Skip to main content

Papa, Sayangilah aku, mama, dan adik.


Papa, Sayangilah aku, mama, dan adik.

(Cerita Pendek)
Karya: Taruli M.P.

Bermata sipit, kulit putih, bicara cadel dan berambut pirang, dialah murid lelaki pertamaku yang penuh istimewa. He is Kevin.

Pas pukul 07.00. Bel tanda masuk bordering. Pembelajaran segera dimulai. Anak-anak berbaris di halaman sesuai dengan kelompok mereka: TK-A dan TK-B. Sekitar 30-45 menit di luar, anak-anak masuk ke dalam kelas. Kami berdoa bersama lalu bernyanyi. Alat-alat peraga sudah aku tempel di papan tulis. Baru hendak menjelaskan sebuah gambar, pintu kelas diketuk.
Tok tok tok. “Excuse me, Miss!”
Kuhampiri pintu dan membukanya.
“Good morning, Miss. Sorry we come late. Today is supposed to be Kevin therapy, but there is problem. In the middle of the road, I have to make a u turn. His dad called telling we couldn’t go to Bandung. So, I thought instead of Kevin at home, I would just go to school. Can Kevin still participate in school activities, Miss?”
“Oh sure, Mom! Kevin, come in dear!”
“Thank you, Miss. I have to leave now. I have to hurry home. Bye, Kevin! Enjoy your day, son!”
Mama Kevin pergi, pintu pun aku tutup kembali. Ya, Kevin anak istimewa. Dalam satu minggu ia pasti tidak masuk sekolah karena harus terapi atau berobat.
Kevin masih saja berdiri di sampingku setelah pintu tertutup. Perlahan aku mengajaknya untuk menaruh tasnya ke dalam loker kelas, ia seolah menolak, seperti mau kabur dari kelas. Perlahan kuambil tas yang ada di punggungnya, kugandeng tangannya dan mengajaknya duduk di kursinya.
“Kevin, sit down please!” Kevin duduk tanpa menoleh ke kanan maupun ke kiri. Kevin anak yang istimewa di kelasku. Selama aku mengajar di tingkat TK, Kevin adalah anak murid laki-lakiku yang pertama, yang harus diberi perhatian ekstra. Kevin anak berkebutuhan khusus yang memiliki Down Syndrome tetapi cenderung aktif. Dalam psikologi disebut Asperger Syndrome. Anak Asperger Syndrome tidak mengalami keterlambatan bahasa, tetapi tidak semua peristiwa diresponnya. Ia hanya merespon hal-hal yang di anggapnya menarik.
Ketika berkomunikasi, biasanya Kevin hanya menunduk dengan ekspresi dingin seperti mau marah. Ketika ia melirik ke arah kita, maka kita hanya akan melihat bola matanya yang putih saja. Anak-anak tidak ada yang mau mendekatinya. Kasihan sekali Kevin. Aku membiarkan Kevin sejenak dan melanjutkan memberi penjelasan kepada 11 anak murid lainnya. Selesai memberi penjelasan, aku memberi kegiatan kepada mereka untuk dikerjakan pada buku gambar. Semua fokus sambil sesekali mengobrol satu dengan yang lainnya untuk memberitahu jika mereka bisa membuat gambar yang lebih bagus.
Aku menoleh pada Kevin. Ia masih menunduk pada kursinya seperti patung yang bergoyang-goyang maju mundur sambil memutar-mutar kedua jari telunjuk pada tangannya seolah-olah sedang menggulung-gulung benang. Sedikitpun ia tidak menyentuh buku kegiatannya. Aku berdiri dan berkeliling dari satu meja ke meja lainnya untuk melihat 11 murid lain. Selesai menggambar binatang yang mereka suka, aku memberikan potongan kertas bekas untuk mereka tempel pada gambar yang mereka buat. Ya, hari ini anak-anak menempel mozaik kertas pada permukaan gambar binatang. Anak-anak hanyut dalam keseriusan menempel mozaik. Kuhampiri Kevin, kuelus-elus kepalanya, lalu kuputar bangkunya menghadapku yang sudah dalam posisi berjongkok.
“Kevin yang Miss sayang, why haven’t you stuck to it like your friends? Let Miss help you, dear!”
Tiba-tiba Kevin menarik tanganku dan menggigit pergelangan tanganku. Aduh! Aku meringis kesakitan.
“Kevin, please, let go off the Miss hand. It’s sick!” sontak anak-anak yang lain datang menghampiri dan berteriak “Kevin! Let go off the Miss hand! How sick Miss!” kelas pun menjadi gaduh dengan teriakan. Kevin pun melepaskan tanganku kemudian mendorongku hingga terjatuh. Ia pun berlari ke arah pintu seperti ketakutan. Aku mengambil tisu dan mengelap tanganku bekas gigitan Kevin lalu mengolesi dengan Zambook. Hmm… Hari ini pergelangan tanganku ada tato biru lebam dari bekas gigitan Kevin.
Kuhampiri anak-anak yang lain dan menyuruh melanjutkan tugas mereka. “Miss, Why Kevin is bad today?” tanya Oline.
“Yeah, there is a miss on hand!” kata Vicky.
Sstt.. It’s ok, Kevin is not naughty. He’s just sad because today he came late. So you guys continue again!” anak-anak pun kembali ke kursinya masing-masing.
Kuhampiri kembali Kevin, kurangkul pundaknya sambil berkata, “Kevin, you don’t stuck it today. You can play first,  ok! Now you can go to the art corner to play blocks or puzzle. Come on, Join me!” Kevin pun menurut dan memainkan lagi jari-jarinya seperti menggulung benang. Seolah tak menghiraukannya, aku duduk di depannya sambil mencoba membuat sebuah bangunan dari potongan-potongan balok. Sedikit-sedikit ia melirikku.
“Wow, I want to make a Monas tower, do you want to?” Kevin akhirnya mau mengambil potongan-potongan balok. Ia mulai membuat sesuatu. Ku elus-elus kepala hingga ke tengkuknya sambil berkata, “I knew Kevin is smart and good kid, and will make Mom and Dad proud of Kevin.” Tanpa merespon apa-apa aku melihat Kevin makin hanyut dengan potongan-potongan balok tersebut seperti ingin membuat sebuah bangunan yang lebar dan kokoh. “Enjoy playing, Vin. Miss wants to see your friends first, Ok?” Aku pun bergegas beranjak untuk melihat yang 11 murid lainnya.


Image Credit: https://www.sandfield-day-nursery.co.uk/encouraging-your-child-to-bring-nursery-school-skills-home-a-how-to-guide
Jauh di lubuh hati yang paling dalam, aku sungguh bersyukur bisa mendapatkan kepercayaan untuk mendidik Kevin walau hanya hitungan 5 jam di sekolah. Mengapa? Ini adalah pengalaman keduaku untuk mendidik dengan penuh tantangan. Aku bersyukur karena Tuhan juga sangat adil dengan memberikan Kevin teman-teman sekelas yang penuh pengertian. Mereka sangat mengerti kevin butuh perhatian ekstra hingga mereka tidak ada yang membuat keributan, atau rebutan mainan apalagi iseng. Sungguh anak-anak yang manis.
Petok! Sebuah balok kayu ukuran 7 x 9 cm mengenai kepalaku. Aduh! Sakit sekali. Pas di tulang pelipis, untung tidak kena bola mata. Yang paling kusyukuri, balok itu tidak mengenai teman-temannya. Seandainya kena murid lain, waduh bisa rame dan kena panggil Kepala Sekolah deh. Yang pasti akan panjang ceritanya. Bisa jadi orang tua akan protes dan mengatakan Kevin bisa jadi ancaman buat anak-anak mereka. Mungkin juga Kevin akan disuruh pindah ke sekolah lain.
Mungkin banyak yang bertanya, jika Kevin Asperger Syndrome, mengapa ia boleh bersekolah di sekolah umum? Jawaban terbaiknya, menurut psikolog yang menangani terapi Kevin, ia harus sering berinteraksi dan berkomunikasi dengan teman sebayanya yang normal. Itu baik untuk perkembangannya, karena Kevin bisa terangsang dan termotivasi untuk bisa seperti teman-temannya.
Kevin pada saat itu tidak menunduk, ia justru menatapku tanpa berkedip saat aku meringis kesakitan. Semua teman-temannya yang lain langsung berlindung di belakangku. Mereka ketakutan kena lemparan balok yang lain. Dalam satu hari aku sudah dua kali kena serangan Kevin. Mataku berkaca-kaca menahan tangis karena kesakitan. Hu..hu..hu.. pelipisku benjol, biru lebam, ada apa lagi ini?
Agar tidak menyusul serangan berikutnya, aku langsung berdiri menghampiri dan memeluk Kevin. Entahlah, aku sangat terbeban dengan keadaan Kevin. Meskipun pada hari itu aku belum menjadi Ibu, tapi memang dari dulu aku menyukai anak-anak kecil, jadi naluri keibuan itu seolah-olah sudah ada dalam diriku. Tumben sekali Kevin tidak menunduk, ia justru menatapku terus.
Sambil ku peluk aku bertanya, “What happen to you, Kevin? Oh, it’s a long time to let you play alone, huh? I’m sorry dear, I was wrong. But Kevin also can’t be selfish. Your friends also need Miss, Ok, now we play with your friends. Ready?” kulepaskan perlahan pelukanku dan kupanggil murid-murid yang lain.
Saat itu meskipun tubuh kecilku sangat keberatan untuk memangku Kevin, hal itu tetap aku lakukan agar Kevin merasa nyaman. Wangi shampoo baby di kepalanya dan aroma baby cologne di tubuhnya membuatku nyaman juga, dan teringat aroma yang sama bila memangku keponakanku di rumah. Kevin akhirnya mau juga bermain balok bersama teman-temannya. Sesekali aku melihat ia melirik teman-temannya satu persatu.
Waktu bermain usai. Sekarang adalah waktunya untuk istirahat. Kami berdoa bersama, lalu berbaris untuk cuci tangan di wastafel luar. Sambil bernyanyi kami berjalan sambil memegang pundak seperti kereta api. Usai mencuci tangan kami buat barisan lagi seperti semula untuk masuk ke kelas. Di saat makan. Aku snegaja mengambil posisi duduk tepat di sebelah Kevin. Aku takut aja terjadi lagi hal yang tidak diinginkan. Di kelas aku sengaja membuat susunan meja dan kursi setengah lingkaran. Mengasuh 12 orang murid lumayan lelahnya, terlebih ada Kevin, tetapi harus dinikmati. Kevin hanya melihat makanannya dan menunduk. Hari ini ia bawa bekal roti tawar yang diberi selai strawberry dan dipotong kotak-kotak kecil. Aku suapin satu per satu dan ia mau. Selesai makan, waktunya baca cerita dongeng. Aku duduk di kursi murid, Kevin duduk di sebelahku dan anak-anak yang lain di atas karpet menghadapku. Tiga puluh menit bercerita, ada tanya jawab dan mendengarkan celoteh atau komentar anak-anak membuat waktu berangsur cepat juga.
Bel tanda sekolah usai pun berbunyi. Anak-anak mengambil tas mereka lalu duduk rapih kembali di kursi masing-masing. Menyanyikan lagu pentup dan berdoa pulang. Tanpa disuruh mereka berbaris dan menyalamiku. Di depan gerbang halaman para penjemput sudah stand by. Semua sudah dijemput kecuali Kevin. Kugenggam erat tangan Kevin dan kembali kubawa ia ke kelas. Aku suruh ia duduk, kami saling berhadapan. Kevin, I want to pray for you, can you follow me? It’s ok, right? Now we close our eyes..” sebuah mujizat ia menunduk dan menutup mata. Aku berdoa bersuara, dan ia mengikuti kata-kataku. Tak banyak yang kuucapkan pada Tuhan, hanya seperti doa anak kecil.
“Tuhan, ini Kevin. Kevin tetap mau jadi anak yang baik, pintar, penurut dan sayang Mama, Papa, juga adik. Tuhan, Kevin tahu Tuhan akan menolong Kevin. Terima kasih Tuhan, Amin.”
Ketika selesai berdoa, kembali kuelus kepalanya sambil berkata, “Tuhan jamah dan tolong Kevin selalu.” Entahlah, sepertinya itu kalimat yang dari Tuhan, hati kecilku selalu ingin melakukan hal itu dan mengucapkan kata-kata itu selalu pada Kevin.
“Kita tunggu Mami jemput ya, Vin. Kena macet mungkin Mami Kevin. Sabar ya. Yuk temanin Miss yuk! Miss mau lihat hasil mozaik teman-teman tadi.” Kevin menurut dan duduk di depanku. “Bagus-bagus ya Vin. Rapih-rapih teman-teman menempelkan mozaiknya.”
“No, Miss. There are some that go out of line.” Wow, Kevin menanggapiku. Surprise!. Aku pura-pura tidak kelihatan kaget, seolah biasa-biasa sambil bertanya, “Ah, masa… yang mana?”
“That is, who has Adel and Mothi
“Oh iya, ada beberapa kertas yang kelewat garis ya?”
Sudah hampir satu jam Kevin belum dijemput. Ada apa ini? Tadi pagi terlambat datang dan sekarang terlambat dijemput. Semua tugas kelas hari ini selesai. Aku sudah terasa sangat lapar, dan persiapan untuk esok hari juga harus kukerjakan. Pasti ada sesuatu ini. Aku mengajak Kevin ikut ke kantor, seprtinya orang tuanya harus ditelepon karena tidak ada pemberitahuan Kevin dijemput terlambat.
Baru akan sampai ke kantor, Kavin teriak, “Miss! That’s my Mom car is coming!”
“Oh ya, it’s ok, let’s accompany Miss. Put the book first, and then we’ll meet your Mom in the parking lot, ok?” Kevin menurut dan mengikutiku. Selesai menaruh buku, aku dan Kevin menghampiri mobil mamanya. Mamanya terburu-buru menghampiri kami. Kulepas genggaman tanganku dan Kevin memeluk pinggang Mamanya.
“Aduh, Miss, saya minta maaf banget jemput Kevin telat. Sudah 1 jam lebih telatnya. Saya tadi telepon ke HP Miss tapi gak diangkat-angkat.”
“Oh iya, Mami, it’s ok. Saya gak apa-apa. Hanya kasihan Kevin aja. Harusnya udah bisa istirahat di rumah, tapi jadi terlambat dan mundur jam istirahatnya. Maaf juga di jam kerja kami memang tidak boleh menerima telepon. Telepon saya silent dan taruh di tas di kantor.
Sebenarnya saya mau minta waktu Mami sedikit, tapi karena ada Kevin di sini, dan juga kasihan udah waktunya jam tidur siang Kevin, mungkin nanti malam pukul 09.00 Mami boleh telepon saya.”
“Oh iya Miss, dengan senang hati.” Mama Kevin menjawab antusias. Aku melihat matanya sembab dan senyumnya sedikit dipaksa.
“Ok, Vin. Don’t come late tomorrow, my smart boy! I love you dear! See you tomorrow!”
“Thank you Miss. Bye bye!”
“Bye-bye, Vin. Bye Mom! Take care!”
Kevin dan Mamanya pun pulang, aku pun masuk ke kantor.
Kupakai sweaterku untuk menutupi luka gigitan Kevin dan juga benjolan di pelipisku dengan rambutku. Ah, entahlah, sebenarnya Kevin sangat membahayakan. Tapi aku separuh tertantang untuk bisa menaklukan anak ini. Aku berharap Tuhan akan mampukan aku.
Pukul 5 sore ponselku berdering. Wow, siapa gerangan? Aku langsung mengangkatnya, dan ternyata Mamanya Kevin, padahal janjian jam 7 malam.
“Miss, maaf kecepetan telepon Miss. Saya takut nanti gak bisa telepon. Ini saya lagi di luar. Tadi izin pura-pura beli obat sama orang di rumah.”
Obat? Aku bingung. Kenapa harus sembunyi-sembunyi untuk menelepon?
“Oh ya, Mom, it’s ok. Sebenarnya saya 30 menit lagi harus masuk kelas. Ini di kampus rame, jadi agak terganggu. Sebentar saya pindah tempat.” Ya aku memang bekerja sambil kuliah dan saat ini sudah di tahap semester akhir. Itulah caraku agar aku bisa bayar uang kost dan juga uang kuliah serta keperluan sehari-hari kuliah sambil mengajar.
Di sudut Gedung tangga naik dan turun kampus agak sepi, aku memilih duduk di situ.
“Iya Mom, kenapa harus sembunyi-sembunyi untuk telepon saya? Tadi sih alangkah baiknya jika ada Papa Kevin juga.”
“Ah, saya buntu Miss. Saya bingung, saya lelah!”
“Ada apa ya Mom? Maaf kalau saya lancang"
:Itulah Miss. Mertua saya marah-marah ke suami. Kata mertua saya hambur-hamburkan uang bawa Kevin ke psikolog, terapi ke dokter. Akhirnya suami saya marahin saya dan larang saya tuntasin terapi dan pengobatan Kevin.” Ya Tuhan! Saya bingung harus jawab apa. Saya belum pernah berumah tangga.
“Oh, begitu ya Mom. Mom yang sabar ya!” tiba-tiba hanya kata itu saja yang terlontar dari mulut ini.
“Iya Miss. Terima kasih. Sebenarnya Miss mau sampaikan apa?”
“Begini Mom. Hari ini sangat luar biasa. Kevin gigit lengan saya sampai luka dan biru lebam. Ia lepaskan gigitannya karena anak-anak yang lain tadi pada histeris. Lalu saya bujuk akhirnya main balok. Lama saya temanin main balok, tiba-tiba dia lempar balok kena pelipis saya dan jadinya benjol. Untungnya kena saya bukan anak-anak yang lain.”
“Ya ampun saya minta maaf Miss. Kenapa tidak bilang dari tadi?”
“Saya tidak mau Kevin jadi tertuduh. Tidak baik membicarakan mengenai anak di depannya apalagi kekurangannya. Saya jadi tahu, ternyata Kevin hari ini merasa tidak nyaman makanya Kevin marah. Saya berharap ini awal dan akhir ia menyerang. Jadi kalau bisa besok Kevin jangan terlambat. Dan saya minta tolong kalau Mama dan Papa ribut, janganlah di depan anak-anak, terutama Kevin.”
“Iya Miss, terima kasih banyak.”
“Satu lagi Mom, mengenai kejadian ini jangan dimarahin Kevinnya, apalagi dihukum.”
“Iya Miss, baik Miss.’
“Menurut pendapat saya minggu ini ikutin saja dulu maunya Papa Kevin dan mertua. Kevin tidak usah terapi dan lain-lain dulu. Cukup ke sekolah. Kalau memang memungkinkan Jumat pagi pas jam anak-anak senam, bisakah Mama dan Papa beribincang-bincang dengan saya? Atau saya yang telepon Papanya? Kalau boleh Mom?”
“Oh iya, nanti saya saja yang sampaikan.”
“Baik Mom, maaf mengganggu. Saya rasa cukup sekian ya. Saya harus masuk kelas.”
“Baik Miss. Terima kasih untuk perhatiannya.” Tut..tut..tut.. telepon putus dan aku pun masuk kelas.
Esok harinya seperti biasa kami menyambut anak-anak di depan gerbang. Kevin datang pagi hari ini. Seperti biasa ia berjalan perlahan dan menunduk. Kuhampiri sambil berjongkok, itu adalah caraku menyapa Kevin. Kuulurkan tanganku, “Morning Kevin.” Kulirik kearah matanya seperti mengadah. Kevin senyum dan jawab, “Good morning Miss!” Wow, betapa bahagianya aku melihat Kevin senyum.
“Morning Miss! Saya tinggal Kevin ya Miss.”
“Ok Mom. Don’t be late to pick up!”
Tak ada yang janggal hari itu. Kevin, meski menunduk, dia kerjakan semua tugasnya dengan baik. Ketika bermain, setelah kulihat ia melirik teman-temannya yang bermain kesana kemari. Saat jam makan, kembail kuelus-elus kepala Kevin sambil berkata, “Tuhan pasti tolong Kevin. Kevin anak pintar. Kevin akan bikin bangga Mama dan Papa.” Entahlah, aku sudah bertekat untuk selalu melakukan hal ini dan mengucapkannya seperti tercatat pada buku,
“Pikiran positif menghadirkan kebahagiaan, sukacita, kesehatan, serta kesuksesan dalan setiap situasi dan tindakan. Apapun pikiran yang kita harapkan, pikiran positif akan mewujudkannya.” (Yusrin Ahmat Tosepu)
Hari Jumat pun tiba. Dari jauh aku lihat Papa, Mama, Kevin, dan adiknya datang. Kuhampiri Kevin seperti biasa, berjongkok dan bersalaman. Ia membalas sapaanku dan tersenyum. Kutitip Kevin dan murid-murid yang lain pada teman-temanku. Kuajak Mama, Papa Kevin ke dalam kelas. Kami berdiskusi. Aku jelaskan bila Kevin harus dapat dukungan dari Papa, Mama, siapa saja yang berada di dekatnya. Dia hanya perlu support. Dalam beberapa hari ini dia begitu manis dan mau melakukan semua kegiatan. Bahkan sudah mau ikut bernyanyi. Itu hanya dalam hitungan jam. Bagaimana hitungan bulan dan akhirnya nanti satu tahun? Kevin bisa berubah dan lebih baik. Papa dan Mamanya jangan pernah ribut di depan Kevin, karena ia akan merasa ia adalah sumber masalah atau beban untuk orang tuanya.
Papa dan Mamanya hanya mengangguk-angguk. “Menurut konsultasi psikolog coba sebulan sekali aja ya Mom, kita lihat progress-nya. Untuk terapinya kita stop dulu aja, nanti di kelas saya bantu merangsang motorik kasar dan motoroik halusnya.” Mereka setuju.
Hari berganti hari, minggu dan bulan terus bergulir. Mengelus kepala sambil berkata “Kevin anak baik, anak yang pintar. Tuhan akan tolong Kevin. Kevin akan bikin bangga Papa dan Mama” terus kulakukan. Sambil bermain kulatih Kevin menggenggam, melompat, kami membaca bersama hingga akhirnya ia sekarang mau bergabung bermain bersama teman-temannya. Ia mau memanggil nama temannya dan juga memanggilku. Entah itu mau ke toilet atau minta tolong sesuatu.
Tuhan sungguh baik. Hari demi heari Kevin menunjukkan perubahannya. Ia sudah mau bernyanyi di depan kelas. Menanggapi isi cerita, bercerita jika habis pergi kemana. Ah, dahsyatnya perkembangan Kevin. Tidak akan ada pernah tahu kalau Kevin anak berkebutuhan khusus.
Suatu hari di sudut ruang beramain, aku sedang menolong Nela yang kewalahan mengikat tali sepatunya. Tiba-tiba Kevin menghampiriku.
“Miss, Kevin mau ceita boleh?”
“Yup, sure! Ayo kita ke dekat meja Miss.” Kevin duduk di sebelah meja kerja kami berhadapan.
“What happened?”
“Miss, I hate my Pap.” What?” Aku kaget, anak usia 4 tahun sudah mengungkapkan kata benci.
“Why, Vin?”
“Papa do not love me, Mom and brother. He likes to blame Mom. Papa always makes Mom cry.” Kupeluk Kevin, “No, your Papa is good, maybe he is tired, and then gets angry. Don’t be sad, dear! Everything will be alright.” Kembali ku elus kepalanya dan mengucapkan mantra positifku. Kevin menangis. Ya Tuhab. Anak 4 tahun harus menyaksikan orang tuanya ribut, apalagi dia bukan anak “normal”. Hm.. aku harus kasih tahu orang tuanya. Sudah banyak kemajuan drastis dalam diri Kevin. Berharap oang tuanya mendukung, bukan membuat anaknya jadi sedih dan minder.
Keesokan harinya tidak ada masalah. Kevin ceria dan sungguh-sungguh ia menjadi anak yang manis. Sabar menunggu giliran jika ingin sesuatu. Mau pimpin doa dan juga kadang menolong temannya yang kesakitan. Oh my, Kevin sweet child!
Penghujung tahun ajaran akan tiba. Kevin sudah mundur jadi 3 bulan sekali ke psikolog. Psikolog nya kaget karena Kevin benar-benar mengalami kemajuan pesat. Kevin ikut menari di pentas seni. Ia cepat menghafal gerakan demi gerakan. Ah, puas rasanya bisa mengenal Kevin. Pelajaran berharga yang tidak bisa kudapat di bangku kuliah. Kevin anugerah Tuhan yang indah.
Usai pentas seni, semua orang tua mengangtri di depan kelas untuk ambil raport. Sedih rasanya berpisah dengan mereka. Mereka akan lanjut ke jenjang berikutnya di sekolah ini, tetapi aku memilih pindah karena aku ingin bergabung ke instansi yang lebih besar dan menjanjikan hal yang lebih baik untuk hari depan.
Kevin sengaja ambil raport paling akhir. Untung ada Papanya ikut. Mereka berterima kasih tak terhingga. Aku hanya berpesan, seringlah memeluk, membelai dan berkomunikasi dengannya. Tidak boleh ribut, apalagi kekerasan fisik di depan anak-anak, terlebih Kevin.
“Kevin hug me please!” Kevin memelukku. Aku mengelus kepalanya dan berkata, selamanya Kevin akan Tuhan tolong, jadi anak pintar, baik dan membanggakan bagi Papa dan Mama. Kupangku Kevin dan bertanya, “What do you want to convey to Papa and Mama?”
“Mom, thank you so much. I love you.”
“To Papa?” Kevin diam sejenak lalu berkata sambil menunduk, “Papa, I want you love me, Mom and brother. I want papa to always hug me.” Papanya datang dan memeluk Kevin sambil menangis dan meminta maaf.
Kevinku sayang, Kevinku yang istimewa. Terakhir kabar aku dengar dia pindah ke Bandung. Aku yakin Tuhan bersamamu selalu, sayang. Kamu pasti jadi anak yang membanggakan. Papa, dukunglah selalu anakmu dan jangan pernah lupa memeluknya. Mama tetaplah sabar dan kuatkan hatimu demi maa depan generasimu. Pak Habibi pernah berkata, “Cinta Sejati itu memandang kelemahan, lalu di jadikan kelebihan untuk saling mencintai."
      Dan kin 9 tahun sudah waktu berjalan. Yang paling surprise adalah ketika Kevin tiba-tiba meneleponku. Ia sudah duduk di bangku SMP di sebuah SMP favorit di Bandung. Mamanya juga bercerita dengan bangga dan terharu “Kevin Sekarang suka main basket dan selalu juara bersama timnya Miss!” kata Mamanya. “Nilai akademiknya juga bagus-bagus. Dan bersyukurnya Papinya sangat akrab dengan Kevin. Kala itu Kevin kelas 8 di SMP swasta Bandung. Sekarang aku sudah tidak tahu lagi kabarnya. Nomor hapeku tak berjejak karena dijambret maling. Yang pasti aku yakin kini Kevin sudah sukses. Amin.***


Jakarta, 19 Juni 2020
Taruli M.P.
ulipardede1402@gmail.com

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Types and Functions of Plot

Type of Plots  The plot used in fictions can be differentiated into four types: linear, episodic, parallel, and flashback. The most common plot employed in short stories is the linear plot. Some short stories, though quite rarely, also use flashback plot. The episodic and parallel plots, however, are found only in long fiction, i.e. novels. Short storied do not use episodic and parallel plots because short stories normally concentrate on a single event with a very limited number of characters, while episodic and parallel plots include a series of events or more than one plot. The following section describes each plot briefly. The Linear Plot The linear plot (sometimes is also called dramatic or progressive plot) presents action or occurrences chronologically. It typically starts with an exposition (or introduction to the setting and characters) and the conflict. After that, the rising action follows which leads to a climax. Soon after the climax, falling action emerges which brings

Identifying a Research Problem (and Writing the Statement of the Problem)

  Research is essentially a problem-driven process. It starts and focuses on a specific problem or phenomenon. During the research process, data is collected and theories are elaborated to explain the problem. In other words, identifying and determining the problem to study is the first and the most important aspect to deal with in undertaking research. Thus, the research problem is the foundation of a research project. If the foundation is shaky the entire project is doomed to failure. Despite its critical importance, identifying and stating a research problem are the most challenging aspects of undertaking research, especially for novice researchers. This might be due to an insufficient understanding of how to identify and write for a study. This article describes research problem identification as the first step of a research process. It starts by describing what a research problem is, how to identify it, and where to obtain it. Then it briefly probes the criteria for determining a

An Analysis of the Theme of Hemingway’s “Old Man at the Bridge”

  An Analysis of the Theme of Hemingway’s “Old Man at the Bridge” Introduction The theme is one of the most interesting elements of fiction, including a short story. It refers to the central idea or meaning that the author wants to convey to the readers. Some stories convey a single theme, but some other stories have several themes. Since short stories are related to human life, Alternbend and Lewis (1966, p. 78) define theme as “The general vision of life or the more explicit proposition about human experience that literature conveys”. In relation to this, one of the easiest ways to determine the theme of a short story is by asking ourselves, “What does the story say about life? The theme of fiction is generally presented through the other elements of fiction, particularly the plot and characterization. This article is a venture to analyze the theme of Hemingway’s Old Man at the Bridge . This story is interesting to analyze due to two reasons. First, it is based on Hemingway’s exp