guru, dan menggunakan sistem produksi bernama kurikulum dan memproduksi
lulusan dengan skor UN sebagai standar kualitas diukur melalui nilai ujian nasional. Dalam praktik, pandangan ini terimplementasi melalui penyelenggaraan
ujian nasional (UN) dan kegemaran bangsa kita melaksanakan/mengikuti lomba
cerdas cermat atau olimpiade. Kedua jenis aktivitas ini secara langsung dan tidak langsung telah menegaskan bahwa tujuan
belajar adalah agar mampu mengerjakan soal tes (ujian).
Pandangan seperti itu membuat kebanyakan guru
lebih mengutamakan penuntasan seluruh materi ajar dengan harapan siswa lebih
siap menghadapi ujian. Agar materi pembelajaran bisa diselesaikan, guru pada
umumnya menggunakan metode ceramah karena cara seperti ini dirasakan lebih
mudah dan cepat. Oleh sebab itu, para pelajar tidak memiliki kesempatan untuk membaca
untuk kesenangan dan tidak perlu membaca kritis dan mendalam (deep reading). Mereka cukup mendengarkan
penjelasan guru, mencatat atau membuat ringkasan materi dan rumus-rumus (rote learning), menghapal ringkasan dan
rumus tersebut, dan lalu berlatih mengerjakan soal (drilling). Dengan metode pembelajaran seperti itu, guru yang
melaksanakan Peraturan Mendikbud No. 23 Tahun 2015, tentang kewajiban semua
siswa membaca 15 menit sebelum sebuah pembelajaran dimulai, sangat sedikit.
Kebanyakan guru menganggap praktik itu hanya mengurangi waktu untuk
menyelesaikan ‘target’ penyelesaian materi.
Terkait dengan permasalahan ini, penghapusan
ujian nasional (UN) sebagai salah satu upaya mewujudkan kebijakan merdeka
belajar oleh Mendikbud Nadiem Makarim
perlu dipandang sebagai kesempatan untuk meningkatkan kesempatan bagi siswa
meningkatkan minat dan keterampilan membaca. Penghapusan UN dan pemberian mandat
kepada guru melakukan penilaian memberi ruang besar bagi guru untuk menerapkan students-centered learning. Dikombinasi
dengan metode pembelajaran yang sesuai dan penggantian pola evaluasi dari soal
ujian objektif menjadi pembuatan produk, penulisan makalah, maupun pembuatan
laporan, siswa akan secara aktif memperkaya pengalaman untuk mengembangkan
pengetahuan dan keterampilan, termasuk melalui aktivitas membaca. Dalam konteks
ini, Flipped Learning sangat
direkomendasikan untuk diterapkan mulai kelas tinggi SD hingga perguruan tinggi
dalam rangka mewujudkan pembelajaran berpusat pada siswa, mendorong siswa untuk
banyak membaca, dan sekaligus mengembangkan keterampilan berpikir mereka.
Strategi ke empat adalah meningkatkan sarana dan
prasarana membaca. Ketersediaan berbagai buku yang menarik dan tempat membaca
yang nyaman akan sangat mendorong siswa membaca untuk kesenangan. Di berbagai negara
maju, membaca untuk kesenangan di kalangan siswa terwujud karena buku-buku yang
menarik bagi mereka tersedia tidak hanya di perpustaan sekolah namun di ruangan
kelas juga. Sebaliknya, Fayose
(2003) melaporkan bahwa remaja di Nigeria tidak membaca untuk kesenangan karena
mereka tidak menemukan buku yang menarik bagi mereka. Mayoritas (85%) remaja
yang diteliti menyatakan mereka tidak mengunjungi perpustakaan karena koleksi
buku yang ada tidak sesuai dengan minat mereka.
Selama ini, pengembangan perpustakaan sekolah dan
pengadaan buku yang beragam dan menarik bagi pelajar belum menjadi prioritas.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa kebanyakan sekolah di wilayah terpencil belum
memiliki perpustakaan yang memadai. Bahkan perpustakaan sekolah di kota-kota
besar juga belum dikelola dengan baik. Koleksi buku yang dimiliki cenderung
hanya berupa buku teks. Buku-buku yang menunjang membaca untuk kesenangan
sangat terbatas. Kalaupun ada, kebanyakan merupakan terbitan lama dan sudah
lusuh. Padahal, untuk menumbuhkan minat membaca, pelajar harus terlebih dahulu
membaca untuk kesenangan, dan hal ini dapat terwujud jika mereka difasilitasi
dengan banyak buku yang variatif dan menarik, yang dapat ‘diraih’ kapan saja.
Sebagai ilustrasi, dengan asumsi bahwa untuk memfasilitasi
pengembangan membaca untuk kesenangan siswa di satu level (kelas) perlu
difasilitasi 1 buku cerita per minggu, maka dalam setahun dibutuhkan 50 judul
buku cerita untuk level itu. Jika program tersebut dilakukan mulai kelas 3
hingga kelas 12 maka setahun diperlukan 50 judul X 10 kelas= 500 judul buku. lalu, agar siswa di tiap level dapat memilih satu dari banyak buku setiap minggu, jumlah judul buku di tiap level bisa digandakan 10 kali lipat, hingga judul buku yang diperlukan menjadi 5000. Buku
sebanyak ini sebenarnya dapat disediakan dalam waktu tidak terlalu lama. Cara pertama
yang dapat ditempuh adalah penulisan cerita rakyat dari berbagai daerah yang
sesuai untuk pendidikan, penerjemahan karya-karya sastra dan non-fiksi dunia ke
dalam Bahasa Indonesia, dan adaptasi karya-karya sastra klasik Indonesia ke
dalam Bahasa Indonesia masa kini. Cara kedua adalah mendorong
sastrawan-sastrawan dan penulis non-fiksi Indonesia berkarya lebih produktif, baik
melalui lomba maupun pemberian insentif yang layak. Jika dua cara ini
dilaksanakan selama 5 tahun, sangat terbuka kemungkinan bahwa perpustakaan
sekolah di Indonesia sudah memiliki 5000 judul buku untuk digunakan siswa mengembangkan minat membaca untuk kesenangan mereka.
Strategi kelima adalah membimbing siswa untuk
menggunakan teknologi informasi secara bijaksana. Teknologi akan sangat
bermanfaat jika digunakan sebagai sarana untuk mengakses, menyimpan, dan membaca
buku teks, artikel, novel, cerita pendek, dan dokumen lainnya dalam bentuk dijital.
Teknologi juga sangat efektif digunakan sebagai sarana berdiskusi dan bertukar
gagasan dengan orang lain. Sebaliknya, teknologi akan sangat merugikan bila
sarana itu digunakan siswa hanya untuk mengakses ringkasan agar tidak perlu
membaca buku yang ditugaskan guru atau meng-“copy-paste” tulisan orag lain
untuk menyelesaikan tugas dari guru.
Penelitian
terkini tentang perbedaan efektivitas membaca teks cetak dan teks dijital untuk
pemahaman belum memberikan hasil yang konklusif. Sebagian peneliti melaporkan
bahwa teks dijital lebih efektif digunakan untuk pemahaman siswa, sedangkan
penelitian lainnya menyatakan teks cetak lebih efektif. Namun karena teks dijital
masih merupakan fenomena yang sangat baru, banyak peneliti mengusulkan agar
aktivitas membaca dengan teks yang panjang dan kompleks (buku teks dan novel) dilakukan
dengan menggunakan teks cetak. Sedangkan teks yang pendek dapat dibaca dengan
efektif dengan menggunakan teknologi. Dengan kata lain, pemanfaatan teks cetak
dan dijital perlu dilakukan secara bijaksana.
Strategi keenam adalah meningkatkan dukungan
keluarga. Dukungan keluarga untuk meningkatkan minat membaca siswa dapat
dilihat dalam dua bentuk. Pertama, orangtua perlu ikut serta memotivasi dan menanamkan
minat membaca kepada anak-anak mereka dengan cara membacakan cerita kepada anak
masing masing yang masih bersekolah di TK atau kelas rendah SD, bersedia
mendengarkan sewaktu anak masing-masing membaca sebuah cerita, dan memberikan
waktu untuk berdiskusi atau menanggapi pertanyaan anak mereka tentang buku yang
dibaca. Kedua, setelah siswa mulai membaca secara mandiri (kelas 2 atau 3), orangtua
perlu turut memfasilitasi mereka dengan banyak bacaan variatif yang sesuai
dengan usia mereka. Sehubungan dengan itu, membelikan buku-buku yang baik
sebagai hadiah ulang tahun atau perayaan lainnya perlu dipikirkan. Bahkan,
keteladanan yang diwujudkan dengan cara membaca secara rutin juga sangat
memotivasi siswa.
Membaca adalah aktivitas kompleks yang melibatkan
banyak faktor, sehingga upaya untuk mengembangkan minat membaca di kalangan
pelajar Indonesia perlu melibatkan berbagai strategi dalam rangka mensinerjikan
faktor dan pihak yang terlibat. Artikel ini, berdasarkan identifikasi masalah
yang dilakukan sebelumnya mengajukan enam strategi, yakni: (1) memperbaiki
praktik pembelajaran membaca dasar; (2) mentransformasi budaya lisan menjadi budaya
literasi; (3) memperbaiki sistem pendidikan; (4) meningkatkan sarana dan
prasarana membaca; (5) membimbing siswa untuk menggunakan teknologi secara
bijaksana; dan (6) meningkatkan dukungan keluarga. Keenam strategi ini bersifat global, dan rincian implementasinya harus dirumuskan dengan melibatkan para pengampu kepentingan.
Apa pendapat Anda tentang isi artikel ini? Silahkan tuliskan
pandangan Anda pada bagian "Comments" di bawah.
Versi Bahasa Inggris artikel ini dapat dibaca di sini
Versi Bahasa Inggris artikel ini dapat dibaca di sini
Author: Parlindungan Pardede (parlin@weedutap.com)
Comments
Post a Comment