Pembelajaran Berorientasi Ujian:
Malpraktik Pendidikan yang Didukung di Indonesia
Selama perjalanannya
yang sudah lebih dari 70 tahun, Pendidikan Nasional Indonesia didominasi oleh
malpraktik--memperlakukan ujian sebagai tujuan pembelajaran--yang sangat
merugikan tapi didukung oleh mayoritas pemangku kepentingan. Penghapusan UN
seharusnya dapat dijadikan momentum untuk menghapus malpraktik itu.
Pendahuluan
Malpraktik berasal dari kata “mala” (salah, tidak semestinya) dan ‘praktik’ (tindakan atau penanganan
terhadap sesuatu sesuai dengan standar yang ditentukan dalam sebuah profesi).
Jadi, malpraktik mengacu pada tindakan seorang professional yang salah atau
menyimpang dari standar yang berlaku dalam kelompok profesinya. Malpraktik
terjadi karena seseorang, baik disengaja tau karena lalai, salah, atau menyimpang dari prosedur, keahlian,
atau bahan standar yang ditentukan dalam menjalankan tugas professionalnya.
Malpraktik dapat terjadi dalam setiap profesi, termasuk medis, arsitektur, hukum, dan
pendidikan. Setiap malpraktik berdampak negatif dan merugikan, bahkan bisa berakibat fatal. Namun
tidak semua malpraktik diperlakukan sama oleh masyarakat. Malpraktik di bidang
medis, farmasi, dan arsitektur cukup sering dikecam, bahkan di perkarakan di pengadilan.
Malpraktik di bidang lain cukup hanya disindir atau dicibir. Tapi ada juga malpraktik
yang justru didukung dan berlangsung secara massif, termasuk pendidikan berorientasi ujian yang sudah berlangsung sangat lama di Indonesia.
Image Credit: https://www.abpla.org/what-is-malpractice |
Ujian dalam Pendidikan: Tujuan atau Alat?
Secara universal, pendidikan mengacu
pada upaya terrencana untuk memfasilitasi para siswa dengan pengalaman
pendidikan yang holistik dalam rangka memampukan mereka mengembangkan nilai,
sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang mereka butuhkan dalam kehidupan
mereka. Finlandia, yang terkenal dengan kualitas dan
sistem pendidikannya, menetapkan bahwa pendidikan bertujuan untuk mendukung
pertumbuhan kemanusiaan para siswa, memampukan mereka secara etis menjadi anggota
masyarakat yang bertanggung jawab dan membekali mereka dengan pengetahuan dan
keterampilan yang mereka butuhkan dalam kehidupan. Di Indonesia, UU No. 20
Tahun 2003 Pasal 3 menyatakan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah untuk
mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.
Walaupun dirumuskan dengan cara berbeda dan memberi penekanan
pada aspek tertentu, terlihat bahwa tujuan pendidikan nasional Finlandia dan
Indoensia mengacu pada upaya memfasilitasi para siswa untuk mengoptimalkan
pengembangan potensi atau bakat masing-masing sehingga mereka menjadi insan
yang cakap, berpengetahuan dan terampil dalam kehidupan dan sekaligus menjadi
warganegara yang bertanggungjawab.
Akan tetapi, walaupun tuannya relatif sama, praktik pendidikan di dua negara
itu sangat berbeda. untuk mencapai tujuan pendidikannya, Finlandia memokuskan aktivitas pendidikan pada pembelajaran, bukan ujian. Finlandia tidak melakukan ujian nasional bagi siswa sekolah dasar. Menurut Henrickson, penilaian terhadap kemajuan pembelajaran siswa dilakukan oleh guru mata pelajaran masing-masing melalui asesmen formatif. Asesmen yang dilakukan melalui berbagai metode itu tidak digunakan hanya untuk mengetahui capaian pembelajaran siswa
sesuai dengan tujuan pembelajaran yang ditentukan dalam kurikulum tetapi juga untuk mengidentifikasi konsep atau keterampilan yang sulit dikuasai siswa sehingga guru dapat melakukan penyesuaian teknik, media, dan dukungan akademik lainnya untuk membantu siswa mengatasi kesulitan-kesulitan tersebut. Satu-satunya
ujian nasional di Finlandia adalah ujian matrikulasi yang diadakan pada akhir
pendidikan di sekolah menengah atas umum. Pendaftaran ke perguruan tinggi didasarkan
pada hasil ujian matrikulasi dan tes masuk.
Sebaliknya, siswa di Indonesia dihadapkan kepada banyak
sekali ujian, mulai dari ujian tengah semester, ujian akhir semester hingga
ujian nasional (UN). Tren ini sudah berlangsung lama, karena UN sudah
berlangsung sejak tahun 1950, walaupun dilaksanakan dengan nama yang
berbeda-beda—Ujian Penghabisan (1950-1960an),
Ujian Negara (1965-1972), Ujian Sekolah (1972-1979), EBTANAS (1980-2000), Ujian
Akhir nasional (2001-2004), dan UN (2005-2019) yang sejak 2014 mulai dilakukan
dengan menggunakan komputer hingga disebut UNBK (Ujian Nasional Berbasis Komputer). Selain ujian-ujian formal di atas, pemangku kepentingan pendidikan di Indonesia juga sangat menggemari kegiatan cerdas cermat dan olimpiade mata pelajaran, baik tingkat lokal, nasional, maupun internasional. Banyak sekolah, guru, dan orangtua rela "habis-habisan" mempersiapkan tim untuk mengikuti cerdas cermat dan olimpiade yang pada hakikatnya juga mengerjakan soal-soal ujian.
Status Ujian dalam Pembelajaran
Apakah ujian harus dihindarkan dari pendidikan? Tidak juga. Jika
digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan, ujian dapat memberi manfaat yang
besar kepada pendidikan. Ujian berubah menjadi masalah jika dia dijadikan sebagai
tujuan akhir pembelajaran, seperti status ujian nasional (UN) di
Indonesia. Untuk menjelaskan perbedaan ujian sebagai tujuan
dan sebagai alat dalam pembelajaran, Popham
(2001) membedakan pengajaran berbasis item
(item-teaching) dengan pengajaran
berbasis kurikulum (curriculum teaching).
Pengajaran berbasis item
memandang
ujian sebagai tujuan akhir pengajaran, sedangkan pengajaran berbasis kurikulum
memandang ujian sebagai alat untuk mencapai tujuan.
Guru yang menerapkan
strategi pengajaran berbasis item membatasi pembelajaran hanya
pada bagian-bagian (item) mata pelajaran yang mungkin atau biasanya muncul
dalam ujian. Sebagai contoh, ketika mengajarkan ‘tenses’,
guru bahasa Inggris mencoba mengidentifikasi unsur-unsur tenses yang biasanya muncul atau diprediksi akan muncul dalam ujian.
Lalu dia menginstruksikan siswa untuk menghapal dan berlatih menggunakan struktur
dan kaidah-kaidah yang terkait dengan unsur-unsur tenses yang telah diidentifikasi dengan cara mengerjakan berbagai
soal ujian. Siswa dianggap tidak perlu memahami dan berlatih menggunakan tenses
untuk berkomunikasi lisan maupun tulisan.
Guru yang menerapkan
pengajaran berbasis kurikulum berupaya mengajarkan semua topik atau bagian
pengetahuan dan keterampilan dalam mata pelajaran yang diampunya berdasarkan kurikulum.
Ketika mengajarkan tenses, pembelajaran mencakup pemahaman akan kaidah-kaidah tenses
dan keterampilan menggunakan kaidah-kaidah itu untuk membuat kalimat sebagai
sarana mengkomunikasikan pikiran atau perasaan. Guru dengan pendekatan ini
menggunakan ujian untuk dua tujuan. Pertama, ujian sebagai sarana mengevaluasi apa
yang sudah dikuasai siswa tetang topik yang akan diajarkan sehingga guru tahu
bagian mana yang didiajarkan dengan cepat sebagai penyegaran (karena sudah
dikuasai siswa) dan bagian mana yang perlu dijelaskan secara rinci (karena
belum diketahui siswa). Dalam konteks ini, guru menggunakan
hasil ujian itu sebagai masukan untuk memfasilitasi siswa mempelajari bagian
pengetahuan atau keterampilan yang belum dikuasai.Ujian seperti ini
bisa dilakukan sebelum pengajaran (diagnostic
tool) dan/atau di tengah-tengah proses pembelajaran (formative test). Kedua, ujian sebagai alat untuk mengetahui capaian
pembelajaran siswa mengenai topik yang telah diajarkan secara keseluruhan (summative test). Dengan demikian,
pengajaran tidak hanya mempersiapkan siswa mengerjakan soal ujian tetapi juga
menggunakan pengetahuan dan keterampilan tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Ujian sebagai Malpraktik dalam pendidikan Indonesia
Penyelenggaraan UN menjadi masalah besar dalam pendidikan nasional karena sifatnya yang “high-stakes”. Artinya, UN merupakan penentu masa depan siswa dan
tolok ukur utama bagi kualitas sekolah. UN berpengaruh besar terhadap masa depan
siswa karena hasilnya menjadi penentu kelulusan dari SD, SMP dan SMA dan sekaligus
menjadi penentu diterima atau tidaknya siswa di jenjang pendidikan selanjutnya.
Akibatnya, UN sering begitu disakralkan hingga kebanyakan guru, siswa dan orang tua
akan melakukan “segalanya” untuk UN. Berbeda dengan Finlandia yang menggunakan ujian hanya salah satu alat untuk menyukseskan pembelajaran, Indonesia justru membuat ujian sebagai tujuan pendidikan.
Karena UN merupakan tujuan
pembelajaran, banyak guru yang sengaja hanya mengajar untuk mempersiapkan siswa menghadapi ujian (teach for test). Dengan menerapkan strategi item teaching, mereka membatasi bagian-bagian mata
pelajaran yang diajarkan hanya pada materi yang diperkirakan akan termasuk dalam soal-soal ujian. Dalam praktik pembelajaran, tidak sedikit guru yang meminta siswa fokus menghapal dan berlatih berulang-ulang mengerjakan soal-soal yang terkait dengan materi pelajaran yang telah dipilih tersebut. Tujuannya, agar siswa lebih siap menghadapi ujian. Praktik teach to test ini didukung oleh pernyataan seorang
guru Bahasa Indonesia SMA yang saya temui dalam sebuah lokakarya. Dia mengemukakan bahwa meskipun keterampilan
menulis esai atau apresiasi karya sastra ada dalam kurikulum, kedua topik ini
tidak diajarkannya kepada siswa secara mendalam. Alasannya? Selain karena berlatih
menulis esai atau membaca dan mengapresiasi karya sastra memakan waktu yang
lama, soal UN tidak akan ada yang menyuruh siswa menulis sebuah esai atau
mengapresiasi sebuah novel. Hal yang sama dikemukakan seorang guru Fisika di SMA yang saya temui dalam sebuah pelatihan menulis karya ilmiah. Dia mengungkapkan bahwa siswanya tidak pernah diminta menuliskan laporan praktikum di laboratorium fisika secara komprehensif tetapi hanya disuruh mengisi lembar kerja siswa (LKS). Sang guru berargumentasi bahwa dalam UN tidak ada soal esai yang
memerlukan jawaban dalam bentuk alinea. bahkan dalam ujian akhir semester yang
dilaksanakan sekolah, soal esai biasanya cukup dijawab dengan satu atau dua
kalimat.
Karena UN begitu sakral dan penting, tidak sedikit sekolah yang “mengesampingkan” mata-mata pelajaran yang tidak di "UN-kan" di kelas-kelas siswa yang akan mengikuti UN. Beberapa bulan sebelum UN, aktivitas pembelajaran hanya ditekankan pada mata pelajaran yang diikutkan dalam UN. Bahkan, banyak juga sekolah yang menyuruh siswa yang akan mengikuti UAN mengikuti kelas tambahan, yang berfokus pada strategi dan latihan-latihan mengerjakan
soal-soal ujian.
Pembelajaran berorientasi ujian ini juga didukung oleh banyak orangtua. Menyadari bahwa ujian sangat berpengaruh terhadap masa depan
anak-anak mereka, mereka rela mengeluarkan biaya tambahan yang tidak sedikit agar anak-anak mereka dapat mengikuti
bimbingan belajar.
Dampak Negatif Pembelajaran Berorientasi Ujian
Pada dasarnya, dampak malpraktik di sektor pendidikan bisa lebih merugikan daripada malpraktik di bidang medis. Hasil-hasil penelitian telah menunjukkan bahwa pembelajaran berorientasi ujian merupakan malpraktik pendidikan. Kirkpatrick & Zang (2011) melaporkan bahwa malpraktik ini dapat mereduksi imajinasi, kreativitas, dan percayaan diri siswa, padahal semua kualitas ini sangat penting bagi keberhasilan siswa di dalam dan di luar kelas. Menurut Travelers (2011, pandangan yang menekankan pentingnya skor ujian sebagai tolok ukur kemampuan siswa akan mendistorsi motivasi belajar siswa, karena siswa akan menganggap hasil ujian lebih penting daripada pembelajaran sebagai proses yang melibatkan dan sekaligus mengembangkan kemampuan berpikir analitis, kritis, reflektif dan kreatif. Siswa yang lebih fokus pada tujuan ekstrinsik (seperti skor ujian) dan penyele-saian studi (seperti memperoleh ijazah) melemahkan motivasi intrinsik, minat, dan ketekunan. Pembelajaran berorientasi ujian juga telah membuat siswa Indonesia mengalami krisis membaca. Sebaliknya, jika siswa belajar dengan tujuan untuk menguasai pengetahuan dan keterampilan dan bangga dengan kerja keras serta kompetensi yang dikuasai, dia semakin mampu belajar mandiri serta menggunakan strategi yang lebih efektif.
Salah satu tolok ukur yang bisa digunakan untuk memotret dampak negatif malpraktik pembelajaran selama ini adalah survei Programme for International Student Assessment (PISA) yang mengukur kompetensi belajar peserta didik global di bidang membaca, matematika dan sains. Sejak mengikuti program ini di tahun 2009 hingga survei terakhir tahun 2018 yang lalu, kompetensi pelajar Indonesia secara konsisten berada di urutan 10 terbawah, sebagai contoh: peringkat ke-57 dari 65 negara (2009), peringkat ke-64 dari 65 negara (2012), peringkat 62 dari 72 (2015) dan peringkat 74 dari 79 (2018). Skor yang dicapai pelajar Indonesia di tiga bidang yang disurvei juga secara konsisten berada di bawah rata-rata skor pelajar dari seluruh negara yang disurvei.
Pada dasarnya, dampak malpraktik di sektor pendidikan bisa lebih merugikan daripada malpraktik di bidang medis. Hasil-hasil penelitian telah menunjukkan bahwa pembelajaran berorientasi ujian merupakan malpraktik pendidikan. Kirkpatrick & Zang (2011) melaporkan bahwa malpraktik ini dapat mereduksi imajinasi, kreativitas, dan percayaan diri siswa, padahal semua kualitas ini sangat penting bagi keberhasilan siswa di dalam dan di luar kelas. Menurut Travelers (2011, pandangan yang menekankan pentingnya skor ujian sebagai tolok ukur kemampuan siswa akan mendistorsi motivasi belajar siswa, karena siswa akan menganggap hasil ujian lebih penting daripada pembelajaran sebagai proses yang melibatkan dan sekaligus mengembangkan kemampuan berpikir analitis, kritis, reflektif dan kreatif. Siswa yang lebih fokus pada tujuan ekstrinsik (seperti skor ujian) dan penyele-saian studi (seperti memperoleh ijazah) melemahkan motivasi intrinsik, minat, dan ketekunan. Pembelajaran berorientasi ujian juga telah membuat siswa Indonesia mengalami krisis membaca. Sebaliknya, jika siswa belajar dengan tujuan untuk menguasai pengetahuan dan keterampilan dan bangga dengan kerja keras serta kompetensi yang dikuasai, dia semakin mampu belajar mandiri serta menggunakan strategi yang lebih efektif.
Salah satu tolok ukur yang bisa digunakan untuk memotret dampak negatif malpraktik pembelajaran selama ini adalah survei Programme for International Student Assessment (PISA) yang mengukur kompetensi belajar peserta didik global di bidang membaca, matematika dan sains. Sejak mengikuti program ini di tahun 2009 hingga survei terakhir tahun 2018 yang lalu, kompetensi pelajar Indonesia secara konsisten berada di urutan 10 terbawah, sebagai contoh: peringkat ke-57 dari 65 negara (2009), peringkat ke-64 dari 65 negara (2012), peringkat 62 dari 72 (2015) dan peringkat 74 dari 79 (2018). Skor yang dicapai pelajar Indonesia di tiga bidang yang disurvei juga secara konsisten berada di bawah rata-rata skor pelajar dari seluruh negara yang disurvei.
Pendidikan berkualitas menghasilkan lulusan yang berkualitas dan mampu meningkatkan kesejahteraan serta berkontribusi aktif dalam pembangunan. Sebaliknya, malpraktik pendidikan akan menghasilkan lulusan yang tidak kompeten, tidak mampu menjawab tantangan yang terus berkembang. Survai Willis Towers Watson tahun 2014 hingga 2017 mengungkapkan 80% perusahaan di Indonesia kesulitan mendapatkan lulusan perguruan tinggi dalam negeri yang kompeten. Padahal, perguruan tinggi di Indonesia meluluskan 250 ribu alumni setiap tahun. Kondisi ini tentu tidak terlepas dari kenyataan bahwa para sarjana ditempa oleh pembelajaran berorientasi ujian. Selain itu, kurangnya kemampuan berpikir kritis membuat 65% orang Indonesia mudah terhasut hoaks atau fake news, salah satu penyebab kehidupan sosial politik terus gaduh. Pembelajaran berorientasi ujian juga berkontribusi besar pada kegagalan mengembangkan keterampilan berpikir kritis.
Jika malpraktik pendidikan bisa memberi efek yang lebih merusak daripada sebuah malpraktik medis, mengapa masyarakat tidak menggugat? Masyarakat bereaksi keras terhadap malpraktik di bidang medis karena dampak negatifnya banyak yang langsung terlihat. Kekeliruan dokter memberikan obat hingga membuat penyakin pasien yang dirawatnya semakin parah seringkali mudah diidentifikasi. Namun masyarakat tidak begitu menghiraukan, bahkan cenderung mendukung, malpraktik di bidang pendidikan karena dua faktor. Pertama masyarakat tidak memahami yang terjadi itu malpraktik atau bukan. Kedua, dampak negatif malpraktik pendidikan tidak langsung terlihat, karena efek pendidikan. ESRC (2014) menyatakan bahwa dampak praktik pendidikan baru akan dirasakan setelah sekitar 25 tahun.
Jika malpraktik pendidikan bisa memberi efek yang lebih merusak daripada sebuah malpraktik medis, mengapa masyarakat tidak menggugat? Masyarakat bereaksi keras terhadap malpraktik di bidang medis karena dampak negatifnya banyak yang langsung terlihat. Kekeliruan dokter memberikan obat hingga membuat penyakin pasien yang dirawatnya semakin parah seringkali mudah diidentifikasi. Namun masyarakat tidak begitu menghiraukan, bahkan cenderung mendukung, malpraktik di bidang pendidikan karena dua faktor. Pertama masyarakat tidak memahami yang terjadi itu malpraktik atau bukan. Kedua, dampak negatif malpraktik pendidikan tidak langsung terlihat, karena efek pendidikan. ESRC (2014) menyatakan bahwa dampak praktik pendidikan baru akan dirasakan setelah sekitar 25 tahun.
Kesimpulan
Diskusi di
atas memperlihatkan bahwa pembelajaran berorientasi ujian merupakan malpraktik
pendidikan, dan akibatnya sudah begitu nyata dalam kehidupan bangsa
Indonesia selama ini. Kesadaran tentang kerugian yang timbul dari malpraktik ini,
kemungkinan besar merupakan salah satu pendorong bagi Kemendikbud menghapuskan
UN mulai 2021 (yang ternyata malah dipercepat setahun oleh pandemi virus
corona, sehingga UN tidak lagi dilaksanakan pada tahun 2020). Tidak
diberlakukannya UN perlu diiringi dengan kesiapan guru untuk menekankan
pengajaran berbasis kurikulum. Guru direkomendasikan untuk menerapkan
pembelajaran yang berpusat pada siswa dan benar-benar melibatkan serta
mengembangkan keterampilan bepikir, misalnya dengan menggunakan Taksonomi Bloom. Dalam
pembelajaran seperti itu, siswa tidak lagi hanya disiapkan untuk mengerjakan
soal-soal ujian tetapi juga terlibat dalam pengalaman pembelajaran yang
mengembangkan sikap, pengetahuan, keterampilan, dan sekaligus mengembangkan
keterampilan berpikir. *****
Author: Parlindungan Pardede (parlin@weedutap.com)
anak di harapkan mandiri.. saking di harapkannya siswa bisa mandiri.. guru sibuk dengan administrasi dan mengabaikan anak paham atau nggak nya materi pembelajaran. Sedih juga dengan Kurtilas sekarang.. Dan anehnya lagi banyak sekolah2 merekeut guru-guru yang latar pendidikannya bukan kejuruan pendidik.. akhirnya guru asal ngajar..
ReplyDelete