Skip to main content

Potret Implementasi Pembelajaran Daring pada Saat COVID 19 di Jakarta dan Sekitarnya

Minimnya pemahaman serta keterampilan guru/dosen mendisain dan menyelenggarakan pembelajaran daring dan kurangnya dukungan infrastruktur internet membuat pembelajaran mayoritas siswa/mahasiswa di Jakarta, Bekasi dan Depok selama Pandemi virus Corona bermasalah.
Sebagai bagian dari upaya mencegah penyebaran virus corona, sejak Maret 2020 hingga saat ini UNESCO mencatat lebih dari 1,2 miliar siswa di 182 negara ditugaskan belajar dari rumah, termasuk lebih dari 68 juta pelajar dari seluruh jenjang pendidikan di Indonesia. Untuk memfasilitasi pembelajaran mereka, sebagian besar kampus atau sekolah mengimplementasikan online learning atau e-learning atau pembelajaran daring (dalam jaringan), dan sebagian lagi menggunakan pembelajaran luring (luar jaringan), dengan memanfaatkan televise, radio, dan modul, buku teks atau lembar kerja siswa.
      Pada hakikatnya pembelajaran daring, metode pembelajaran yang muncul sebagai dampak kemajuan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) bukan praktik baru.  Begitu diluncurkan pada akhir 1980-an, jumlah universitas di seluruh dunia serta mahasiswa yang menggunakan pembelajaran daring terus meningkat. Pada tahun 2018, lebih dari seperempat mahasiswa di AS mengambil kelas daring. Pada tahun 2019, 31 negara bagian di AS telah membuka pembelajaran daring penuh (fully online learning) untuk siswa sekolah dasar dan menengah, dengan jumlah peserta lebih dari 310.000 siswa. Selain itu, 23 negara bagian juga membuka sekolah virtual, yang menggunakan pembelajarran daring sebagai pendukung pembelajaran tradisional, dengan jumlah peserta 420.000 siswa. 
        Pembelajaran daring juga bukan merupakan metode yang asing bagi pelajar di Indonesia. pelajar sekolah menengah dan perguruan tinggi, khususnya di kota-kota besar sudah banyak yang menggunakannya. Hal ini juga didukung oleh minat orang Indonesia menggunakan TIK. Penelitian Cambridge International (2018) mengungkapkan bahwa pelajar Indonesia memiliki tingkat penggunaan laboratorius komputer tertinggi secara global (40%) dan berada pada peringkat kedua tertinggi dalam penggunaan komputer desktop (54%) setelah AS. Ditemukan juga bahwa 67% siswa Indonesia menggunakan smartphone di kelas dan 81% menggunakannya untuk membantu mengerjakan pekerjaan rumah. Persentase siswa Indonesia yang menggunakan laptop untuk mengerjakan pekerjaan rumah mencapai 85%, sedikit lebih rendah dari siswa di AS (85%). Minat pelajar Indonesia yang tinggi menggunakan TIK juga terungkap melalui survei APJII (2018) yang mungungkapkan hamper 65% penduduk Indonesia menggunakan internet, dengan rincian: 25.2% anak-anak berusia 5-9 tahun telah menggunakan internet; yang berusia10-14 tahun, 66,2%, dan remaja berusia 15-19 tahun,  91%; dan penduduk berusia 20-24 tahun, 88%. 


Survei
Berdasarkan latar belakang di atas,  penulis ingin melihat potret umum implementasi pembelajaran daring di kalangan pelajar di wilayah Jakarta dan sekitarnya selama pelaksanaan “learning from home” akibat wabah COVID 19. Secara lebih spesifik, penulis ingin melihat platform/media dan peralatan yang dominan digunakan, apakah peserta didik (yang secara umum akrab dan senang menggunakan TIK) dapat menikmati prosesnya, dan kendala apa saja yang dihadapi siswa. Untuk mencapai tujuan itu, data dikumpulkan dari siswa jenjang SD, SMP, SMA dan mahasiswa perguruan tinggi di Jakarta dan sekitarnya.melalui survei daring melalui Google Form.

Metode
Survei dilaksanakan pada tanggal 27 April hingga 2 Mei 2020. Karena kondisi yang tidak memungkinkan untuk mengambil sampel secara random, partisipan dalam survei ini dijaring secara purposif dengan mengirimkan tautan kuesioner kepada teman, kerabat, tetangga melalui What'sApp dan meminta anak, kerabat, atau kenalan mereka yang bersekolah mengisi kuesioner tersebut. Survei  diikuti oleh 164 partisipan. Namun, di antara mereka terdapat 28 orang yang melaksanakan pembelajaran luring atau tidak melakukan pembelajaran sama sekali, sedangkan 136 lainnya mengikuti pembelajaran daring, Karena survei ini bertujuan memotret pelaksanaan pembelajaran daring, yang diikutkan sebagai partisipan hanyalah 136 partisipan yang mengikuti pembelajaran daring. 
        Metode penentuan sampel dan pembuatan instrumen tidak dilakukan dengan metode statististik yang ketat karena survei ini dimaksudkan  hanya sebagai penelitian awal untuk memperoleh gambaran umum tentang implementasi pembelajaran daring. Oleh karena itu, hasil survei ini mungkin tidak menggambarkan populasi dengan validitas yang tinggi. Namun hasil survei ini diharapkan dapat memberi gambaran secara umum. Rincian partisipan survei ini digambarkan pada Gambar 1. Dilihat dari tempat tinggal, mayoritas responden berdomisili di DKI Jakarta (61%), disusul oleh Bekasi (29%) dan Depok (10%).


Pengalaman Mengikuti Pembelajaran Daring Sebelum Wabah
Dilihat dari praktik sebelum wabah, ditemukan bahwa hanya 32% responden yang sudah mengikuti pembelajaran daring, sedangkan 68% lainnya hanya mengikuti pembelajaran tradisional (Gambar 2). Dengan demikian, intensitas dan minat menggunakan TIK dalam kehidupan sehari hari belum diikuti dengan pemanfaatan teknologi dalam pembelajaran oleh lebih dari dua per tiga responden.

Media/Flatform yang digunakan
Tabel 1 memperlihatkan bahwa hampir separuh (49%) dari responden melakukan pembelajaran daring hanya dengan menggunakan What’App (WA). Hanya 15% yang difasilitasi oleh guru/dosen untuk belajar dengan menggunakan learning management system (LMS), baik milik sekolah atau menggunakan software open source di internet. Responden lain menggunakan WA yang dikombinasikan dengan berbagai media atau program lain (17%) atau memadukan WA dengan zoom/hangout (19%). Temuan ini mencerminkan kurangnya fasilitas sekolah/kampus dalam hal penyelenggaraan pembelajaran daring, dan sekaligus minimnya kompetensi/pemahaman sebagian guru untuk memanfaatkan berbagai LMS/software yang tersedia gratis di internet sebagai pendukung pembelajaran daring.


Peralatan yang Digunakan:
Data dalam gambar 3 memperlihatkan bahwa kebanyakan responden mengikuti pembelajaran daring dengan menggunakan smartphone (53%) lalu laptop, desktop, dan terakhir iPad/Tablet (4%). Temuan ini mengkonfirmasi temuan Cambridge International (2018) yang mengungkapkan tingkat penggunaan smartphone dan laptop di kalangan pelajar Indonesia sangat tinggi. Kebiasaan dan kesenangan menggunakan teknologi ini, jika diarahkan dengan benar, pada hakikatnya merupakan potensi untuk mendukung pembelajaran daring.


Frekuensi Berkomunikasi/Berdiskusi
Komunikasi siswa dengan guru/dosen kelihatannya sangat minim. Gambar 4 mengungkapkan hanya 21% siswa yang selalu atau sering berkomunikasi; 28% siswa jarang berkomunikasi dengan guru, dan 51% tidak pernah sama sekali.


     Komunikasi siswa dengan teman sekelas berlangsung lebih intensif dibandingkan dengan guru/dosen, walaupun frekuensinya masih kecil. Gambar 5 mengungkapkan 33% siswa selalu atau sering berkomunikasi dengan teman sekelas; 30% siswa lain jarang, dan 37% lainnya tidak pernah sama sekali.
     Kecilnya frekuensi komunikasi siswa dengan guru dan siswa dengan siswa lainnya sangat merugikan. Komunikasi yang intensif merupakan landasan pembelajaran kolaboratif, dan pembelajaran kolaboratif merupakan salah satu kunci sukses dalam pembelajaran daring. Penelitian Su dkk mengungkapkan bahwa interaksi siswa dengan guru dan siswa dengan siswa lainnya merupakan faktor kunci dalam program pembelajaran daring berkualitas. Dengan berbagi umpan balik yang intensif, siswa menjadi terlibat dalam proses pembelajaran, dan pada saat yang sama kesepian atau perasaan terisolasi mereka berkurang. 



Kendala yang Dihadapi
Dilihat dari kendalah yang dihadapi, seperti terlihat dalam Tabel 2, kurangnya dukungan media/flatform/software yang digunakan menjadi kendala utama. Temuan ini terkait erat dengan data pada Tabel 1, bahwa 49% pembelajaran hanya menggunakan WA dan 19% mengandalkan WA yang dipadukan dengan zoom/hangout. Hanya 15% pembelajaran yang menggunakan LMS sebagai kelas maya.
Kendala kedua adalah sulitnya bertanya kepada guru/dosen sebagaimana diungkapkan oleh 81% responden. Temuan ini terkait erat dengan temuan pada gambar 4 yang menunjukkan hanya 21% peserta didik yang dapat selalu/sering berkomunikasi dengan guru/dosen. Minimnya komunikasi ini membuat mayoritas peserta sulit memperoleh saran, petunjuk, atau dorongan ketika mereka membutuhkannya. Kondisi ini diperburuk dengan kesulitan para siswa bertanya kepada teman sekelas, yang juga membuat mereka sulit saling memberi umpan balik. Apalagi, sebagaimana terungkap melalui Gambar 2, hanya 32% responden yang sudah pernah mengikuti pembelajaran daring sebelumnya. Minimnya komunikasi sehingga siswa sulit memperoleh saran, petunjuk, atau atau umpan balik akan membuat siswa bingung dan tertekan.  Pardede menguraikan bahwa umpan balik berperan sangat penting dalam pembelajaran daring. Kesempatan bertukar umpan balik, khususnya antara siswa dengan siswa, tidak hanya mengatasi perasaan terisolasi, kesulitan berkonsentrasi, dan kesulitan untuk terlibat dalam pembelajaran tetapi juga meningkatkan capaian pembelajaran dan mengembangkan keterampilan berkomunikasi, berkolaborasi, berpikir kritis, dan berkreativitas.
Kendala keempat dan kelima yang dihadapi siswa terkait dengan fasilitas kuota dan kecepatan sinyal internet. Kelihatannya, 63% para peserta didik terganggu oleh keterbatasan kuota internet yang mereka miliki, dan 50% dari mereka terganggu oleh sinyal internet yang ‘lemot’. Untuk mengatasi permasalahan infrastruktur seperti ini, peran pemerintah sangat diharapkan. Dengan dukungan Palapa Ring yang diresmikan oleh presiden Jokowi 14 Oktober 2019 lalu, kendala seperti ini seharusnya dapat diatasi.
Masalah berikutnya terkait dengan suasana di rumah. Hampir seperempat responden (23%) merasa rumah mereka menganggu konsentrasi karena terlalu ramai atau berisik. Kemungkinan besar, siswa yang mengalami kendala ini tidak memiliki tempat di rumahnya yang bisa digunakan khusus untuk belajar.


       Respon tertulis dari partisipan memperkuat temuan bahwa kompetensi sebagian guru/dosen di bidang strategi pengelolaan pembelajaran daring masih minim sehingga pembelajaran menjadi monoton, melelahkan dan tidak menarik. Respon-respon tertulis itu dapat dirangkum sebagai berikut: (1) Guru memberikan terlalu banyak tugas meringkas dari buku teks; (2) Guru memberikan terlalu banyak tugas untuk mengerjakan soal dari buku teks; (3) Guru hanya mengirim tugas melalui WA dan siswa mengirim via email, namun tidak ada umpan balik; (4) Pernah terjadi empat guru mata pelajaran berbeda sama-sama memberi tugas yang banyak dan harus diselesaikan dalam waktu yang hampir sama, (5) Ada guru yang memberikan tugas yang tidak ‘nyambung’ dengan pokok bahasan; dan (6) Beberapa guru/dosen mata pelajaran berbeda hanya menugaskan siswa/mahasiswa menulis esai atau makalah dengan menelusuri informasi di buku teks atau internet. Meskipun beberapa esai atau makalah sudah dikerjakan dan dikirim, tak satupun yang dikirimkan kembali bersama komentar atau umpan balik.

Kesimpulan
Meskipun pembelajaran daring yang didukung oleh teknologi menjanjikan banyak keuntungan, tidak adanya persiapan yang baik membuat metode pembelajaran itu berlangsung tidak efektif bagi mayoritas peserta didik. Ketidaksiapan itu terlihat dari minimnya kompetensi kebanyakan guru sehingga aktivitas pembelajaran dilaksanakan apa adanya, bahkan tidak sesuai dengan kebutuhan lingkungan pembelajaran daring serta tidak sinkron dengan tujuan pembelajaran. Minimnya kompetensi itu juga terlihat dari pilihan media/software/platform yang digunakan. Sebagaimana halnya pembelajaran tatap muka, pembelajaran daring juga membutuhkan “ruang kelas” maya berbentuk LMS. Meskipun internet menyediakan banyak LMS gratis (jika sekolah belum memiliki LMS sendiri), hanya 15% pembelajaran yang menggunakan LMS. Ketidakadaan LMS ini membuat proses dan aktivitas pembelajaran menjadi sporadis—tidak terintegrasi, dan 82% responden memandangnya sebagai kendala utama. Kondisi ini juga diperburuk oleh kenyataan bahwa 68% peserta didik belum pernah mengalami pembelajaran daring sebelumnya. Dengan demikian, pembelajaran daring selama “learning from home” di era wabah COVID 19 belum menjadi solusi, malah menjadi masalah baru bagi kebanyakan pelajar di Jakarta dan sekitarnya.
Beberapa waktu ke depan, kita akan memasuki era Kelaziman baru (New Normal) yang juga menuntut pelaksanaan protokol kesehatan hingga vaksin virus corona ditemukan. Di era itu, para pelajar, mahasiswa, guru, dosen dan tenaga kependidikan masih dihadang oleh berbagai keterbatasan dalam melakukan pembelajaran di sekolah/kampus. Dengan demikian, penggunaan metode pembelajaran daring masih menjadi opsi utama. Bercermin dari pengalaman yang tergambar dalam survey ini, para pemangku kepentingan pendidikan wajib membuat persiapan yang baik dalam rangka memfasilitasi pembelajaran berkualitas bagi generasi muda kita. Terkait dengan itu, silahkan baca usulan saya dalam Blended Learning: Solusi Terbaik bagi Pembelajaran di Era Kelaziman Baru. ***


Comments

  1. Semoga di Indonesia sudah mulai diberlakukan kelas online lewat Pandemic ini

    ReplyDelete
  2. Tiga anak saya mengalami berbagai kendala yang disebutkan dalam artikel ini. Padahal saya dan istri sudah rela meminjamkan hand-phone masing-masing selama anak kami yang kelas 5 SD dan kelas 2 SMP membutuhkannya. Yang sulung, kelas 1 SMA memang sudah punya hand-phone sendiri. Keiga anak kami malah lebih sibuk daripada pegawai kantoran selama belajar di rumah. Mulai jam 8 pagi hingga sore mereka terus bergelut dengan tugas dari guru guru mereka. Mengerjakan tugas sangat lama, tapi tidak diberitahu oleh guru apakah yang dikerjakan cukup bagus atau benar atau tidak. Kenapa, ya, guru-gueu kita tidak menggunakan LMS untuk mempermudah anak-anak mengikuti pelajaran, seperti digambarkan di artikel ini. Semoga para pendidik kita dan juga pemerintah berbenah agar ke depan masalah yang sama tidak terjadi lagi.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hallo Gallant,
      Sama dengan pembelajaran tatap muka yang memerlukan strategi, pendekatan, dan peralatan agar efektif, pembelajaran daring juga membutuhkan strategi, pendekatan dan peralatan tersendiri. Jadi, guru dan siswa perlu menyesuaikan diri ketika berpindah dari pembelajaran tatap muka ke pembelajaran daring.

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Types and Functions of Plot

Type of Plots  The plot used in fictions can be differentiated into four types: linear, episodic, parallel, and flashback. The most common plot employed in short stories is the linear plot. Some short stories, though quite rarely, also use flashback plot. The episodic and parallel plots, however, are found only in long fiction, i.e. novels. Short storied do not use episodic and parallel plots because short stories normally concentrate on a single event with a very limited number of characters, while episodic and parallel plots include a series of events or more than one plot. The following section describes each plot briefly. The Linear Plot The linear plot (sometimes is also called dramatic or progressive plot) presents action or occurrences chronologically. It typically starts with an exposition (or introduction to the setting and characters) and the conflict. After that, the rising action follows which leads to a climax. Soon after the climax, falling action emerges which brings

Identifying a Research Problem (and Writing the Statement of the Problem)

  Research is essentially a problem-driven process. It starts and focuses on a specific problem or phenomenon. During the research process, data is collected and theories are elaborated to explain the problem. In other words, identifying and determining the problem to study is the first and the most important aspect to deal with in undertaking research. Thus, the research problem is the foundation of a research project. If the foundation is shaky the entire project is doomed to failure. Despite its critical importance, identifying and stating a research problem are the most challenging aspects of undertaking research, especially for novice researchers. This might be due to an insufficient understanding of how to identify and write for a study. This article describes research problem identification as the first step of a research process. It starts by describing what a research problem is, how to identify it, and where to obtain it. Then it briefly probes the criteria for determining a

An Analysis of the Theme of Hemingway’s “Old Man at the Bridge”

  An Analysis of the Theme of Hemingway’s “Old Man at the Bridge” Introduction The theme is one of the most interesting elements of fiction, including a short story. It refers to the central idea or meaning that the author wants to convey to the readers. Some stories convey a single theme, but some other stories have several themes. Since short stories are related to human life, Alternbend and Lewis (1966, p. 78) define theme as “The general vision of life or the more explicit proposition about human experience that literature conveys”. In relation to this, one of the easiest ways to determine the theme of a short story is by asking ourselves, “What does the story say about life? The theme of fiction is generally presented through the other elements of fiction, particularly the plot and characterization. This article is a venture to analyze the theme of Hemingway’s Old Man at the Bridge . This story is interesting to analyze due to two reasons. First, it is based on Hemingway’s exp