Skip to main content

Mengembangkan "4Cs" dalam "Blended Learning"

Image Credit: https://www.connectionsacademy.com/support/resources/article/how-online-education-builds-career-readiness-with-the-4-cs

Naskah ini merupakan bagian ketiga dari Modul 1 yang digunakan dalam Pelatihan Membangun Blended Learning yang diselenggarakan oleh FKIP UKI pada tanggal 20 Juli-4 Agustus 2020. Bagian pertama dapat diakses di sinibagian kedua di sini, dan bagian ke empat di sini.


Hakikat 4Cs
Ketika para pendidik masih terus bergelut dalam upaya meningkatkan capaian pembelajaran siswa, mereka juga dihadapkan dengan tantangan untuk mengembangkan Keterampilan Abad 21 (21st century skills) dalam diri siswa. Kebutuhan pengembangan Keterampilan Abad 21 itu dipicu oleh arus globalisasi dan dijitalisasi yang semakin akseleratif di Abad 21 yang secara drastis terus mengubah cara hidup, berinteraksi, bekerja dan belajar masyarakat dunia. Akibatnya, agar siswa saat ini dapat berkiprah di Abad 21, mereka juga harus dilengkapi dengan Keterampilan Abad 21, selain pengetahuan dan keterampilan dasar.

Keterampilan Abad 21 dibagi menjadi tiga kelompok: keterampilan literasi (literacy skills), keterampilan hidup (life skills), dan keterampilan belajar dan berinovasi (learning and innovation skills). Keterampilan literasi, yang mencakup literasi informasi, literasi media, dan literasi teknologi terkait dengan bagaimana seseorang mengelola informasi, saluran publikasi, dan teknologi yang memfasilitasi publikasi informasi. Keterampilan hidup terkait dengan kualitas personal dan preofesional seseorang, seperti keuletan, disiplin, sikap melayani, dan sebagainya, yang turut mempengaruhi keberhasilannya dalam kehidupan sehari-hari. Keterampilan belajar dan berinovasi mengacu pada proses mental yang dibutuhkan untuk beradaptasi dan berprestasi dalam kehidupan dan dunia pekerjaan moderen. Keterampilan yang menjadi focus pembahasan dalam bagian modul ini terkenal dengan sebutan 4Cs (communication, collaboration, critical thinking, and creativity). Dalam modul ini, 4Cs diterjemahkan menjadi 4K (Komunikasi, Kolaborasi, berpikir Kritis, dan Kreativitas).

Komunikasi
Karena berkomunikasi merupakan aktivitas sehari-hari, keterampilan ini sering dipandang sebagai sesuatu yang biasa sehingga pengembangannya kurang mendapat perhatian. secara umum keterampilan berkomunikasi memang didefinisikan sebagai kemampuan membuat dan menyampaikan (mengirim) ide secara oral maupun tertulis. Definisi ini dapat diinterpretasi secara literal untuk menggambarkan komunikasi di Abad 20. Akan tetapi, penggunaan teknologi komunikasi dan informasi (TIK), seperti multimedia, telekonferensi, dan internet, yang semakin intensif di Abad 21 menuntut interpretasi yang lebih kompleks terhadap definisi itu, karena komunikasi saat ini sudah sangat berbeda dengan komunikasi di Abad 20. Partnership for 21st Century Learning (2011b) menekankan bahwa kompetensi komunikasi di Abad 21 melibatkan komunikasi oral, tertulis, interpersonal, dan dijital untuk memaknai informasi, termasuk pengetahuan, nilai, sikap, dan berbagai tujuan (memberitahu, memberi instruksi, memotivasi, dan mempengaruhi) dalam berbagai bentuk, konteks, dan lingkungan (termasuk lingkungan multi-bahasa dan multicultural) dengan menggunakan berbagai media dan teknologi. Oleh karena itu, selain memampukan siswa  berkomunikasi secara konvensional (oral dan tertulis), pembelajaran masa kini juga harus mengembangkan  keterampilan berkomunikasi berbasis TIK, dan BL dapat mewujudkannya secara efektif.   

Kolaborasi
Secara umum kolaborasi mengacu pada kemampuan bekerja secara efektif dengan satu atau lebih orang lain, termasuk kelompok dengan budaya berbeda maupun kelompok dengan pandangan yang bertentangan. Kolaborasi sering digunakan sebagai pendekatan pendekatan pembelajaran dengan cara menginstruksikan siswa bekerja dalam kelompok untuk menyelesaikan sebuah tugas atau proyek, atau memecahkan sebuah masalah. Dalam kelompok tersebut, siswa saling berinteraksi sehingga mereka saling memperkaya idea, meningkatkan capaian belajar dan mengembangkan kompetensi interaksi sosial.

Keterampilan berkolaborasi juga semakin penting dalam dunia pekerjaan karena dunia pekerjaan di Abad 21 cenderung semakin mengarah pada lingkungan pekerjaan berbasis tim (Dede, 2009). Berbeda dengan kebanyakan pekerjaan di Abad 20 yang menuntut kinerja individual, penyelesaian pekerjaan di Abad 21 menuntut kerjasama tim. Foster-Fishman, dkk, (2001) menegaskan bahwa pembangunan tim kerja yang solid memerlukan keterampilan berkolaborasi karena kompetensi ini memampukan setiap anggota untuk menyatukan pengetahuan, keterampilan, dan sikap masing-masing.

Berpkir Kritis
Berpikir kritis mengacu pada kemampuan seseorang untuk menganalisis, meninterpretasikan, menjelaskan dan menyimpulkan sebuah diskursus yang sedang dihadapi dan sekaligus mengatur pemikiran sendiri (Facione, 1990). Dengan berpikir kritis, seseorang akan mampu mengambil keputusan, memecahkan masalah, dan bertindak seakurat mungkin.

Dalam pembelajaran, berpikir kritis sangat perlu dikembangkan oleh tiap siswa karena keterampilan ini membantunya menjadi pembelajar seumur hidup yang aktif dan efektif, memeroleh pemahaman, mengevaluasi beragam perspektif, meningkatkan kemampuan memecahkan masalah, mengelola pemikiran sendiri (Lai, 2009). Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, pengembangan keterampilan berpikir dapat direalisasikan dengan cara membimbing siswa agar tidak hanya memeroleh dan menghafal informasi dan pengetahuan tetapi menggunakan informasi dan pengetahuan itu sebagai konteks, bahan, dan kesempatan untuk meningkatkan keterampilan berpikir. Dengan kata lain, keterampilan berpikir kritis harus diintegrasikan ke dalam aktivitas pembelajaran.

Kreativitas
Kreativitas adalah sebuah proses, produk, atau interaksi yang menghasilkan ide, pemikiran, atau produk baru dengan menggunakan keterampilan berpikir kreatif. Berpikir kreatif itu sendiri merupakan keterampilan yang digunakan untuk menghasilkan ide-ide baru yang baru (orisinal), efektif, dan etis (Cropley, 2011). Unsur orisinalitas (kebaruan) mempersyaratkan bahwa kreativitas harus berupa produk, tindakan, atau ide yang berbeda dengan yang telah ada. Keefektifan mempersyaratkan bahwa kreatifitas yang baik harus merupakan  produk, tindakan, atau ide yang bisa diterapkan dan bermanfaat bermanfaat, baik secara estetis, artistik, spiritual, maupun material. Aspek etis menekankan bahwa kreatifitas tidak boleh bersifat destruktif, egoistik, kriminal dan membahayakan. Kreativitas dihasilkan dengan cara: (a) menghubungkan dan mengkombinasikan beberapa ide lama menjadi sebuah atau beberapa ide baru; (b) mereduksi elemen ide-ide lama untuk menciptakan sebuah atau beberapa ide baru yang lebih efektif; (c) mengeksplorasi sebanyak mungkin kemungkinan yang terdapat dalam konsep-konsep yang ada sesuai dengan kaidah-kaidah saat ini; dan (d) mengubah satu atau beberapa kaidah yang ada secara signifikan untuk membentuk konsep-konsep baru.

Unsur kebaruan, efektivitas, dan etik dalam kreativitas membuatnya selaras dengan pembelajaran, khususnya pembelajaran yang berlandaskan konstruktivisme. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, konstruktivisme memandang pembelajaran sebagai proses membangun pemahaman dan pengetahuan dari pengalaman dengan cara merefleksikan pengalaman tersebut. Dengan demikian, pembelajaran dan kreativitas sama-sama merupakan proses untuk membentuk sesuatu. Selain itu, jika seorang pemikir kreatif membuat sesuatu yang baru, siswa yang belajar dengan menerapkan konstruktivisme juga merupakan kreator pengetahuan, bukan penerima pengetahuan yang pasif. Sebagai creator, siswa secara aktif bereksplorasi, bertanya, dan menilai apa yang sudah diketahuinya. Singkatnya, pembelajaran dan berpikir kreatif merupakan dua proses yang berlangsung secara tumpang tindih dan saling menguatkan.

Esensi Pengembangan 4Cs
4Cs perlu dikembangkan dalam diri siswa saat ini karena dua alasan mendasar. Alasan pertama, 4Cs merupakan keterampilan belajar yang sangat esensial. Sebagaimana telah diuraikan di bagian konstruktivisme, siswa dapat merekonstruksi pengalaman menjadi pengetahuan baru secara lebih bermakna hanya jika pengetahuan itu diklarifikasi kepada orang lain melalui curah-gagasan, diskusi, debat, atau pemecahan masalah bersama. Semua aktivitas pembelajaran ini memerlukan interaksi, dan untuk mewujudkan interaksi, keterampilan berkomunikasi dan berkolaborasi merupakan syarat utama. Di bagian skenario mengaktifkan keterampilan berpikir dalam pembelajaran juga telah digambarkan bahwa pembelajaran yang hakiki (true learning) tidak cukup hanya sampai pada kemampuan menyimpan dan mengakses informasi dari memori jangka panjang tetapi juga harus melibatkan dan sekaligus mengembangkan HOTs, dan wujud utama HOTs adalah keterampilan berpikir kritis dan kreativitas. Singkatnya, aktivasi 4K dalam pembelajaran tidak hanya membantu siswa menguasai pengetahuan tetapi juga mentransformasi siswa menajadi individu yang berkemampuan 4K yang tinggi.

Alasan kedua adalah hasil penelitian dan pengalaman yang menunjukkan bahwa 4Cs merupakan pembeda antara siswa yang siap dan siswa yang tidak siap menghadapi lingkungan kehidupan dan pekerjaan yang semakin kompleks di Abad 21 (Partnership for 21st Century, 2011a). Hasil-hasil penelitian menunjukkan pentingnya 4Cs dalam dunia pekerjaan saat ini dan di masa yang akan datang. Dalam paparan World Economic Forum (Grey, 2016), terlihat dengan jelas bahwa 4Cs merupakan bagian dari 10 keterampilan utama yang diperlukan dalam Revolusi Industri 4.0. Selain itu, survei American Management Association. (2019) terhadap 2,115 manajer dan pemimpin eksekutif di berbagai perusahaan di Amerika Serikat mengungkapkan 4Cs mrupakan keterampilan yang sangat diperlukan pada saat ini dan dimasa depan. Lebih dari 75% responden yakin bahwa 4Cs akan semakin berperan penting bagi perusahaan mereka beberapa tahun ke depan, sebagai dampak dari percepatan perubahan di dunia bisnis, persaingan global, penyesuaian terhadap perubahan dalam menyelesaikan pekerjaan, dan tuntutan perubahan struktur organisasi perusahaan.

Pengembangan 4Cs dalam pembelajaran tidak hanya membantu siswa untuk suskses dalam pembelajaran tetapi juga memfasilitasi mereka untuk berhasil dalam tahap kehidupan selanjutnya, baik untuk studi lanjut maupun dalam kehidupan bermasyarakat dan pekerjaan. 

Mengembangkan Keterampilan Berkomunikasi Melalui OL
Keberadaan unsur lingkungan komunikasi OL dalam BL memfasilitasi tiga manfaat dalam pengembangan komunikasi, yakni: dorongan untuk berkomunikasi secara jelas dan efektif, esensi untuk berkomunikasi secara konsisten, dan kelancaran serta fleksibilitas waktu untuk berkomunikasi. Berbeda dengan komunikasi konvensional yang berlangsung di F2FL yang pada umumnya tidak terrekam, setiap komunikasi daring yang tertulis di LMS langsung terrekam (kecuali jika dihapus) dan dapat dibaca oleh semua penghuni kelas. Kondisi ini menuntut semua siswa (dan guru) untuk berkomunikasi dengan jelas dan efektif. 

Konsistensi idea atau pesan yang dikomunikasikan dapat terdeteksi dengan jelas dalam LMS karena adanya kemudahan membuat tautan (link) antar unsur-unsur pembelajaran. Sebagai contoh, karena silabus yang tersedia di perpustakaan LMS dapat diakses kapan saja, siswa dapat langsung menyesuaikan pertanyaan atau umpan balik yang akan diberikan kepada teman sekelas dengan tujuan pembelajaran yang tertera dalam silabus. Siswa juga dapat memeriksa apakan komentar yang diberikan pada hari ini konsisten dengan komentar yang diberikan pada waktu-waktu yang lalu. Dengan demikian, setiap anggota kelas dapat selalu memeriksa konsistensi ide atau pesan masing-masing dalam berkomunikasi. 

Konektivitas yang berlangsung sepanjang waktu melalui internet membuat komunikasi melalui LMS berlangsung lancar dan fleksibel. Siswa dapat ‘memposting’ pertanyaan atau umpan balik kapan saja tanpa harus menunggu giliran. Komunikasi juga dapat dilakukan kapan dan dari mana saja. Oleh karena itu, komunikasi menjadi lebih cair, lancar, dan fleksibel.

Beberapa strategi umum yang dapat diterapkan untuk mengembangkan kemampuan berkomunikasi melalui OL adalah: (1) melatih siswa membuat dan menggunakan ungkapan yang baik untuk memulai dan mengakhiri interaksi, bertanya, menanggapi, dan meminta tolong. Penguasaan kemampuan ini akan mengurangi keengganan dan kecemasan siswa berkomunikasi di LMS; (2) menugaskan siswa untuk memberi umpan balik kepada setiap pertanyaan atau pernyataan teman; (3) menugaskan siswa bekerja dalam kelompok dan saling berbagi ide dan pengalaman yang diperoleh setelah mempelajari sebuah topik; dan (4) menugaskan siswa berdebat dalam kelompok-kelompok ‘pro’ dan ‘kontra’ tentang sebuah isu terkait dengan topik yang dipelajari.

Mengembangkan Keterampilan Berkolaborasi Melalui OL
Lingkungan pembelajaran OL sangat potensial memperkaya pelaksanaan kolaborasi yang dilangsungkan di sesi F2FL. Sekelompok siswa yang sedang menulis makalah atau proposal, misalnya, dapat berkolaborasi dengan cara menulis dalam format editable MSWdocs melalui Google Drive. Dengan demikian, setiap anggota kelompok dapat berkontribusi langsung mengungkapkan ide, mengomentari ide teman, atau mengedit draf yang sama. Selain itu, waktu untuk melaksanakan aktivitas kolaborasi dapat dilakukan secara fleksibel dan darimana saja.

Kolaborasi dan komunikasi berkaitan sangat erat. Dengan demikian, aktiivitas berkomunikasi juga melibatkan kolaborasi, dan sebaliknya. Selain strategi yang menugaskan siswa berkelompok dalam strategi pengembangan komunikasi di atas, beberrapa strategi lain yang dapat diterapkan untuk mengembangkan kemampuan berkolaborasi melalui OL adalah: (1) menugaskan siswa saling berpasangan untuk mengulas dan memberi masukan pada tulisan (alinea, esai, makalah, atau laporan) pasangan masing-masing; dan (2) menugaskan siswa mengerjakan sebuah proyek (karya tulis, sketsa, poster, dll.) secara daring.

Mengembangkan Keterampilan Berpikir kritis Melalui OL
Sebagaimana telah diungkapkan sebelumnya, berpikir kritis merupakan kemampuan menganalisis, menginterpretasikan, menjelaskan dan menyimpulkan sebuah diskursus yang sedang dihadapi dan sekaligus mengatur pemikiran sendiri. Dengan demikian, berpikir kritis selalu terlibat dalam aktivitas dan pengembangan tiga keterampilan 4Cs lainnya. Ketika berkomunikasi melalui forum diskusi dalam LMS, misalnya, setiap akan berhadapan dengan berbagai umpan balik yang disampaikan teman-temannya melalui pespektif yang berbeda-beda. Agar dapat menyimpulkan secara akurat, siswa perlu menganalisis, menginterpretasikan, dan menilai berbagai umpan balik itu secara akurat.

Berpikir kritis juga diperlukan ketika berkolaborasi. Setiap kolaborasi, khususnya dalam pembelajaran, membutuhkan dan sekaligus mengembangkan interdependensi positif, akuntabilitas individu, dan keterampilan komunikasi interpersonal. Dalam praktik, semuahal itu diwujudkan melalui aktivitas berpikir kritis, khususnya mengajukan pertanyaan yang sesuai, mengumpulkan dan memilah-milah informasi yang relevan secara kreatif, menghubungkan informasi baru dengan pengetahuan yang ada, menguji kembali keyakinan, bernalar secara logis, dan menarik kesimpulan yang andal dan dapat dipercaya.

Untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa, guru perlu mengembangkan sikap tidak-berpihak dan menghilangkan prasangka. Hal ini dapat dilakukan dengan cara meminta siswa secara aktif mengadopsi sudut pandang yang berbeda dari yang semula dimilikinya. Dengan demikian, mereka akan terbiasa mendeteksi bias dalam berpikir. tentang dunia. Sikap tidak berpihak dan tanpa prasangka itu perlu diterapkan dalam setiap diskusi atau debat. Akan tetapi, guru juga perlu mengelola diskusi dan debat secara hati-hati dan bijaksana agar pengembangan sikap tidak berpihak dan tanpa prasangka itu tidak malah menghambat motivasi dan kelancaran siswa berdiskusi dan berdebat.

Beberapa strategi umum yang dapat diterapkan untuk mengembangkan kemampuan berkomunikasi melalui OL adalah: (1) melatih siswa untuk menerapkan keterampilan membaca kritis, seperti membedakan fakta dan opini, menginterpretasikan makna konotatif, mendeteksi logika yang keliru, mengidentifikasi ungkapan-ungkapan propaganda, dan sebagainya, setiap kali mereka membaca teks apa saja; (2) menugaskan siswa melakukan penelitian tentang topik tertentu secara daring, lalu menggunakan hasilnya dalam debat yang juga diselenggarakan secara daring; (3) mendorong siswa mengkritisi topik yang baru dipelajari dengan meminta mereka menjawab pertanyaan-pertanyaan yang memicu pemikiran kritis, seperti “Apakah poin-poin pendukung yang digunakan dalam pelajaran ini relevan, mutakhir, dan meyakinkan?”, “Poin apa yang paling penting/tidak penting dalam pelajaran ini?”, dan “Unsur atau ide apa yang dapat ditambahkan untuk membuat ide pokok dalam pelajaran ini lebih baik?” TeachThought Staff (2019) menyajikan 48 pertanyaan yang dapat memicu pemikiran kritis dalam semua mata pelajaran.

Mengembangkan Kreativitas Melalui OL
Menurut Wallas (dalam Torrence, 1988), proses kreativitas berlangsung dalam empat tahap, yaitu: persiapan, inkubasi, iluminasi, dan verifikasi. Pada tahap persiapan berlangsung penyerapan informasi dari berbagai sumber (referensi, lingkungan, orang) yang terkait dengan topik atau masalah yang dihadapi. Beragam informasi kemudian disaring, dievaluasi dari berbagai perspektif, dan dihubungkan satu sama lain. Di tahap inkubasi, dilakukan relaksasi dan coolingdown. Individu melepaskan diri untuk sementara masalah tersebut dengan cara tidak memikirkan masalah tersebut secara sadar, tetapi “mengeramkannya’ dalam alam pra sadar. Pada tahap gagasan cerdas untuk mengatasi persoalan muncul. Pada tahap verifikasi, gagasan-gagasan yang diperoleh kemudian dianalisis dan diuji manfaat serta kebermaknaannya. Jika ternyata gagasan yang muncul bukan merupakan solusi terbaik, individu mencari tahu penyebabnya. Jika gagasan tersebut ternyata merupakan solusi terbaik, individu dapat menerapkannya sambil mereview proses kreatif yang telah dilakukan untuk memahami apakah proses tersebut dapat diulangi pada proses pemecahan masalah kreatif lain di masa yang akan datang.

Keberadaan lingkungan pembelajaran OL dalam BL sangat mendukung proses kreativitas, karena internet merupakan lingkungan yang luas dan kaya dengan informasi, pengetahuan dan media. Selain itu, informasi-informasi tersebut dapat dijelajahi dan diakses dengan mudah dengan menggunakan mesin pencari. Kondisi ini sangat mendukung tahap persiapan dalam proses kreativitas, karena individu dapat mengakses informasi dalam format teks, video, gambar, atau suara, sebanyak yang dia inginkan. Kesempatan untuk menuangkan ide dalam berbagai format juga sangat menunjang kreatifitas. Dalam BL, misalnya, siswa dapat membuat produk (tugas) tidak hanya dalam bentuk teks, tetapi juga dalam bentuk video, sketsa, atau peta pikiran.

Beberapa strategi umum yang dapat diterapkan untuk mengembangkan kreativitas melalui OL adalah: (1) menugaskan siswa mendefinisikan beberapa terminologi yang digunakan dalam topik yang baru dipelajari dengan menggunakan ungkapan sendiri; (2) menugaskan siswa mengungkapkan sebuah konsep dengan menggunakan peta pikiran; (3) menugaskan siswa menulis alinea atau artikel tentang topik yang baru dipelajari lalu mempublikasikannya dalam blog. Setelah itu setiap siswa diminta saling menanggapi tulisan dengan cara menuliskan komentar terhadap tulisan tulisan itu. Selain mengembangkan kreativitas, aktivitas ini juga mengembangkan keterampilan berkomunikasi dan berpikir kritis.

Silahkan lanjutkan membaca bagian keempat modul ini, Komponen Pembangun Blended Learning

Comments

Popular posts from this blog

Types and Functions of Plot

Type of Plots  The plot used in fictions can be differentiated into four types: linear, episodic, parallel, and flashback. The most common plot employed in short stories is the linear plot. Some short stories, though quite rarely, also use flashback plot. The episodic and parallel plots, however, are found only in long fiction, i.e. novels. Short storied do not use episodic and parallel plots because short stories normally concentrate on a single event with a very limited number of characters, while episodic and parallel plots include a series of events or more than one plot. The following section describes each plot briefly. The Linear Plot The linear plot (sometimes is also called dramatic or progressive plot) presents action or occurrences chronologically. It typically starts with an exposition (or introduction to the setting and characters) and the conflict. After that, the rising action follows which leads to a climax. Soon after the climax, falling action emerges which brings

Identifying a Research Problem (and Writing the Statement of the Problem)

  Research is essentially a problem-driven process. It starts and focuses on a specific problem or phenomenon. During the research process, data is collected and theories are elaborated to explain the problem. In other words, identifying and determining the problem to study is the first and the most important aspect to deal with in undertaking research. Thus, the research problem is the foundation of a research project. If the foundation is shaky the entire project is doomed to failure. Despite its critical importance, identifying and stating a research problem are the most challenging aspects of undertaking research, especially for novice researchers. This might be due to an insufficient understanding of how to identify and write for a study. This article describes research problem identification as the first step of a research process. It starts by describing what a research problem is, how to identify it, and where to obtain it. Then it briefly probes the criteria for determining a

An Analysis of the Theme of Hemingway’s “Old Man at the Bridge”

  An Analysis of the Theme of Hemingway’s “Old Man at the Bridge” Introduction The theme is one of the most interesting elements of fiction, including a short story. It refers to the central idea or meaning that the author wants to convey to the readers. Some stories convey a single theme, but some other stories have several themes. Since short stories are related to human life, Alternbend and Lewis (1966, p. 78) define theme as “The general vision of life or the more explicit proposition about human experience that literature conveys”. In relation to this, one of the easiest ways to determine the theme of a short story is by asking ourselves, “What does the story say about life? The theme of fiction is generally presented through the other elements of fiction, particularly the plot and characterization. This article is a venture to analyze the theme of Hemingway’s Old Man at the Bridge . This story is interesting to analyze due to two reasons. First, it is based on Hemingway’s exp