Image Credits: https://blog.commlabindia.com/elearning-design/online-learning-elements-effective-journey-infographic |
Naskah ini merupakan bagian keempat dari Modul 1 yang digunakan dalam Pelatihan Membangun Blended Learning yang diselenggarakan oleh FKIP UKI pada tanggal 20 Juli-4 Agustus 2020. Bagian pertama dapat diakses di sini, bagian kedua di sini, dan bagian ke tiga di sini.
Pada bagian 1 Modul ini telah dijelaskan bahwa BL pada hakikatnya merupakan metode pembelajaran. Sama dengan metode pembelajaran konvensioal yang didisain dengan cara mengintegrasikan empat komponen utama yang terdiri dari kurikulum, siswa, dosen dan infrastruktur pendukung (ruangan kelas, laboratorium, lapangan percobaan, dll), BL juga dibentuk oleh empat komponen tersebut. Namun, karena BL memadukan unsur-unsur F2FL dan OL, maka keempat komponen pembelajaran pembangun BL adalah kombinasi dari komponen F2FL dan OL. Dengan asumsi bahwa pembaca sudah mengenal komponen pembelajaran F2FL karena sudah terbiasa menyelenggarakannya, pembahasan dalam modul ini lebih difokuskan pada unsur pembelajaran OL sebagai bagian komponen BL, yang terdiri dari kurikulum, teknologi, siswa, dan guru.
Kurukulum
Kurikulum mengacu pada sekumpulan pelajaran dan konten akademik yang menjadi landasan pembelajaran dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Sebagai landasan atau pedoman bagi pelaksanaan pembelajaran, kurikulum biasanya mencakup unsur (1) tujuan yang akan dicapai; (2) hasil pembelajaran (learning outcome) atau produk yang menjadi indikator pencapaian tujuan; (3) isi (konten) yang harus dipelajari untuk mencapai tujuan; (4) sumber-sumber untuk memperoleh konten; (5) strategi dan metode yang akan diimplementasikan untuk mempelajari konten; (6) aktivitas pembelajaran yang akan dilaksanakan siswa untuk mempelajari konten; (7) prosedur dan jadual pelaksanaan aktivitas; (8) media dan peralatan yang diperlukan; (9) bentuk dan prosedur penilaian untuk mengukur ketercapaian tujuan; dan (10) hal-hal lain yang diatur dalam silabus. Seluruh unsur itu “diramu’ sedemikian rupa sehingga isi, sumber, strategi dan metode, aktivitas, media, prosedur, alokasi waktu, dan penilaian benar-benar terintegrasi untuk mencapai tujuan pembelajaran.
Kurikulum mengacu pada sekumpulan pelajaran dan konten akademik yang menjadi landasan pembelajaran dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Sebagai landasan atau pedoman bagi pelaksanaan pembelajaran, kurikulum biasanya mencakup unsur (1) tujuan yang akan dicapai; (2) hasil pembelajaran (learning outcome) atau produk yang menjadi indikator pencapaian tujuan; (3) isi (konten) yang harus dipelajari untuk mencapai tujuan; (4) sumber-sumber untuk memperoleh konten; (5) strategi dan metode yang akan diimplementasikan untuk mempelajari konten; (6) aktivitas pembelajaran yang akan dilaksanakan siswa untuk mempelajari konten; (7) prosedur dan jadual pelaksanaan aktivitas; (8) media dan peralatan yang diperlukan; (9) bentuk dan prosedur penilaian untuk mengukur ketercapaian tujuan; dan (10) hal-hal lain yang diatur dalam silabus. Seluruh unsur itu “diramu’ sedemikian rupa sehingga isi, sumber, strategi dan metode, aktivitas, media, prosedur, alokasi waktu, dan penilaian benar-benar terintegrasi untuk mencapai tujuan pembelajaran.
Dalam konteks pembuatan kurikulum BL, guru bisa menempuh satu dari
dua cara berikut. Pertama, memulai dari awal, sehingga hasilnya benar-benar mengintegrasikan
element terbaik F2FL dan OL. Namun cara ini memerlukan waktu yang panjang
karena menyusun kurikulum melibatkan banyak unsur. Kedua, mengadopsi atau
memodifikasi kurikulum F2FL yang telah biasa digunakannya menjadi kurikulum BL.
Pengadopsian itu diawali dengan analisis terhadap kurikulum tersebut untuk memutuskan
komponen dan aktivitas apa dalam yang paling pas untuk tetap diselenggarakan
melalui F2FL dan komponen atau aktivitas apa yang paling cocok dilakukan di
LMS. Agar dapat melakukan analisis tersebut, guru harus terlebih dahulu
mengetahui fitur-fitur yang terdapat di lingkungan LMS. Pengetahuan tersebut
menjadi landasan bagi guru untuk memutuskan dengan pasti bahwa aktivitas X
lebih cocok dilakukan dalam LMS, sedangkan aktivitas Y dan Z paling sesuai
dilakukan dalam F2FL. (Pertimbangan-pertimbangan yang lebih lengkap dan rinci,
yang diperlukan dalam merancang kurikulum BL akan dibahas dalam Modul 3 “Merancang Kelas BL”.)
Teknologi
Dalam BL, teknologi mengacu pada perangkat lunak (software) yang digunakan sebagai lingkungan belajar OL, yang mencakup fungsi kelas, perpustakaan, dan kantor sekaligus. Karena semua aktivitas pembelajaran dalam jaringan diatur melalui perangkat lunak ini, dia sering disebut sebagai learning management system (LMS). Dengan kata lain, LMS merupakan tempat (space) yang digunakan sebagai pusat pembelajaran sehingga semua elemen pembelajaran terintegrasi.
Dalam BL, teknologi mengacu pada perangkat lunak (software) yang digunakan sebagai lingkungan belajar OL, yang mencakup fungsi kelas, perpustakaan, dan kantor sekaligus. Karena semua aktivitas pembelajaran dalam jaringan diatur melalui perangkat lunak ini, dia sering disebut sebagai learning management system (LMS). Dengan kata lain, LMS merupakan tempat (space) yang digunakan sebagai pusat pembelajaran sehingga semua elemen pembelajaran terintegrasi.
Pemusatan itu sangat diperlukan agar pembelajaran berlangsung
efektif karena elemen-elemennya tidak berserakan di berbagai tempat. Survei
yang dilakukan Pardede (2020) mengungkapkan hanya 15% OL yang dilaksanakan di Jakarta dan
Sekitarnya selama wabah COVID 19 yang menggunakan
LMS. Mayoritas (85%) pembelajaran hanya dilakukan melalui WhatsApp (WA) dengan
atau tanpa dikombinasi dengan software
lain, seperti e-mail, YouTube, Zoom, dll. Akibatnya, pembelajaran tidak
terintegrasi. Sebagian guru,
misalnya, hanya mengirim tugas melalui WA dan siswa mengirim via email, namun
tidak ada umpan balik. Pembelajaran seperti itu membuat komunikasi, saran,
petunjuk, atau atau umpan hampir tidak ada. Dampaknya, siswa merasa terisolasi,
bingung dan tertekan.
Di sekolah yang telah “mapan” dalam penyelenggaraan BL, LMS yang digunakan
setiap guru biasanya sudah terintegrasi dengan sistem Teknik informasi dan
Komunikasi (TIK) sekolah, sehingga semua data yang diperlukan oleh academic information system (AIS),
seperti pelaksanaan pembelajaran, capaian pembelajaran siswa, dan sebagainya
secara otomatis ditarik dari dari LMS.
Untuk membangun LMS sendiri tentu diperlukan investasi, rancangan
yang sesuai dengan kebutuhan pembelajaran, dan biro khusus yang melayani semua
kelas penyelenggara BL. Untuk sekolah yang baru memulai BL lebih disarankan
untuk menggunakan aplikasi atau software
yang tersedia banyak di internet. Beberapa aplikasi yang populer termasuk Edmodo, Perusall, Moodle, BookWidgets, Khan Academy, Schoology, Google Classroom. Sebagian dari aplikasi itu ada yang
berbayar, namun banyak juga yang gratis. Masing-masing aplikasi tersebut memiliki
kelebihan dan kekurangan. Untuk memulai, penulis menyarankan untuk menggunakan Edmodo karena aplikasi ini memiliki fitur yang lengkap untuk berfungsi sebagai kelas,
kantor, dan perpustakaan sekaligus. Selain itu, aplikasi ini mudah digunakan dan
tampilannya mirip dengan Face Book
Berikut ini adalah berbagai kelebihan yang dimiliki Edmodo sehingga aplikasi ini sering disarankan untuk digunakan sebagai LMS: (1) dirancang sebagai closed group collaboration sehingga hanya anggota kelas (dan orang tua) atau yang memiliki group code saja yang dapat masuk dan mengikuti kelas; (2) tersedia secara gratis sehingga pengguna tidak perlu mengeluarkan biaya iuran penggunaan; (3) dapat diakses dengan menggunakan desktop/laptop maupun mobile phone (android dan iPhone); (4) tidak memerlukan server di sekolah; (5) terus dimutakhirkan oleh pengembang; (6) dapat diaplikasikan dalam satu kelas, satu sekolah, antar sekolah dalam satu kota/ka-bupaten; (7) memiliki fitur forum diskusi, perpustakaan, peralatan kuis dan tes; (8) dapat digunakan untuk mendukung model team teaching, co-teacher, dan teacher collaboration; (9) difasilitasi dengan notifikasi; dan (10) memiliki fitur Badge yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan motivasi siswa
Berikut ini adalah berbagai kelebihan yang dimiliki Edmodo sehingga aplikasi ini sering disarankan untuk digunakan sebagai LMS: (1) dirancang sebagai closed group collaboration sehingga hanya anggota kelas (dan orang tua) atau yang memiliki group code saja yang dapat masuk dan mengikuti kelas; (2) tersedia secara gratis sehingga pengguna tidak perlu mengeluarkan biaya iuran penggunaan; (3) dapat diakses dengan menggunakan desktop/laptop maupun mobile phone (android dan iPhone); (4) tidak memerlukan server di sekolah; (5) terus dimutakhirkan oleh pengembang; (6) dapat diaplikasikan dalam satu kelas, satu sekolah, antar sekolah dalam satu kota/ka-bupaten; (7) memiliki fitur forum diskusi, perpustakaan, peralatan kuis dan tes; (8) dapat digunakan untuk mendukung model team teaching, co-teacher, dan teacher collaboration; (9) difasilitasi dengan notifikasi; dan (10) memiliki fitur Badge yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan motivasi siswa
Siswa
Penelitian
terkini menunjukkan bahwa keterlibatan dan keaktifan siswa merupakan syarat
utama untuk mensukseskan pembelajaran, termasuk BL. Selain itu, sebagaimana
telah dijelaskan sebelumnya, BL dilandaskan pada konstruktivisme yang
mengharuskan siswa terlibat aktif secara personal (tidak dapat diwakilkan)
dalam proses pembelajaran. Untuk menjamin keterlibatan dan keaktifan itu, siswa
perlu memahami lingkungan LMS yang digunakan, bagaimana mengoperasikannya, dan
tata-cara yang tepat untuk beraktivitas di sana. Fakta bahwa siswa saat ini
merupakan generasi Z yang secara umum merupakan “tech-savy” atau terampil menggunakan teknkologi sangat membantu.
Dengan petunjuk minimal mereka biasanya dapat segera menguasai tata cara
menggunakan sebuah perangkat lunak. Akan tetapi, kemudahan menggunakan
teknologi itu tidak selalu berbanding lurus dengan komitmen untuk mengikuti
pembelajaran berbasis teknologi. Mereka tetap memerlukan orientasi, bimbingan,
dan motivasi dalam melakukan pembelajaran di LMS. Sehubungan dengan itu,
menempatkan aturan dan panduan singkat dan mudah dipahami di LMS, sehingga
siswa dapat mengaksesnya setiap saat perlu dilakukan.
Setiap
kelas pada dasarnya diselenggarakan untuk siswa. Oleh karena itu, indikator
pertama keberhasilan sebuah kelas adalah keberhasilan siswa mencapai tujuan
pembelajaran. Agar dapat mengikuti BL secara
optimal, siswa tentu saja harus memiliki peralatan dan jaringan internet yang
baik untuk mengakses LMS, memahami tujuan, hasil dan kriteria keberhasilan pembelajaran,
dan terlibat secara aktif dalam setiap aktivitas pembelajaran sesuai dengan
prosedur yang ditetapkan.
Kepemilikan peralatan dan jaringan internet yang baik untuk mengakses
LMS merupakan pra-syarat agar siswa dapat mengikuti pembelajaran. Salah satu
faktor utama yang membuat pembelajaran daring tidak berjalan di berbagai
wilayah di Indonesia selama pemberlakuan pembelajaran daring di masa wabah
COVID 19 adalah ketidaktersediaan peralatan (desktop/laptop/smartphone)
dibanyak keluarga. Faktor lainnya adalah sinyal internet yang ‘lemot’, yang
membuat aktivitas pembelajaran berlangsung sangat lambat dan melelahkan. Tanpa peralatan
dan jaringan internet yang baik, pembelajaran di LMS akan gagal memfasilitasi
pembelajaran, bahkan akan menambah masalah bagi siswa.
Karena kurikulum
merupakan cetak biru pembelajaran, selain guru, siswa juga harus benar-benar
memahaminnya. Dengan memahami tujuan dan tolok ukur keberhasilan yang digunakan
dalam pembelajaran, misalnya siswa akan turut merasa memiliki dan
bertanggungjawab atas keberhasilan pembelajaran tersebut. Oleh karena itu guru
perlu mendiskusikan isi silabus dengan siswa sebelum, selama, dan setelah
pembelajaran. Diskusi tersebut akan membantu para siswa mengetahui apa yang dipelajari,
mengapa mereka mempelajarinya, berapa banyak waktu yang diperlukan, dan
bagaimana cara setiap siswa mengetahui apakah dia sudah di jalur yang tepat
menuju keberhasilan atau tidak. Untuk memicu diskusi seperti itu, guru, sebagai
contoh, dapat mengajukan pertanyaan-pertanyaan berikut. (1) Menurut kamu, apa
maksud sasaran pembelajaran ini? (2) Bagaimana cara mengetahui bahwa kamu sudah
mencapai sasaran itu? (3) Mengapa topik ini perlu kamu pelajari? (4) Apakah
sasaran ini terkait dengan apa yang sudah kamu pelajari? Singkatnya, pemahaman
siswa atas silabus akan mendorongnya memusatkan perhatian dan upaya untuk
mencapai target pembelajaran.
Guru
Berbeda dengan peran guru dalam F2FL yang bersifat sentral bahkan
sering menjadi sumber utama pengetahuan dan sekaligus model bersikap dan
berperilaku, dalam BL guru lebih berperan sebagai fasilitator, manajer dan
pembimbing pembelajaran. Dalam BL, guru tidak lagi menjadi sumber utama
pengetahuan karena siswa sudah menjadi ‘pencipta’ pengetahuan yang aktif, yang
memperoleh informasi dalam jumlah tak terbatas dan dalam berbagai jenis format
melalui internet. Meskipun perannya tidak lagi sebagai sumber pengetahuan dan
model, guru tetap berperan penting karena tanpa guru BL tidak akan berlangsung.
Sebagai fasilitator, guru mendisain kutikulum terbaik bagi siswanya. Sebagai
manajer, guru meneliti dan menyiapkan berbagai sumber dan media pembelajaran
yang selaras dengan kurikulum, sesuai dengan lingkungan F2FL dan OL, serta
menarik bagi siswanya. Sebagai pembimbing, guru mengarahkan siswa melaksanakan
aktivitas pembelajaran sesuai dengan prosedur dan memotivasi mereka ketika
dibutuhkan.
Sebagai fasilitator, manajer, dan pembimbing yang merancang dan
menyelenggarakan BL, guru tentu saja harus menguasai
mata pelajaran yang diampu dan memiliki kompetensi pedagogi, menguasai
keterampilan literasi TIK dasar, dan memahami
prinsip-prinsip OL dan karakteristik LMS yang digunakan. Pemahaman atas prinsip-prinsip
OL dan dan karakteristik LMS, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, akan
memampukan guru menganalisis dan menempatkan komponen serta aktivitas yang
paling pas untuk diselenggarakan melalui F2FL maupun OL. Guru juga harus serta kesiapan untuk mengembangkan keterampilan menggunakan
berbagai software untuk memperkaya media dan aktivitas pembelajaran.
Selain itu, karena sebagian aktivitas pembelajaran akan berlangsung dalam
jaringan internet, membiasakan diri untuk lebih “berlama-lama” terkoneksi
melalui internet merupakan kebutuhan.
Referensi
American Management
Association. (2019). Critical Skills Survey: Workers Need Higher Level Skills
to Succeed in the 21st Century. Diunduh dari:
https://www.amanet.org/articles/ama-critical-skills-survey-workers-need-higher-level-skills-to-succeed-in-the-21st-century/
Allen, I. E., Seaman, J.,
& Garrett, R. (2007). Blending in: The extent and promise of blended
education in the United States. Needham, MA: Sloan Consortium. Retrieved from
http://sloanconsortium.org/sites/default/files/Blending_In.pdf
Anderson, L. W.,
Krathwohl, D. R. (2001). A taxonomy for learning, teaching, and assessing: A
Revision of Bloom’s Taxonomy of Educational Objectives. New York: Longman.
Barton, C. (2018). How I
Wish I'd Taught Maths: Lessons learned from research, conversations with
experts, and 12 years of mistakes. Woodbridge: John Catt Educational Ltd.
Bluic, A-M., Goodyear, P.,
and Ellis, R. (2007). ‘Research focus and methodological choices in studies
into students’ experiences of blended learning’. Internet and Higher Education,
10: 231 -244.
Carr, N. (2017). How
Smartphones Hijack Our Minds. The Wall street Journal. Diunduh dari
https://www.wsj.com/articles/how-smartphones-hijack-our-minds-1507307811
Cropley, A.J. (2001).
Creativity in education and learning: a guide for teachers and educators.
London: Kogan Page Ltd.
Dede, C. (2009). Comparing
frameworks for “21st century skills.” In J. Bellance & J. R. Brandt (Eds.),
21st century skills: Rethinking how students learn (pp. 51 –76). Bloomington,
IN: Solution Tree Press.
Elearnspace (2005).
Blended. Retrieved March 21, 2010, from http://www.
elearnspace.org/doing/blended.htm
Fisher, D. dan Kusumah,
Y.S. (2018). Developing student character of pre-service mathematics teachers
through blended learning. Journal of Physics: Conference Series, Volume 1132.
Garnder, H. (1993)
Multiple Intelligences, New York: Basic Books.
Grey, A. (2016). The 10
skills you need to thrive in the Fourth Industrial Revolution. Diunduh dari
https://www.weforum.org/agenda/2016/01/the-10-skills-you-need-to-thrive-in-the-fourth-industrial-revolution/
Gupta, P. (2016). Some
Interesting Statistics & Facts on Blended Learning You Must Know. Edtech
Review. Diunduh dari
https://edtechreview.in/data-statistics/2506-blended-learning-in-the-classroom-statistics-research#:~:text=
Indartono, S. (2011). The
Effect of E-Learning on Character Building: Proposition for Organizational
Behavior Course. Jurnal Pendidikan Karakter, 1(1).
Kenney, J. and Newcombe,
E. (2011). Adopting a Blended Learning Approach: Challenges Encountered and
Lessons Learned in an Action Research Study. Journal of Asynchronous Learning Networks,
15(1)
Lai, Y., K. (2009).
Assessing students’ Critical Thinking Performance: Urging for measurements
using multi-response format. Thinking Skills and Creativity, 4(1), 70-76. DOI:
https://doi.org/10.1016/j.tsc.2009.02.001
Loyens, S., Rikers, R.,
and Schmidt, H. (2009) Students’ Conceptions of Constructivist
Mackay, S. &
Stockport, G.J. (2006). Blended Learning, Classroom and ELearning. Business
Review, Cambridge, 5(1)
Osguthorpe, R.T. &
Graham, C.R. (2003). Blended learning environments, definitions and directions.
The Quarterly Review of Distance Education, 4(3), 227-233.
Pape, L., Sheehan, T.,
& Worrell, C. (2012). How to do more or less: lessons from online learning.
Learning & Leading with Technology
Papert, S. (Spring 1988).
Computer as material: messing about with time. The Teachers
Pardede, P. (2020).
Pembelajaran Berorientasi Ujian: Malpraktik Pendidikan yang Didukung di
Indonesia. Diunduh dari
https://www.weedutap.com/2020/06/pembelajaran-berorientasi-ujian-salah.
Pardede, P. (2020). Potret
Implementasi Pembelajaran Daring pada Saat COVID 19 di Jakarta dan Sekitarnya.
Diakses dari:
https://www.weedutap.com/2020/05/potret-implementasi-pembelajaran-daring.html
Partnership for 21st
Century Learning. (2011a). Framework for 21st Century Learning. Retrieved from
http://www.p21.org
Partnership for 21st
Century Skills. (2011b). Communication and Collaboration. Retrieved from
http://www.p21.org
Riel, M. & Paul, S.
(2009). Collaborative Knowledge Building: Blending In-Class and Online Learning
Formats. Distance Learning, 6(3).
Staker, H. (2011). The
Rise of K–12 Blended Learning: Profiles of Emerging Models. Innosight
Institute.
Sofie M. M. Loyens, SMM.,
Rikers, RMJP, & Schmidt, H.G. (2010). Students' conceptions of
constructivist learning Learning in Different Programme Years and Different
Learning Environments, British Journal of Educational Psychology, 79(3),
501-514. College. Record, 89(3).
Torrance, E. P. (1988).
The Nature of Creativity As Manifest in Its Testing, in Sternberg, Cambridge:
Cambridge Univ. Press.
U.S. Department of
Education’s (2010) “Evaluation of Evidence-Based Practices in Online Learning:
A Meta-Analysis and Review of Online Learning Studies.
Watson, J. (2008). Blended
learning: The convergence of online and face‐to‐face education. The North
American Council for Online Learning.
Yulianti dan Kusumawaty (2020). The Blended Learning for Student’s Character Building. Proceedings of the International Conference on Progressive Education (ICOPE 2019)
Yulianti dan Kusumawaty (2020). The Blended Learning for Student’s Character Building. Proceedings of the International Conference on Progressive Education (ICOPE 2019)
Comments
Post a Comment