Pengantar
Naskah
ini merupakan bagian pertama Modul 1 yang digunakan dalam Pelatihan
Membangun Blended Learning yang diselenggarakan oleh FKIP UKI pada tanggal
20 Juli-4 Agustus 2020. Sebagaimana terlihat dalam Gambar 1, Modul ini fokus pada lima topik utama. Pemahaman atas lima topik itu diharapkan dapat menjadi landasan bagi aktivitas pelatihan di dalam LMS. Modul ini dibagi ke dalam empat bagian. Bagian ledua modul ini dapat diakses di sini, bagian ketiga di sini, dan bagian ke empat di sini. Modul ini memperkenalkan konsep blended learning (BL) dengan
fokus pada pengertian, manfaat, dan poin-poin penting yang harus
dipertimbangkan dalam merancang mata pelajaran berbasis BL. Modul ini
dimaksudkan sebagai pengantar diskusi dalam webinar tanggal 20 Juli 2020 yang
diselenggarakan sebagai pengantar kepada pelatihan tersebut.
Konsep blended learning diinisiasi oleh penutur Bahasa Inggris, sehingga terminologi-terminologi terpopuler yang digunakan di bidang ini menggunakan Bahasa Inggris. Pada hakikatnya semua terminologi itu dapat diterjemahkan ke bahasa lain, termasuk Bahasa Indonesia. Meskipun demikian, agar lebih praktis (mengingat waktu pelatihan ini sangat singkat) sehingga uraian dan pemahaman lebih mudah, dalam artikel ini digunakan istilah-istilah dan akronim-akronim dalam Bahasa Inggris. Pengalihan istilah-istilah tersebut ke Bahasa Indonesia dapat dilakukan dalam wacana dan konteks penulisan lain. Dengan demikian, artikel ini tetap menggunakan terminologi blended learning (BL), online learning (OL), dan ‘face-to-face learning’ (F2FL), meskipun ketiga istilah itu dapat diterjemahkan menjadi 'pembelajaran bauran' atau 'pembelajaran campuran', 'pembelajaran daring' dan ‘pembelajaran tatap muka’ (PTM).
Gambar 1. Garis besar Pokok Bahasan dalam Modul |
Konsep blended learning diinisiasi oleh penutur Bahasa Inggris, sehingga terminologi-terminologi terpopuler yang digunakan di bidang ini menggunakan Bahasa Inggris. Pada hakikatnya semua terminologi itu dapat diterjemahkan ke bahasa lain, termasuk Bahasa Indonesia. Meskipun demikian, agar lebih praktis (mengingat waktu pelatihan ini sangat singkat) sehingga uraian dan pemahaman lebih mudah, dalam artikel ini digunakan istilah-istilah dan akronim-akronim dalam Bahasa Inggris. Pengalihan istilah-istilah tersebut ke Bahasa Indonesia dapat dilakukan dalam wacana dan konteks penulisan lain. Dengan demikian, artikel ini tetap menggunakan terminologi blended learning (BL), online learning (OL), dan ‘face-to-face learning’ (F2FL), meskipun ketiga istilah itu dapat diterjemahkan menjadi 'pembelajaran bauran' atau 'pembelajaran campuran', 'pembelajaran daring' dan ‘pembelajaran tatap muka’ (PTM).
Tujuan
Setelah
mempelajari modul ini, Anda diharapkan dapat:
- Menjelaskan pengertian BL.
- Menjelaskan manfaat-manfaat umum penerapan BL
- Menjelaskan kesesuaian konstruktivisme dengan BL
- Menjelaskan bagaimana BL memfasilitasi pengembangan LOTs dan HOTs berdasarkan Taksonomi Bloom
- Menjelaskan bagaimana BL memfasilitasi pengembangan keterampilan 4Cs (Komunikasi, Kolaborasi, berpikir Kritis, dan Kreativitas.
- Menjelaskan komponen pembangun BL.
Pertanyaan
Pengantar
Untuk membantu Anda fokus tujuan
mempelajari modul ini, silahkan terlebih dahulu mencoba sedapat mungkin
menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut.
- Apakah BL pada hakikatnya merupakan pemanfaatan unsur OL untuk meningkatkan F2FL, atau pemanfaatan F2FL untuk meningkatkan OL, atau sesuatu yang sama sekali berbeda?
- Mengapa BL dipandang sebagai perpaduan unsur-unsur terbaik F2FL dan OL? Mungkinkah BL justru menjadi perpaduan unsur-unsur terburuk dari F2FL dan OL?
- Bagaimana konstruktivisme dapat diterapkan melalui BL?
- Bagaimana LOTs dan HOTs dalam Taksonomi Bloom dilibatkan dan dikembangkan melalui BL?
- Bagaimana keterampilan 4Cs (Communication, Collaboration, Critical Thinking, dan Creativity dapat dikembangkan melalui BL?
- Apa saja komponen yang diperlukan untuk membangun BL? Apa yang terjadi bila ada bagian dari satu atau lebih dari komponen itu yang tidak memadai?
Pengertian BL
Meskipun
konsep BL muncul pada tahun 1960an, metode ini mulai diteliti dan dikembangkan
sejak tahun 2000an. Karena bidang itu diteliti diberbagai negara secara
mandiri, terminologi yang digunakan jadi sangat beragam. Oleh karena itu, BL
juga dikenal dengan nama ‘hybrid learning’, ‘mixed-mode courses, ‘technology-mediated instruction’, dan ‘web-enhanced
instruction’, and ‘mixed-mode instruction’).
BL pada dasarnya merupakan metode alternatif dalam merencanakan dan mengorganisasikan pembelajaran, sebagaimana halnya F2FL atau distance learning (DL) maupun OL. Secara umum, BL dibatasi sebagai metode pembelajaran yang sebagian unsurnya (proses, konten, aktivitas) dilaksanakan melalui F2FL dan unsur lainnya melalui OL. Dalam konteks pendidikan dasar dan menengah, Staker (2011) mengatakan bahwa BL berlangsung ketika siswa melakukan sebagian pembelajaran di ruangan kelas dan sebagian lagi melalui jaringan daring, yang memungkinkan siswa menyesuaikan sebagian unsur waktu, tempat, saluran, dan kecepatan dalam pembelajaran itu dengan kapasitas yang dimilikinya. Bluic dkk. (2007) menggambarkan BL sebagai interaksi tiga unsur pembelajaran. Menurut mereka, dalam BL berlangsung kombinasi sistematis dari interaksi antara siswa—guru—sumber-sumber belajar secara tatap muka dan melalui teknologi.
Definisi Staker dan Bluic dkk ini saling melengkapi dan mengungkapkan tiga ciri khas BL. Pertama, sebagian unsur pembelajaran berlangsung melalui F2FL dan sebagian lagi melalui OL. Kedua, pelaksanaan pembelajaran secara daring menawarkan fleksibilitas karena siswa dapat menyesuaikan unsur waktu, tempat, saluran, dan kecepatan dalam pembelajaran itu dengan kapasitas yang dimilikinya. Fleksibilitas ini memungkinkan bagian pembelajaran yang berlangsung secara daring dilakukan kapan saja, di mana saja, dan disesuikan dengan kecepatan siswa. Ketiga, pembelajaran mengoptimalkan keterlibatan para siswa secara personal maupun kelompok karena mereka dituntut untuk berinteraksi dengan guru, teman sekelas, maupun sumber-sumber pembelajaran.
Ketiga ciri khas tersebut mengindikasikan bahwa BL tidak hanya sekedar mencampur atau mengombinasikan unsur-unsur (konten, proses, aktivitas) F2FL dan OL, tetapi memadukan unsur-unsur terbaik dari masing-masing moda pembelajaran itu dalam untuk meningkatkan capaian pembelajaran siswa. Elearnspace (2005) menegaskan bahwa BL “takes the best of both worlds and creates an improved learning experience for the student.” Dengan demikian, BL akan berlangsung efektif jika dirancang setelah terlebih dahulu menganalisis tujuan pembelajaran, menyeleksi unsur-unsur terbaik F2FL dan OL yang dapat digunakan untuk mengoptimalkan pengalaman belajar bagi tiap siswa sesuai dengan konteks dan tujuan pembelajaran, dan mengintegrasikan unsur-unsur terbaik F2FL dan OL menjadi satu paket pembelajaran yang terpadu (Gambar 2). Watson (2008, p.4) menyatakan bahwa BL memadukan penyaluran konten dan pelaksanaan aktivitas pembelajaran secara daring dengan memanfaatkan fitur-fitur teknologi secara optimal dengan interaksi dalam F2FL untuk menyesuaikan media dan teknik pembelajaran dengan tipe kecerdasan dan gaya belajar siswa dalam rangka mempersonalisasikan pembelajaran yang akan memfasilitasi refleksi yang mendalam.
Pada awalnya, interaksi pembelajaran dalam BL dilakukan melalui berbagai jenis teknologi, seperti radio dan televisi. Namun setelah internet digunakan secara masif, teknologi ini interaksi dalam jaringan (online) menjadi pilihan utama dalam pembelajaran. Oleh karena itu, saat ini BL lebih mengacu pada metode yang mengintegrasikan F2FL dengan OL.
Apakah
semua pembelajaran yang melibatkan unsur F2FL dan OL secara otomatis disebut
BL? Tidak juga. Secara teoritis, agar dapat
disebut BL, sebuah pembelajaran harus mengandung 30%-79% unsur
(proses, konten, aktivitas) dari salah satu dari pembelajaran tatap muka dan
daring (Allen, Seaman & Garrett, 2007). Misalnya, jika konten atau proses
yang dilaksanakan melalui F2FL sebanyak
40% maka yang dilaksanakan melalui OL adalah 60%. Jika F2FL sebanyak 45%, F2FL adalah 55%, dan seterusnya (Lihat Gambar 3). Dengan demikian, dalam BL
proporsi dari kedua unsur itu fleksibel, tergantung karakteristik mata
pelajaran dan kondisi yang ada.
Kelebihan (Manfaat) BL
BL pada dasarnya merupakan metode alternatif dalam merencanakan dan mengorganisasikan pembelajaran, sebagaimana halnya F2FL atau distance learning (DL) maupun OL. Secara umum, BL dibatasi sebagai metode pembelajaran yang sebagian unsurnya (proses, konten, aktivitas) dilaksanakan melalui F2FL dan unsur lainnya melalui OL. Dalam konteks pendidikan dasar dan menengah, Staker (2011) mengatakan bahwa BL berlangsung ketika siswa melakukan sebagian pembelajaran di ruangan kelas dan sebagian lagi melalui jaringan daring, yang memungkinkan siswa menyesuaikan sebagian unsur waktu, tempat, saluran, dan kecepatan dalam pembelajaran itu dengan kapasitas yang dimilikinya. Bluic dkk. (2007) menggambarkan BL sebagai interaksi tiga unsur pembelajaran. Menurut mereka, dalam BL berlangsung kombinasi sistematis dari interaksi antara siswa—guru—sumber-sumber belajar secara tatap muka dan melalui teknologi.
Definisi Staker dan Bluic dkk ini saling melengkapi dan mengungkapkan tiga ciri khas BL. Pertama, sebagian unsur pembelajaran berlangsung melalui F2FL dan sebagian lagi melalui OL. Kedua, pelaksanaan pembelajaran secara daring menawarkan fleksibilitas karena siswa dapat menyesuaikan unsur waktu, tempat, saluran, dan kecepatan dalam pembelajaran itu dengan kapasitas yang dimilikinya. Fleksibilitas ini memungkinkan bagian pembelajaran yang berlangsung secara daring dilakukan kapan saja, di mana saja, dan disesuikan dengan kecepatan siswa. Ketiga, pembelajaran mengoptimalkan keterlibatan para siswa secara personal maupun kelompok karena mereka dituntut untuk berinteraksi dengan guru, teman sekelas, maupun sumber-sumber pembelajaran.
Gambar 2. BL Sebagai Pepaduan Unsur-Unsur Terbaik F2FL & BL |
Ketiga ciri khas tersebut mengindikasikan bahwa BL tidak hanya sekedar mencampur atau mengombinasikan unsur-unsur (konten, proses, aktivitas) F2FL dan OL, tetapi memadukan unsur-unsur terbaik dari masing-masing moda pembelajaran itu dalam untuk meningkatkan capaian pembelajaran siswa. Elearnspace (2005) menegaskan bahwa BL “takes the best of both worlds and creates an improved learning experience for the student.” Dengan demikian, BL akan berlangsung efektif jika dirancang setelah terlebih dahulu menganalisis tujuan pembelajaran, menyeleksi unsur-unsur terbaik F2FL dan OL yang dapat digunakan untuk mengoptimalkan pengalaman belajar bagi tiap siswa sesuai dengan konteks dan tujuan pembelajaran, dan mengintegrasikan unsur-unsur terbaik F2FL dan OL menjadi satu paket pembelajaran yang terpadu (Gambar 2). Watson (2008, p.4) menyatakan bahwa BL memadukan penyaluran konten dan pelaksanaan aktivitas pembelajaran secara daring dengan memanfaatkan fitur-fitur teknologi secara optimal dengan interaksi dalam F2FL untuk menyesuaikan media dan teknik pembelajaran dengan tipe kecerdasan dan gaya belajar siswa dalam rangka mempersonalisasikan pembelajaran yang akan memfasilitasi refleksi yang mendalam.
Pada awalnya, interaksi pembelajaran dalam BL dilakukan melalui berbagai jenis teknologi, seperti radio dan televisi. Namun setelah internet digunakan secara masif, teknologi ini interaksi dalam jaringan (online) menjadi pilihan utama dalam pembelajaran. Oleh karena itu, saat ini BL lebih mengacu pada metode yang mengintegrasikan F2FL dengan OL.
Gambar 3. Proporsi Unsur Pembelajaran dalam BL |
Kelebihan (Manfaat) BL
Pada awalnya, BL digalakkan hanya di level perguruan tinggi.
Namun, melihat banyaknya manfaat yang ditawarkannya, BL juga diterapkan di
pendidikan dasar dan menengah. Berbagai hasil
penelitian yang dirangkum oleh Gupta (2016) menunjukkan bahwa 73% guru yang
menggunakan BL melihat metode ini meningkatkan keterlibatan siswa dalam
pembelajaran, 59% melaporkan bahwa siswa
termotivasi untuk belajar ketika BL diterapkan, studi yang dilakukan Departemen
pendidikan AS menunjukkan bahwa BL merupakan model pembelajaran paling efektif,
dan diprediksi bahwa mulai tahun 2019 separuh kelas di sekolah dasar dan
menengah akan menerapkan BL. Hasil-hasil penelitian lain mengkonfirmasi
temuan-temuan tersebut. Hasil penelitian Kenney & Newcombe (2011)
menunjukkan bahwa siswa yang belajar dengan metode BL mencapai skor rata-rata
dan tingkat kepuasan pembelajaran lebih tinggi daripada siswa yang belajar
dengan metode non-BL. U.S.
Department of Education’s (2010) menyatakan bahwa BL memberikan keuntungan yang
lebih banyak dibandingkan F2FL maupun OL.
Salama (2005)
menegaskan bahwa BL merupakan alternatif pembelajaran daring yang logis
dan dapat diterima secara ilmiah, memberikan capaian pembelajaran yang lebih
tinggi, berbiaya lebih murah, dan dapat menggabungkan berbagai jenis
pembelajaran yang ‘canggih’. Selain itu, BL juga BL meningkatkan capaian
pembelajaran, keterampilan, dan mengembangkan sikap siswa. Indartono (2011) dan
Fisher dan Kusumah (2018) mengungkapkan BL dapat mengakselerasi dan
mengefektifkan pendidikan karakter’ BL juga memfasilitasi pembentukan sikap dan
perilaku yang baik dalam kehidupan sehari-hari (Yulianti & Sulistiawaty,
2020).
Studi literatur Pardede (2012) merangkum berbagai keuntungan dari BL yang diimplementasikan dengan baik, yakni: fleksibilitas yang memungkinkan desain pembelajaran disesuaikan dengan tujuan maupun kebutuhan individu siswa; akses yang luas kepada pengetahuan; kesempatan mengembangkan interaksi sosial; fasilitasi bagi pengembangan kompetensi pribadi mahasiswa; efisiensi biaya dan kesempatan untuk menjangkau mahasiswa di segala penjuru dunia dalam waktu singkat dan dengan pelayanan semi personal yang konsisten; kemudahan melakukan revisi terhadap konten pembelajaran (Osguthorpe dan Graham, 2003). Selain itu, BL memungkinkan pembelajaran tetap berlangsung meskipun sekolah sudah tutup (Riel & Paul, 2009); siswa menjadi pembelajar aktif karena mereka dapat mengkomunikasikan kebutuhan dan minat mereka kepada guru untuk menunjang keberhasilan (Pape, 2006); dan efek negatif yang mungkin muncul dari desain pembelajaran daring yang masih belum sempurna dapat direduksi melalui F2FL (Mackay & Stockport, 2006).
Kelemahan Blended Learning
Tidak ada metode pembelajaran yang sempurna. Sebagai hasil pemikiran manusia tiap metode pembelajaran memiliki kekurangan. Terdapat tiga kekurangan umum BL. Pertama, BL menimbulkan ketergantungan terhadap teknologi. Tanpa koneksi kepada internet dengan sinyal yang memadai dan peralatan yang baik, BL tidak dapat berlangsung. Kedua, guru dan siswa wajib menguasai literasi teknologi, paling tidak tingkat dasar (membuat e-mail, menjelajah situs (browsing) mengunduh dan mengunggah berkas, dan sebagainya). Ketiga, guru dan siswa harus mengubah 'mind-set' tentang penggunaan teknologi untuk pembelajaran. Menurut penelitian, sebagian guru 'senior' cenderung enggan, bahkan menolak praktik pembelajaran berbasis teknologi.
Studi literatur Pardede (2012) merangkum berbagai keuntungan dari BL yang diimplementasikan dengan baik, yakni: fleksibilitas yang memungkinkan desain pembelajaran disesuaikan dengan tujuan maupun kebutuhan individu siswa; akses yang luas kepada pengetahuan; kesempatan mengembangkan interaksi sosial; fasilitasi bagi pengembangan kompetensi pribadi mahasiswa; efisiensi biaya dan kesempatan untuk menjangkau mahasiswa di segala penjuru dunia dalam waktu singkat dan dengan pelayanan semi personal yang konsisten; kemudahan melakukan revisi terhadap konten pembelajaran (Osguthorpe dan Graham, 2003). Selain itu, BL memungkinkan pembelajaran tetap berlangsung meskipun sekolah sudah tutup (Riel & Paul, 2009); siswa menjadi pembelajar aktif karena mereka dapat mengkomunikasikan kebutuhan dan minat mereka kepada guru untuk menunjang keberhasilan (Pape, 2006); dan efek negatif yang mungkin muncul dari desain pembelajaran daring yang masih belum sempurna dapat direduksi melalui F2FL (Mackay & Stockport, 2006).
Kelemahan Blended Learning
Tidak ada metode pembelajaran yang sempurna. Sebagai hasil pemikiran manusia tiap metode pembelajaran memiliki kekurangan. Terdapat tiga kekurangan umum BL. Pertama, BL menimbulkan ketergantungan terhadap teknologi. Tanpa koneksi kepada internet dengan sinyal yang memadai dan peralatan yang baik, BL tidak dapat berlangsung. Kedua, guru dan siswa wajib menguasai literasi teknologi, paling tidak tingkat dasar (membuat e-mail, menjelajah situs (browsing) mengunduh dan mengunggah berkas, dan sebagainya). Ketiga, guru dan siswa harus mengubah 'mind-set' tentang penggunaan teknologi untuk pembelajaran. Menurut penelitian, sebagian guru 'senior' cenderung enggan, bahkan menolak praktik pembelajaran berbasis teknologi.
Konstruktivisme dan Blended Learning
Salah satu faktor
yang membuat BL mampu menawarkan banyak manfaat adalah kemampuannya mengadopsi
konstruktivisme, pendekatan yang memandang bahwa pengetahuan dihasilkan melalui
aktivitas pembentukan dalam pikiran, tidak diperoleh karena ditransfer dari guru
kepada siswa. Papert (1999) menyatakan bahwa pengetahuan bukan sebuah
entitas yang berada di luar pikiran dan dapat dituangkan (dari pikiran guru) ke
dalam pikiran (siswa) untuk dikuasai. Jadi, ketika belajar, individu secara aktif membangun atau membuat pengetahuan sendiri dari pengalaman
baru yang dihubungkan dengan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya melalui
refleksi. (Loyens, Rikers, and Schmidt, 2009).
Konstruktivisme sangat menentang pendekatan objektivis yang memandang metode terefektif untuk menguasai pengetahuan atau keterampilan adalah dengan cara memindahkan atau menuangkannya dari seorang pemberi (guru) kepada penerima (siswa). Menurut konstruktivisme, individu dapat mengembangkan pengetahuan melalui pembelajaran setelah terlebih dahulu secara personal memperoleh pengalaman baru. Pengalaman baru itu kemudian diobservasi, direfleksikan dan ditransformasi menjadi sebuah konsep abstrak dalam pikiran (working memory). Setelah itu, keabsahan dan akurasi konsep tersebut diuji, baik melalui eksperimen, diskusi dengan orang lain, atau menerapkannya dalam situasi baru (Lihat Gambar 4). Jika lolos uji, konsep baru itu ini kemudian dihubungkan (berinteraksi) dengan pengetahuan lama (yang telah dimiliki). Interaksi itu akan bermuara kepada satu dari dua kemungkinan berikut. Pertama, konsep baru sesuai dengan pengetahuan sebelumnya dan ditambahkan atau diselipkan pada pengetahuan lama. Proses penambahan ini mirip dengan cara menempatkan potongan ‘puzzle’ ditempat yang paling pas. Kedua, konsep baru tidak sesuai dengan pengetahuan yang sudah ada. Ketidakcocokan ini diverifikasi dengan cara menguji kembali untuk melihat informasi mana yang tidak akurat: pengetahuan lama atau konsep yang baru. Hasil pengujian ulang ini akan menentukan informasi mana yang dipertahankan dan mana yang harus diabaikan (dilupakan).
Kenyataan bahwa konstruksi pengetahuan terjadi di dalam pikiran, memberi beberapa implikasi terhadap pembelajaran. Pertama, pembelajaran bersifat personal--tidak dapat diwakilkan. Siswa harus melakukannya secara langsung. Kedua, pembelajaran merupakan sebuah proses yang aktif. Siswa harus aktif melibatkan panca-indera dan pikirannya. Ini yang membuat mengapa pembelajaran harus berpusat kepada siswa (student-centered) Ketiga, pembelajaran sangat tergantung kepada pengalaman baru, sehingga salah satu tugas utama guru adalah memfasilitasi pengalaman baru yang relevan kepada siswa. Keempat, pembelajaran merupakan aktivitas sosial. Meskipun sebagian aktivitas pembelajaran harus dilakukan secara mandiri, agar pengetahuan baru yang sedang direkonstruksi oleh individu lebih bermakna, pengetahuan itu perlu diklarifikasi kepada orang lain melalui curah-gagasan, diskusi, debat, atau pemecahan masalah bersama. Kelima, agar efektif, pembelajaran harus kontekstual. Tujuan, aktivitas, dan media pembelajaran harus terintegrasi dengan pengalaman baru yang disajikan dan terkait dengan kehidupan nyata. Keenam, pembelajaran berlangsung dalam pikiran. Pengalaman dan aktivitas fisik memang diperlukan dalam pembelajaran. Tapi, semua unsur pembelajaran pada akhirnya akan diproses di dalam pikiran. Semakin intensif unsur pikiran terlibat, semakin baik hasil pembelajaran. Ini yang membuat mengapa rencana pembelajaran perlu dibuat dengan mengikutsertakan konsep keterampilan berpikir, khususnya Taksonomi Bloom. Ketujuh, proses dan hasil pembelajaran sangat bergantung kepada motivasi. Siswa yang tidak termotivasi akan gagal. Itu sebabnya konten dan aktivitas pembelajaran perlu dirancang agar menarik bagi siswa.
Konstruktivisme sangat menentang pendekatan objektivis yang memandang metode terefektif untuk menguasai pengetahuan atau keterampilan adalah dengan cara memindahkan atau menuangkannya dari seorang pemberi (guru) kepada penerima (siswa). Menurut konstruktivisme, individu dapat mengembangkan pengetahuan melalui pembelajaran setelah terlebih dahulu secara personal memperoleh pengalaman baru. Pengalaman baru itu kemudian diobservasi, direfleksikan dan ditransformasi menjadi sebuah konsep abstrak dalam pikiran (working memory). Setelah itu, keabsahan dan akurasi konsep tersebut diuji, baik melalui eksperimen, diskusi dengan orang lain, atau menerapkannya dalam situasi baru (Lihat Gambar 4). Jika lolos uji, konsep baru itu ini kemudian dihubungkan (berinteraksi) dengan pengetahuan lama (yang telah dimiliki). Interaksi itu akan bermuara kepada satu dari dua kemungkinan berikut. Pertama, konsep baru sesuai dengan pengetahuan sebelumnya dan ditambahkan atau diselipkan pada pengetahuan lama. Proses penambahan ini mirip dengan cara menempatkan potongan ‘puzzle’ ditempat yang paling pas. Kedua, konsep baru tidak sesuai dengan pengetahuan yang sudah ada. Ketidakcocokan ini diverifikasi dengan cara menguji kembali untuk melihat informasi mana yang tidak akurat: pengetahuan lama atau konsep yang baru. Hasil pengujian ulang ini akan menentukan informasi mana yang dipertahankan dan mana yang harus diabaikan (dilupakan).
Gambar 4. Model Pembelajaran Konstruktif |
Kenyataan bahwa konstruksi pengetahuan terjadi di dalam pikiran, memberi beberapa implikasi terhadap pembelajaran. Pertama, pembelajaran bersifat personal--tidak dapat diwakilkan. Siswa harus melakukannya secara langsung. Kedua, pembelajaran merupakan sebuah proses yang aktif. Siswa harus aktif melibatkan panca-indera dan pikirannya. Ini yang membuat mengapa pembelajaran harus berpusat kepada siswa (student-centered) Ketiga, pembelajaran sangat tergantung kepada pengalaman baru, sehingga salah satu tugas utama guru adalah memfasilitasi pengalaman baru yang relevan kepada siswa. Keempat, pembelajaran merupakan aktivitas sosial. Meskipun sebagian aktivitas pembelajaran harus dilakukan secara mandiri, agar pengetahuan baru yang sedang direkonstruksi oleh individu lebih bermakna, pengetahuan itu perlu diklarifikasi kepada orang lain melalui curah-gagasan, diskusi, debat, atau pemecahan masalah bersama. Kelima, agar efektif, pembelajaran harus kontekstual. Tujuan, aktivitas, dan media pembelajaran harus terintegrasi dengan pengalaman baru yang disajikan dan terkait dengan kehidupan nyata. Keenam, pembelajaran berlangsung dalam pikiran. Pengalaman dan aktivitas fisik memang diperlukan dalam pembelajaran. Tapi, semua unsur pembelajaran pada akhirnya akan diproses di dalam pikiran. Semakin intensif unsur pikiran terlibat, semakin baik hasil pembelajaran. Ini yang membuat mengapa rencana pembelajaran perlu dibuat dengan mengikutsertakan konsep keterampilan berpikir, khususnya Taksonomi Bloom. Ketujuh, proses dan hasil pembelajaran sangat bergantung kepada motivasi. Siswa yang tidak termotivasi akan gagal. Itu sebabnya konten dan aktivitas pembelajaran perlu dirancang agar menarik bagi siswa.
Semua implikasi di atas dapat diaktualisasikan melalui F2FL. Tapi, akan jauh lebih efektif jika didukung oleh pemanfaatan teknologi. Sebagai contoh, ketika siswa bekerja kelompok dalam sesi F2FL, ada kemungkinan sebagian anggota tidak berperan aktif, dan hal ini relatif sulit diidentifikasi. Namun ketika siswa diskusi dalam LMS, semua aktivitas diskusi terrekam hingga mudah dipantau. Jejak dijital setiap siswa akan menunjukkan siapa yang aktif dan siapa yang tidak aktif. Selain itu, di LMS pengalaman baru dapat disajikan secara variatif, yakni melalui aktivitas membaca, menonton video, atau mendengarkan rekaman ceramah. Selanjutnya, untuk memperkaya aspek aktivitas sosial yang berlangsung di sesi F2FL, dalam LMS interaksi dapat dilakukan kapan saja dan dari mana saja. Interaksi dengan guru dan teman sekelas, misalnya, dengan mudah dapat dilakukan melalui platform diskusi. Bahkan, interaksi dengan pakar dari seluruh dunia sangat mungkin dilakukan. Sedangkan interaksi dengan konten bisa dilakukan kapan saja dan dari mana saja dengan cara mengakses modul, artikel, video, dan sumber pembelajaran lainnya
Selain itu, dukungan teknologi dalam BL memungkinkan aktualisasi pembelajaran kontekstual relatif mudah dilakukan. Internet menyediakan konten, media, dan perangkat lunak yang berlimpah untuk dipilih dan digunakan dalam rangka mengintegrasikan dan menghubungkan pembelajaran dengan realitas kehidupan. Pembelajaran melalui LMS juga sangat mendukung penglibatan dan pengembangan keterampilan berpikir (Lihat bagian “Taksonomi Bloom dalam BL”). Terakhir, internet menyediakan sumber-sumber pembelajaran dengan jumlah tak terbatas yang dapat disajikan dalam berbagai jenis media sehingga setiap siswa dapat memilih sumber dan media yang digemarinya. Selain itu, internet juga menyediakan berbagai perangkat lunak yang dapat dipilih siswa untuk mengerjakan tugas. Keberadaan sumber, media, dan perangkat lunak yang bisa dipilih itu sangat potensial digunakan untuk meningkatkan motivasi.
Selain itu, dukungan teknologi dalam BL memungkinkan aktualisasi pembelajaran kontekstual relatif mudah dilakukan. Internet menyediakan konten, media, dan perangkat lunak yang berlimpah untuk dipilih dan digunakan dalam rangka mengintegrasikan dan menghubungkan pembelajaran dengan realitas kehidupan. Pembelajaran melalui LMS juga sangat mendukung penglibatan dan pengembangan keterampilan berpikir (Lihat bagian “Taksonomi Bloom dalam BL”). Terakhir, internet menyediakan sumber-sumber pembelajaran dengan jumlah tak terbatas yang dapat disajikan dalam berbagai jenis media sehingga setiap siswa dapat memilih sumber dan media yang digemarinya. Selain itu, internet juga menyediakan berbagai perangkat lunak yang dapat dipilih siswa untuk mengerjakan tugas. Keberadaan sumber, media, dan perangkat lunak yang bisa dipilih itu sangat potensial digunakan untuk meningkatkan motivasi.
Silahkan lanjut membaca bagian kedua modul ini, Aktivasi & Pengembangan Keterampilan Berpikir dalam Blended Learning
Comments
Post a Comment