Penggunaan teknologi,
termasuk telepon pintar, dalam pembelajaran sudah merupakan kebutuhan. Namun,
perangkat itu perlu digunakan secara bijaksana. Jika digunakan secara
berlebihan telepon pintar bisa mengakibatkan berbagai dampak negatif yang
sangat merugikan.
![]() |
Image Credit: https://decafnation.net/2017/05/29/2306/ |
Sejak merebaknya wabah virus corona, status penggunaan telepon pintar (smartphone) di kalangan pelajar telah menjadi sebuah ironi. Sebelum pandemik COVID 19, hampir semua siswa di seluruh dunia dilarang membawa, apalagi menggunakan, telepon pintar selama berada di sekolah. Ketika siswa harus belajar dari rumah secara daring, penggunaan telepon pintar justru disarankan. Survai menunjukkan 54% pelajar dari seluruh jenjang pendidikan di Jakarta dan sekitarnya menggunakan smartphone sebagai satu-satunya sarana pembelajaran daring selama pandemi tersebut. Pelajar lainnya 46% menggunakan laptop, desktop, dan iPad/tablet. Jadi, tanpa smartphone lebih dari separuh pelajar di Jakarta dan sekitarnya tidak akan dapat mengikuti pembelajaran.
Dengan atau tanpa wabah virus corona, pembelajaran berbasis teknologi sebenarnya dibutuhkan untuk mempersiapkan peserta didik mengarungi era Revolusi Industri 4.0 yang mengandalkan teknologi dijital sebagai basis proses produksi, pemasaran, dan distribusi. Namun, proses pemanfaatan teknologi dalam pembelajaran telah dipercepat oleh wabah virus corona. Diperkirakan, penggunaan telepon pintar dalam pembelajaran akan menjadi sebuah ‘new normal’ di era pasca pandemi virus corona.
Aan tetapi, penggunaan telepon pintar dalam pembelajaran pada hakikatnya merupakan pedang
bermata dua. Di satu sisi, perangkat ini menawarkan manfaat yang luar
biasa. Di sisi lain, perangkat itu juga berpotensi mengakibatkan berbagai efek negatif
jika tidak digunakan secara bijaksana. Artikel ini membahas beberapa potensi
efek negatif penggunaan telepon pintar dan bagaimana mengatasinya
Amnesia
Dijital
Amnesia
dijital, juga dikenal dengan istilah demsia dijital, adalah kondisi
psikologis berupa kecenderungan akut seseorang untuk melupakan informasi yang
disimpan secara dijital di memori perangkat elektoronik (handphone atau komputer). Berapa nomor telepon anggota keluarga, teman, dan kerabat yang Anda hafal? Apakah Anda dapat mengingat dengan pasti tanggal lahir semua anggota keluarga dan kerabat dekat, mulai dari istri/suami, anak-anak, kakak, adik, orang-tua, dan mertua? Ketika orang masih menggunakan telepon kabel, sangat lazim bagi tiap orang menghafal puluhan
nomor telepon rumah kerabat, teman, tetangga dan berbagai nomor telepon kantor
atau relasi. Namun, hasil penelitian mengungkapkan bahwa saat ini, sebagai dampak penggunaan telepon pintar, lebih dari 70% orang tua tidak hafal nomor telepon anak-anak mereka, dan 49% tidak bisa mengingat nomor telepon suami atau istrinya. Orang juga tidak lagi mengingat tanggal lahir teman-temannya karena mengetahui data-data itu dapat diakses di Face Book.
Fenomena di atas merupakan contoh amnesia dijital yang timbul karena smartphone tidak digunakan hanya sebagai media komunikasi tetapi juga berfungsi sebagai pelaksana berbagai tugas otak, termasuk menyimpan beragam informasi. Saat ini sangat lazim bagi banyak orang menyimpan jadual kegiatan mingguan, tanggal lahir orang-orang tertentu nomor akun bank, password, dan PIN ATM dalam memori telepon, bukan dalam memori biologis. Hasil penelitian Kaspersky Lab mengungkapkan bahwa 79% warga Eropa mengaku mereka jauh lebih tergantung pada telepon pintar mereka dalam urusan mengingat informasi penting dibandingkan lima tahun sebelumnya; 34% dari mereka mengakui telepon pintar sudah menggantikan otak sebagai memori, karena semua informasi yang perlu diingat sudah disimpan dalam alat itu; dan 32% warga lainnya menyatakan telepon pintar sudah menjadi otak kedua bagi mereka.
Fenomena di atas merupakan contoh amnesia dijital yang timbul karena smartphone tidak digunakan hanya sebagai media komunikasi tetapi juga berfungsi sebagai pelaksana berbagai tugas otak, termasuk menyimpan beragam informasi. Saat ini sangat lazim bagi banyak orang menyimpan jadual kegiatan mingguan, tanggal lahir orang-orang tertentu nomor akun bank, password, dan PIN ATM dalam memori telepon, bukan dalam memori biologis. Hasil penelitian Kaspersky Lab mengungkapkan bahwa 79% warga Eropa mengaku mereka jauh lebih tergantung pada telepon pintar mereka dalam urusan mengingat informasi penting dibandingkan lima tahun sebelumnya; 34% dari mereka mengakui telepon pintar sudah menggantikan otak sebagai memori, karena semua informasi yang perlu diingat sudah disimpan dalam alat itu; dan 32% warga lainnya menyatakan telepon pintar sudah menjadi otak kedua bagi mereka.
Setiap orang
yang menggantungkan diri pada
kecanggihan teknologi untuk menyimpan beragam informasi rentan terjangkit
amnesia dijital. Jika seseorang sudah terbiasa melakukan atau mengalami empat
hal berikut, berarti dia sudah terjangkit amnesia dijital: (1) menyimpan
informasi-informasi penting di telepon pintar; (2) telah merasa kewalahan untuk
mengingat berbagai password, PIN,
alamat e-mail, dan informasi sejenisnya; (3) merasa cemas ketika membayangkan
kehilangan informasi yang tersimpan di telepon pintar; dan (4) bukannya
berupaya menghafal, secara reflek dia langsung mencari informasi yang tersimpan
di teleponnya tiap kali dia membutuhkannya.
Jika amnesia dijital ini tidak dicegah maka individu, termasuk pelajar, yang
terjangkit akan mengalami penurunan daya ingat dan kemampuan berpikir. Pembelajaran
dan memori merupakan dua entitas yang tidak terpisahkan. Pembelajaran merupakan
proses mengembangkan pengetahuan, keterampilan, sikap, atau nilai dengan cara
mengombinasikan informasi yang tersimpan dalam memori biologis dan/atau
menambahkan informasi baru kepada informasi yang sudah ada. Pengetahuan baru
yang diperoleh melalui proses rekombinasi dan/atau penambahan informasi itu
kemudian disimpan dalam memori. Dengan demikian, semakin sering seseorang
menimpan informasi dalam memori telepon pintarnya, semakin menurun pula daya
ingatnya dan sekaligus memperlemah kemampuan belajarnya.
Penurunan daya ingat, secara otomatis, juga memperlemah kemampuan
berpikir. William
James menjelaskan bahwa otak kita mengkonstruksi
ide-ide baru serta memunculkan pemikiran kritis dan konseptual dengan cara
membentuk asosiasi intelektual yang kaya diantara konsep-konsep yang tersedia
dalam memori biologis kita. Konsep atau informasi yang berada di luar memori
biologis tidak bisa diproses oleh otak. Jadi, agar konsep yang terdapat di
dalam buku atau internet dapat diproses, konsep itu tidak harus terlebih dahulu
‘dimasukkan’ ke dalam ingatan. Dengan demikian, semakin banyak informasi yang
kita ‘titipkan’ di memori telepon pintar semakin sedikit informasi yang kita ingat di memori biologis,
dan semakin sedikit pula yang dapat kita pikirkan. Karena otak kita mirip
dengan otot yang perlu dilatih secara berkelanjutan, semakin sedikit informasi
yang kita pikirkan kemampuan berpikir kita juga akan semakin lemah.
Paparan di atas memperlihatkan
bahwa amnesia dijital sangat merugikan bagi aktivitas pembelajaran. Bila orang
dewasa yang seyogyanya dapat menggunakan telepon pintar secara bijaksana saja
dapat terjangkit amnesia dijital, apalagi para pelajar, khususnya siswa sekolah
dasar dan sekolah menengah? Oleh karena itu, guru dan orangtua perlu senantiasa
memberikan panduan kepada setiap pelajar untuk menggunakan telepon pintar
secara bijaksana.
Efek Google
Efek
Google merupakan kecenderungan seseorang melupakan informasi yang diketahuinya
tersedia dan mudah diakses di internet. Pelajar yang lahir sebelum era
internet, pada umumnya hafal nama-nama ibukota dan judul lagu-lagu kebangsaan
negara-negara ASEAN. Tapi komitmen generasi yang lahir di era internet untuk
mengingat data seperti itu semakin berkurang karena mereka yakin dapat
mengakses informasi tersebut dengan mudah, Fenomena ini juga terungkap melalui
kecenderungan pengguna Facebook yang tidak lagi berusaha mengingat tanggal ulang
tahun teman karena informasi itu dapat dengan mudah diakses di situs Facebook. Sparrow,
Liu, dan Wegner (2011) menyimpulkan bahwa efek google membuat seseorang cenderung lebih
mengingat bagaimana dan di mana informasi tertentu dapat diperoleh daripada
mengingat informasi itu sendiri.
Efek Google ternyata menjangkiti penduduk di semua lapisan usia,
bukan hanya kelompok milenial. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Kaspersky
Lab, yang antara lain melaporkan: 91.2% warga AS setuju bahwa internet
sudah menjadi perpanjangan otak mereka; banyak diantara mereka yang
tenang-tenang saja walaupun sering lupa akan informasi tertentu karena
informasi itu dapat diakses dengan mudah dari internet; 50% warga India
mengakui bahwa internet sudah menjadi perpanjangan otak mereka dan menganggap
mengingat sumber informasi jauh lebih penting daripada menghafal informasi itu
sendiri.
Sama dengan amnesia dijital, efek google juga cenderung membuat
seseorang malas berpikir hingga menurunkan daya ingat dan membuat informasi yang
tersimpan di memori biologis menjadi minim. Selanjutnya, minimnya informasi yang tersedia di dalam
ingatan secara otomatis menurunkan kemampuan berpikir.
Luapan Informasi
Kemudahan menggunakan telepon
pintar untuk mengakses informasi dari internet telah membuat informasi seperti
air yang mudah diperoleh, dialirkan dan disebarluaskan. Dengan kondisi deperti
itu, sering dikatakan bahwa pengguna smartphone dapat dengan mudah tenggelam
dalam luapan informasi (information
overload) yang didefinisikan oleh Van Dijk (2012) sebagai pemerolehan
informasi yang terlalu banyak dibandingkan dengan kemampuan pengguna untuk
memproses informasi tersebut. Palladino
(2011) mengatakan bahwa luapan informasi terjadi ketika seseorang terpapar
lebih banyak informasi daripada yang dapat diproses otaknya. Fenomena ini dikenal
luas dengan istilah “paralysis of analysis” yang dipopulerkan oleh Jacoby pada tahun
1977. Dalam konteks pembelajaran, Zimmerman
(2018) menyatakan bahwa penggunaan teknologi dalam proses pendidikan sangat membantu
siswa memahami realitas kehidupan dan pekerjaan serta menjalani pendidikan berkelanjutan. Namun teknologi juga mengakibatkan
siswa mengalami kelebihan informasi.
Kelebihan informasi ini bisa memberi
dampak yang lebih merugikan dibandingkan manfaat yang diperoleh dari mata pelajaran yang digeluti. Menurut Andersen dan Palma (2012),
informasi yang berlebihan akan mengurangi rentang perhatian hingga individu
tenggelam dalam informasi tersebut dan gagal memahaminya.
Kegagalan pemahaman yang timbul dari luapan informasi dapat
digambarkan sebagai berikut. Sewaktu mencari jawaban terhadap pertanyaan
tertentu, siswa langsung dibanjiri oleh banyak sekali pilihan jawaban. Karena
begitu banyaknya pilihan, siswa cenderung memilih satu atau dua artikel yang
paling mudah dibaca (dengan alinea pendek dan kalimat-kalimat singkat), membaca
artikel tersebut sepintas untuk menemukan informasi data yang diinginkan dan mengambil
serta menggunakannya tanpa mengevaluasi kebaruan dan akurasinya. Dengan demikian,
siswa tidak memahami informasi yang diperolehnya secara holistik dan dalam
konteks tetapi hanya berupa fragmen-fragmen yang terisolasi.
Kegagalan memahami informasi secara holistik dan kontekstual
membuat siswa mudah melupakannya. Dengan demikian,
iformasi itu tidak dapat diproses lebih lanjut oleh otak untuk memperluas
pegetahuan siswa. Untuk mencegah kegagalam pemahaman ini, guru dianjurkan untuk
meminta siswa menggunakan informasi yang telah diperolehnya sebagai bahan analisis,
interpretasi dan refleksi. Hal itu dapat dilakukan melalui debat, pemecahan masalah, penulisan
makalah, pembuatan proyek, atau presentasi.
Luapan informasi yang diakibatkan oleh kemudahan mengakses
internet dengan telepon pintar diperburuk oleh kenyataan bahwa banyak informasi
yang terdapat di internet tidak kredibel. Survai Pew
Research Center (2006) mengungkapkan bahwa responden yang menganggap informasi
yang disajikan oleh media resmi sepenuhnya akurat hanya 12%; yang menganggap
sebagian besar akurat, 62%; setengah akurat, 19%; dan sebagian kecil akurat,
5%. Pada saat yang sama, informasi yang disajikan oleh situs pemerintah yang
dianggap sepenuhnya akurat hanya 17%; yang menganggap sebagian besar akurat, 56%;
setengah akurat, 18%; dan sebagian kecil akurat, 6%. Sedangkan informasi yang
disajikan oleh situs individual yang dianggap sepenuhnya akurat hanya 1%; yang menganggap
sebagian besar akurat, 8%; setengah akurat, 52%; dan sebagian kecil akurat, 36%.
Begitu banyaknya informasi di internet yang tidak kredibel, menurut Merino (2012), membuat 60% guru
yakin bahwa pencarian informasi dengan menggunakan teknologi sebenarnya
mempersulit siswa menemukan informasi yang akurat. Selain itu, 83% guru percaya
bahwa internet telah memberikan luapan informasi kepada siswa.
Untuk mencegah terjadinya luapan informasi, guru dapat membimbing
siswa menerapkan keterampilan berpikir kritis ketika mengakses informasi.
Strategi ini dapat dilakukan melalui tiga langkah. Pertama, membiasakan diri
untuk mengakses informasi secara selektif dengan cara mempertanyakan secara
kritis apakah informasi yang diakses didukung oleh fakta atau hanya berupa
opini kosong (tidak berdasar). Kedua, mempertanyakan kompetensi dan tujuan penulis,
reputasi penerbit (atau organisasi pemilik situs), dan kebaruan publikasi. Informasi
yang disajikan penulis dan penerbit abal-abal
tidak perlu diproses lebih lanjut. Ketiga, membiasakan diri untuk terlebih
dahulu membaca sekilas (scanning) konten
yang diakses untuk megidentifikasi informasi dan disinformasi dengan tujuan melihat
relevansi, validitas, dan
keandalan informasi yang diterima. Informasi
yang tidak relevan, tidak valid dan meragukan kesahihannya sebaiknya diabaikan.
Selain membantu para siswa mencegah luapan informasi, ketiga langkah tersebut
juga akan mengembangkan keterampilan berpikir kritis mereka.
Multitasking
Multitasking atau melakukan beberapa aktivitas pada
saat yang sama merupakan efek negatif lain yang bisa muncul dari penggunaan
telepon pintar dalam pembelajaran. Dewasa ini, merupakan hal yang lazim bagi
sebagian siswa mengerjakan tugas sekolah sambil mendengarkan
lagu dan chatting di media sosial. Penelitian Common
Sense Media (2015) melaporkan bahwa separuh dari remaja yang disurvai
menyatakan mereka menonton TV atau menggunakan melalui media sosial ketika
mengerjakan pekerjaan rumah (PR). Sebanyak 60% menyatakan mereka mengirim teks
pesan melalui media sosial sambil mengerjakan PR. Sebanyak 2/3 dari remaja yang
melakukan multitasking itu yakin bahwa menonton TV dan menggunakan media sosial
sama sekali tidak mengurangi kualitas PR yang mereka kerjakan.
Padahal, dalam realita, multitasking pasti mengakibatkan perhatian terbagi atau gagal fokus. Penelitian di bidang neurosains mengungkapkan otak manusia tidak didisain untuk melakukan lebih dari satu hal pada satu waktu. Dalam pembelajaran, multitasking membuat siswa tidak dapat
memusatkan perhatian terhadap tugas sekolah yang sedang dikerjakan atau tidak
dapat secara efektif memahami informasi yang sedang dipelajari. Dalam jangka
panjang, multitasking dapat memperrendah capaian pembelajaran. Penelitian Demirbilek
dan Talan (2018) mengungkapkan bahwa penggunaan media sosial ketika sedang
melaksanakan pembelajaran mengurangi kapasistas berpikir siswa dan
mengakibatkan capaian akademik yang rendah. Seorang ahli neurosains dari MIT, Miller (2016) menegaskan bahwa multitasking mengurangi produktivitas, memicu kesalahan, dan mencegah pemikiran kreatif.
Multitasking tidak terjadi hanya ketika siswa
mengerjakan PR atau sedang berupaya memahami topik tertentu tetapi juga ketika
mereka sedang mengakses informasi. Sebagai contoh,
ketika siswa sedang mencari informasi tentang "Ibu Kota Baru Indonesia", notifikasi media sosialnya berbunyi. Dia lalu mengakses media sosial tersebut dan chatting di sana sambil terus mencari informasi tentang ibu kota baru. Akibatnya, perhatiannya terhadap pencarian informasi
menjadi terbagi.
Untuk mencegah multitasking yang timbul dari
penggunaan telepon pintar, guru perlu mengingatkan siswa untuk melakukan
langkah-langkah berikut. Pertama, semua notifikasi media sosial dimatikan
sewaktu perangkat telepon digunakan untuk belajar. Kedua, sebelum mengakses
informasi, tetapkan informasi yang akan dicari dan berapa lama hal itu
dilakukan, dan patuhi apa yang sudah ditetapkan. Ketiga, matikan telepon ketika
aktivitas pembelajaran tidak membutuhkannya.
Perlu ditambahkan bahwa semua dampak negatif yang dijelaskan di atas tidak terjadi hanya kepada kalangan pelajar, tetapi juga para guru dan orang tua. Oleh karena itu, langkah-langkah pencegahan yang disarankan di atas juga perlu dipraktikkan oleh guru dan orang tua. Selain untuk menghindarkan diri dari efek-efek negatif tersebut, praktik yang dilakukan guru dan orang tua akan menjadi teladan, dan pengajaran yang paling efektif adalah melali keteladanan. *****
Apa pandangan Anda tentang uraian dalam artikel ini? Silahkan tuliskan pendapat Anda pada bagian "Comments" di bawah ini.
Perlu ditambahkan bahwa semua dampak negatif yang dijelaskan di atas tidak terjadi hanya kepada kalangan pelajar, tetapi juga para guru dan orang tua. Oleh karena itu, langkah-langkah pencegahan yang disarankan di atas juga perlu dipraktikkan oleh guru dan orang tua. Selain untuk menghindarkan diri dari efek-efek negatif tersebut, praktik yang dilakukan guru dan orang tua akan menjadi teladan, dan pengajaran yang paling efektif adalah melali keteladanan. *****
Apa pandangan Anda tentang uraian dalam artikel ini? Silahkan tuliskan pendapat Anda pada bagian "Comments" di bawah ini.
Comments
Post a Comment