Skip to main content

Bagaimana Orang Tua Memupuk Kepercayaan Diri, Keberanian, Kejujuran dan Kemandirian pada Anak Sejak Dini


Author: Taruli M.P.

Usia dini, ketika anak-anak berusia 0-5 tahun, merupakan periode yang sangat penting hingga disebut sebagai “Golden Age”. Selama periode emas ini sesorang sangat mudah dibentuk, dididik, dan diperkenalkan dengan banyak hal. Penelitian menunjukka sekitar 50% kapabilitas kecerdasan orang dewasa terbentuk ketika dia berusia 4 tahun, dan 80% otaknya berkembang selama golden age dan mencapai puncaknya di usia 18 tahun. Setelah melalui masa-masa tersebut, nutrisi sehebat apapun tidak labi berpengaruh pada kecerdasannya.  Dengan demikian perkembangan kecerdasan dan perilaku anak terjadi dalam kurun waktu 4 tahun pertama. Pengaruhnya bahkan setara dengan perkembangan yang terjadi pada kurun 14 tahun berikutnya.

Menyadari begitu besarnya pengaruh perkembangan selama periode yang hanya terjadi sekali seumur hidup ini terhadap perkembangan sesorang hingga dia dewasa, golden age merupakan periode yang sangat kritis dan begitu berharga jika terlewatkan begitu saja. Untuk mengoptimalkan pengembangan diri anak selama periode ini, diperlukan pendidikan dan pendampingan orangtua. Orangtua juga harus memastikan nilai dan sikap, apa yang perlu dipupuk dalam diri anak-anaknya. Sebagai parameter, tentu saja penentuan nilai dan sikap itu perlu dihubungkan dengan tantangan yang akan dihadapi anak ketika dia dewasa. Berbagai cerdik pandai menyatakan kepercayaan diri, keberanian, kejujuran dan kemandirian merupakan nilai dan sikap prioritas yang perlu dikembangkan dalam diri anak-anak masa kini. Tanpa nilai dan sikap itu, anak-anak akan menghadapi kesulitas di masa dewasa mereka, dan jika itu terjadi maka hal itu merupakan salah satu kegagalan orang tua.


Artikel ini menguraikan beberapa cara yang bisa diterapkan oleh Ayah dan Bunda untuk menjadikan anak-anak mereka menjadi pribadi yang kuat, mandiri, serta mampu bertahan dalam menghadapi tantangan-tantangan maupun kesulitan yang akan mereka hadapi di masa depan.

Berikan Anak Kepercayaan dan Tanggung Jawab
Memberikan kepercayaan dan tanggungjawab kepada anak-anak balita tentu relatif sulit dan membutuhkan kesabaran dan ketekunan dari Ayah dan Bunda. Anak-anak belum memahami apa itu tanggung jawab dan kepercayaan. Yang mereka tahu adalah adalah mereka bisa meminta apa saja yang mereka butuhkan. Bagi mereka, kegiatan di dalam rumah adalah tugas Ibu atau Ayah, asisten rumah tangga (ART).

Dalam situasi seperti ini, Ayah dan Bunda harus mengajak Anak dengan sabar dan mencontohkan kegiatan sederhana tertentu yang harus dilakukan si anak sendiri, seperti merapikan tempat tidur sendiri. Agar anak bersedia melakukannya dengan senang hati, Bunda bisa mengajak anak saat bangun tidur untuk merapikan tempat tidurnya sambal bernyanyi atau memberikan penghargaan berupa pujian. “Kamu pintar ya! Bisa merapikan tempat tidur sendiri. Hari ini Bunda ikut membantu, kalau besok pasti bisa sendiri” sambil Bunda mempraktikkan contoh cara merapikan tempat tidur yang benar. Hal yang sama dapat dilakukan pada kegiatan lain, seperti merapikan mainan sendiri atau mandi dan memakai baju sendiri.

Gambar 1. Menanamkan Tanggung Jawab
Image Credit: https://www.youtube.com/watch?v=HinmrZVleAQ
Sering seringlah melibatkan Anak dalam aktivitas Ayah dan Bunda
Selama masa pertumbuhan, biasanya anak cenderung mencontoh atau sedang mencari sosok atau figur yang kelak dijadikan panutan. Kesempatan ini penting sekali digunakan oleh Ayah dan Bunda untuk berperan menjadi model agar anak bisa mencontoh hal positif atau hal yang baik yang ditunjukkan oleh orang tuanya.

Sebagai contoh, ketika Ayah sedang memperbaiki sepeda, Ayah dapat mengajak  anak untuk terlibat walau hanya sekedar menjadi asisten mengambil obeng, kunci, atau yang lainnya sambil berbincang-bincang. Setelah perbaikan sepeda selesai semua perabotan dibereskan secara bersama-sama. Contoh lain, ketika Bunda bercocok tanam, Bunda bisa mangajak anak untuk ikut menanam atau menyiram tanaman sambil mengajak berbincang-bincang mengapa tanaman harus disiram, diberi pupuk, dan lain-lain. Setelah selesai, ajak anak diminta mengembalikan semua peralatan yang telah digunakan ke tempat asalnya.

Dengan melibatkan anak secara langsung seperti dalam contoh tersebut, anak akan merasa dihargai karena diangap sebagai “partner” atau rekanan dari Ayah dan Bunda. Perasaan dihargai ini akan membentuk sikap bertanggung jawab dan percaya diri anak karena dia menyadari bahwa ternyata dia bisa melakukan hal-hal yang dilakukan seperti Ayah dan Bundanya.

Membiarkan Anak Mencoba Hal-Hal Baru, Jangan Terlalu Banyak Melarang
Ketika anak, sebagai contoh, mencoba untuk membantu Bunda memotong-motong sayur dengan pisau, sebaiknya Bunda tidak langsung melarang. Tetapi, ajari dia cara melakukannya dan beritahu jika caranya masih salah, dan peringatkan bahwa pisau bisa melukai dirinya jika digunakan dengan cara yang salah. Karena memotong sayur merupakan pengalaman baru baginya, tentu saja Bunda harus mendampinginya.

Dengan berani mencoba kegiatan seperti di atas, maka anak menjadi mengerti dan memahami proses melakukan pekerjaan seperti itu. Dia juga akan berani mencoba melakukan hal-hal baru. Jika ia melakukan kesalahan maka dia akan belajar dan tidak akan mengulanginya. Namun apabila orangtua hanya melarang, maka anak justru akan menjadi seorang penakut, tidak percaya diri dan tidak mandiri.

Oleh sebab itu sangat diperlukan sekali dukungan dan bimbingan dari kedua orang tua untuk menciptakan suasana yang nyaman dan akrab. Bila suasana nyaman, maka anak menjadi terbuka, dan ketika akan melakukan sesuatu, biasanya dia akan bertanya atau mengungkapkan telebih dahulu kepada Ayah, atau Bunda tentang hal yang ingin ia lakukan. Keterbukaan ini juga akan memudahkan Ayah dan Bunda untuk membentuk karakter anak.

Memberikan Penghargaan atas Apa yang Telah Dicapai atau Dilakukan oleh Anak
“Reward” atau Penghargaan yang bisa direalisasikan dalam bentuk pujian atau sebuah benda merupakan “mood booster” atau penambah imun yang sangat diperlukan oleh semua orang. Ketika seseorang bahagia, atau bangga atas hasil yang ia capai, maka imunitas dalam tubuh seseorang akan bertambah sehingga ia akan memancarkan raut muka bahagia. Bila hal itu terjadi pada orang dewasa, maka orang itu akan awet muda. Bila hal tersebut terjadi pada anak-anak, mereka akan tumbuh cerdas, baik dan menyenangkan.

Anak yang bahagia pasti bertumbuh cerdas karena kebahagiaan mendorong pikiran positif, dan pikiran positif membuat anak mudah menerima ajaran atau didikan. Sebaliknya, anak yang kurang beruntung, tidak bahagia, dan selalu menghadapi banyak masalah cenderung memberikan respon negatif dan menolak ajaran, didikan maupun pengetahuan.

Orang dewasa atau orang tua saja sangat senang bila mendapatkan “reward”, baik berupa barang atau hanya sekedar tepuk tangan dan pujian, apalagi anak-anak. Mereka akan sangat senang jika Ayah dan Bunda mereka memberi reward untuk sebuah keberhasilan menyelesaikan sebuah kegiatan yang diberikan kepada mereka. Sebagai contoh, ketika anak berhasil merapikan tempat tidurnya dengan baik, Bunda dapat memberikannya sticker binatang yang ia sukai, dan jika sticker tersebut sudah mencapai 10, maka Bunda dapat memberinya es krim kesukaannya sebagai reward hasil pencapaian. Contoh lain, ketika anak berhasil memakai sepatu sendiri, Ayah memberinya pujian seperti “Wah, anak ayah bisa!” “Anak Ayah sudah bisa memakai sepatu sendiri, Ayah jadi bangga karena kamu sudah bisa mandiri! Kamu jadi makin pintar ya!”

Pemberian reward ini tidak perlu pada setiap kegiatan. Cukup hanya pada keberhasilan melakukan sesuatu yang baru dan bermakna bagi anak. Pencapaian atau keberhasilan memperoleh reward tersebut dapat memicu mereka berusaha lebih baik. Dengan demikian, kepercayaan diri mereka akan tumbuh dan mereka akan semakin peka untuk melakukan hal-hal positif di lingkungannya.

Selalu Memberikan Waktu yang Berkualitas bagi Anak, Bukan Waktu Tersisa dari Ayah dan Bunda
Waktu berkualitas atau sering disebut “quality time” merupakan sebuah wujud pengorbanan dari Ayah dan bunda yang harus dilakukan, karena anak dapat merasakan apakah Ayah dan Bundanya sungguh-sungguh ingin bersamanya atau hanya sekedar saja. Saat sedang bersama dalam waktu berkualitas tersebut, Ayah dan Bunda harus benar-benar tulus dan serius melakukan interaksi yang berkualitas dengan Anak. Ayah dan Bunda bisa merangsang keberanian Anak untuk berbicara dengan berbincang-bincang tentang cita-cita si anak, atau kerinduan si anak apabila memiliki waktu yang lama untuk dilakukan bersama, atau tentang teman-temannya.

Komunikasi atau interaksi ini juga merangsang rasa percaya diri yang besar dalam diri anak kita. Hal itu dapat terjadi karena dia merasa dihargai melalui pemberian waktu khusus dan juga selalu diajak berdiskusi atau berbincang-bincang. Anak merasakan bahwa dirinya benar-benar bagian terpenting dalam hidup Ayah dan Bundanya. Apa yang dilakukan Ayah dan Bundanya tersebut akan dia praktikkan kelak ketika dia dewasa.

Hal sebaliknya yang akan terjadi apabila Ayah dan Bunda tidak memiliki waktu khusus untuk anaknya. Jika ayah lebih memilih games atau memainkan gadgetnya, atau jika Bunda lebih memilih teman-teman arisannya, dampak yang buruk dan negative akan timbul dalam diri anak. Anak akan cuek, egois dan cenderung apatis terhadap lingkungan sekitarnya. Hal tersebut terjadi karena ia merasa tidak berharga dan selalu sendiri.

Menerapkan Sikap Jujur dan Terbuka
A.J. Perez menekankan, “I’ll take character over reputation”, yang berarti karakter lebih penting daripada reputasi, dan salah satu unsur utama karakter adalah kejujuran. Sikap jujur dan terbuka yang ditanamkan pada Anak sejak dini, kelak akan menjadikannya pribadi yang bisa dipercaya. Namun menanamkan kejujuran dan keterbukaan bagi balita seringkali lumayan sulit. Namun kesabaran dan penggunaan bahasa yang sederhana dapat membantu Ayah dan Bunda melakukannya. Kesabaran sangat diperlukan karena anak memerlukan rasa nyama untuk terbuka menjelaskan apa yang dipikirkan dirasakan dan telah dilakukannya. Sebagai contoh, ketika orang tua pulang kerja dan menemukan vas bunga pecah, anak ditanya siapa yang melakukannya. Sebagian anak akan takut mengakuinya. Teteapi bila raut wajah orang tua menunjukkan ekspresi tenang dan bersahabat, serta dengan hati yang legowo, maka si anak tidak akan merasa tertuduh atau tertekan, sehingga dia akan luwes dan menceritakan apa yang telah terjadi. Tidak tertutup kemungkinan pada saat orang tua baru tiba di rumah, si anak akan langsung menghampiri untuk meminta maaf dan bercerita tentang kronologi yang terjadi. Teguran yang lembut disertai penjelasan apabila anak telah melakukan kesalahan akan membuatnya menjadi berani terbuka dan berkata jujur.

Gambar 2. Menanamkan Kejujuran
Image Credit: https://pelatihanhomeschooling.com/menanamkan-kejujuran-pada-anak
Membebaskan Anak Bermain dengan Teman Sebayanya
Suatu saat nanti anak kita pasti akan bersosialisasi dengan siapa saja. Akan ada banyak watak, karakter, sifat, dan juga jenis masyarakat yang akan ia temui. Anak kita tidak bisa kita batasi hanya bersosialisasi dengan keluarga saja, dia harus terlibat dengan banyak orang. Untuk itu, sebaiknya Ayah dan Bunda memberikan Anak kebebasan untuk bermain dengan siapa saja yang sebaya dengannya.

Pergaulan anak dengan teman-teman sebayanya sangat bermanfaat. Hal itu memampukannya memilik hati yang besar karena berinteraksi dengan berbagai dan orang  beragam jenis sifat. Saat bermain, anak akan belajar apakah ia harus berkompromi atau justru menghindari. Selama bermain, ketika ia menghadapi masalah dengan temannya, ia akan belajar mengatasi dan menyelesaikan masalahnya sendiri.

Jangan pernah terlintas dalam benak Ayah dan Bunda untuk terlibat dalam penyelesaian masalah anak-anak, hal tersebut sangat tidak tepat dan juga tidak bijaksana. Jika kita terlibat sudah pasti akan membela anak kita, padahal mungkin saja anak kita yang salah. Pada waktu selanjutnya jika anak melakukan kesalahan lagi, bisa jadi anak kita akan mengadu kembali pada Ayah dan Bunda. Ia akan menjadikan Ayah dan Bunda seperti tamengnya. Anak akan berani terus melakukan kesalahan dan bisa jadi dia justru bertumbuh menjadi pribadi yang pengecut dan tidak bertanggung jawab, atau egois dan tidak tetantang untuk menyelesaikan masalahnya sendiri. Ia akan merasa selalu benar. Hal terburuk lainnya adalah bisa jadi malah orang tua dari kedua belah pihak menjadi bermusuhan. Hal ini sungguh sangat tidak baik, bukan? Jadi, sudah sepantasnya Ayah dan Bunda membiarkan Anak mengatasi masalahnya sendiri.

Hal positif lainnya yang didapat ketika membebaskan anak kita bermain dengan siapa saja adalah kemampuan motorik, EQ, dan otaknya akan berkembang pesat. Anak akan menjadi tahu banyak hal. Dia juga akan semakin berani untuk mengeksplorasi kemampuan dirinya dengan banyak hal di dunia luar rumah bersama dengan teman-temannya.

Dari uraian di atas terlihat betapa pentingnya Ayah dan Bunda memanfaatkan periode emas untuk mengembangkan nilai dan sikap anak. Semoga tujuh poin di atas dapat menginspirasi Ayah dan Bunda membantu anak mengembangkan kepercayaan diri, keberanian, kejujuran dan kemandirian anak sejak dini. ***

Apa pendapat Anda tentang artikel ini? Silahkan tuliskan pendapat Anda di bagian komentar di bawah ini.

Contributor: Taruli M.P.
uliepardede1402@gmail.com

Comments

  1. Keep writting. Keep posting. Great works

    ReplyDelete
  2. Luar biasa ,, terimakasih infonya ,, tentunya bagi saya ini sangat berharga dan dapat diterapkan untuk anak2 dalam tumbuh kembangnya ,, sukses slalu

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Types and Functions of Plot

Type of Plots  The plot used in fictions can be differentiated into four types: linear, episodic, parallel, and flashback. The most common plot employed in short stories is the linear plot. Some short stories, though quite rarely, also use flashback plot. The episodic and parallel plots, however, are found only in long fiction, i.e. novels. Short storied do not use episodic and parallel plots because short stories normally concentrate on a single event with a very limited number of characters, while episodic and parallel plots include a series of events or more than one plot. The following section describes each plot briefly. The Linear Plot The linear plot (sometimes is also called dramatic or progressive plot) presents action or occurrences chronologically. It typically starts with an exposition (or introduction to the setting and characters) and the conflict. After that, the rising action follows which leads to a climax. Soon after the climax, falling action emerges which br...

Identifying a Research Problem (and Writing the Statement of the Problem)

  Research is essentially a problem-driven process. It starts and focuses on a specific problem or phenomenon. During the research process, data is collected and theories are elaborated to explain the problem. In other words, identifying and determining the problem to study is the first and the most important aspect to deal with in undertaking research. Thus, the research problem is the foundation of a research project. If the foundation is shaky the entire project is doomed to failure. Despite its critical importance, identifying and stating a research problem are the most challenging aspects of undertaking research, especially for novice researchers. This might be due to an insufficient understanding of how to identify and write for a study. This article describes research problem identification as the first step of a research process. It starts by describing what a research problem is, how to identify it, and where to obtain it. Then it briefly probes the criteria for determinin...

An Analysis of the Theme of Hemingway’s “Old Man at the Bridge”

  An Analysis of the Theme of Hemingway’s “Old Man at the Bridge” Introduction The theme is one of the most interesting elements of fiction, including a short story. It refers to the central idea or meaning that the author wants to convey to the readers. Some stories convey a single theme, but some other stories have several themes. Since short stories are related to human life, Alternbend and Lewis (1966, p. 78) define theme as “The general vision of life or the more explicit proposition about human experience that literature conveys”. In relation to this, one of the easiest ways to determine the theme of a short story is by asking ourselves, “What does the story say about life? The theme of fiction is generally presented through the other elements of fiction, particularly the plot and characterization. This article is a venture to analyze the theme of Hemingway’s Old Man at the Bridge . This story is interesting to analyze due to two reasons. First, it is based on Hemingway’s...