Image Credit: https://www.connectionsacademy.com/support/resources/article/how-online-education-builds-career-readiness-with-the-4-cs |
Naskah ini merupakan bagian ketiga dari Modul 1 yang digunakan dalam Pelatihan Membangun Blended Learning yang diselenggarakan oleh FKIP UKI pada tanggal 20 Juli-4 Agustus 2020. Bagian pertama dapat diakses di sini, bagian kedua di sini, dan bagian ke empat di sini.
Hakikat
4Cs
Ketika para pendidik masih terus bergelut dalam upaya meningkatkan
capaian pembelajaran siswa, mereka juga dihadapkan dengan tantangan untuk
mengembangkan Keterampilan Abad 21 (21st century skills) dalam diri siswa.
Kebutuhan pengembangan Keterampilan Abad 21 itu dipicu oleh arus globalisasi
dan dijitalisasi yang semakin akseleratif di Abad 21 yang secara drastis terus mengubah
cara hidup, berinteraksi, bekerja dan belajar masyarakat dunia. Akibatnya, agar
siswa saat ini dapat berkiprah di Abad 21, mereka juga harus dilengkapi dengan Keterampilan
Abad 21, selain pengetahuan dan keterampilan dasar.
Keterampilan Abad 21 dibagi menjadi tiga kelompok: keterampilan
literasi (literacy skills), keterampilan
hidup (life skills), dan keterampilan
belajar dan berinovasi (learning and
innovation skills). Keterampilan literasi, yang mencakup literasi
informasi, literasi media, dan literasi teknologi terkait dengan bagaimana
seseorang mengelola informasi, saluran publikasi, dan teknologi yang memfasilitasi
publikasi informasi. Keterampilan hidup terkait dengan kualitas personal dan
preofesional seseorang, seperti keuletan, disiplin, sikap melayani, dan
sebagainya, yang turut mempengaruhi keberhasilannya dalam kehidupan
sehari-hari. Keterampilan belajar dan berinovasi mengacu pada proses mental
yang dibutuhkan untuk beradaptasi dan berprestasi dalam kehidupan dan dunia
pekerjaan moderen. Keterampilan yang menjadi focus pembahasan dalam bagian
modul ini terkenal dengan sebutan 4Cs
(communication, collaboration, critical
thinking, and creativity). Dalam modul ini, 4Cs diterjemahkan menjadi 4K (Komunikasi, Kolaborasi, berpikir
Kritis, dan Kreativitas).
Komunikasi
Karena berkomunikasi merupakan aktivitas sehari-hari, keterampilan
ini sering dipandang sebagai sesuatu yang biasa sehingga pengembangannya
kurang mendapat perhatian. secara umum keterampilan berkomunikasi memang didefinisikan sebagai kemampuan membuat dan menyampaikan (mengirim) ide secara oral maupun tertulis. Definisi ini dapat diinterpretasi secara literal untuk menggambarkan komunikasi di Abad 20. Akan tetapi, penggunaan teknologi komunikasi dan
informasi (TIK), seperti multimedia, telekonferensi, dan internet, yang semakin
intensif di Abad 21 menuntut interpretasi yang lebih kompleks terhadap definisi itu, karena komunikasi saat ini sudah sangat berbeda dengan komunikasi
di Abad 20. Partnership for 21st Century Learning (2011b) menekankan bahwa kompetensi
komunikasi di Abad 21 melibatkan komunikasi oral, tertulis, interpersonal, dan
dijital untuk memaknai informasi, termasuk pengetahuan, nilai, sikap, dan berbagai
tujuan (memberitahu, memberi instruksi, memotivasi, dan mempengaruhi) dalam
berbagai bentuk, konteks, dan lingkungan (termasuk lingkungan multi-bahasa dan multicultural)
dengan menggunakan berbagai media dan teknologi. Oleh karena itu, selain memampukan siswa berkomunikasi secara konvensional (oral dan tertulis), pembelajaran masa kini juga harus mengembangkan keterampilan berkomunikasi berbasis TIK, dan
BL dapat mewujudkannya secara efektif.
Kolaborasi
Secara umum kolaborasi mengacu pada kemampuan
bekerja secara efektif dengan satu atau lebih orang lain, termasuk kelompok dengan
budaya berbeda maupun kelompok dengan pandangan yang bertentangan. Kolaborasi
sering digunakan sebagai pendekatan pendekatan pembelajaran dengan cara
menginstruksikan siswa bekerja dalam kelompok untuk menyelesaikan sebuah tugas
atau proyek, atau memecahkan sebuah masalah. Dalam kelompok tersebut, siswa saling
berinteraksi sehingga mereka saling memperkaya idea, meningkatkan capaian
belajar dan mengembangkan kompetensi interaksi sosial.
Keterampilan berkolaborasi juga semakin penting
dalam dunia pekerjaan karena dunia pekerjaan di Abad 21 cenderung semakin mengarah
pada lingkungan pekerjaan berbasis tim (Dede, 2009). Berbeda dengan kebanyakan
pekerjaan di Abad 20 yang menuntut kinerja individual, penyelesaian pekerjaan
di Abad 21 menuntut kerjasama tim. Foster-Fishman,
dkk, (2001) menegaskan bahwa pembangunan tim kerja yang solid memerlukan keterampilan
berkolaborasi karena kompetensi ini memampukan setiap anggota untuk menyatukan pengetahuan,
keterampilan, dan sikap masing-masing.
Berpkir Kritis
Berpikir kritis mengacu pada kemampuan seseorang untuk
menganalisis, meninterpretasikan, menjelaskan dan menyimpulkan sebuah diskursus
yang sedang dihadapi dan sekaligus mengatur pemikiran sendiri (Facione, 1990). Dengan
berpikir kritis, seseorang akan mampu mengambil keputusan, memecahkan masalah,
dan bertindak seakurat mungkin.
Dalam pembelajaran, berpikir kritis sangat perlu
dikembangkan oleh tiap siswa karena keterampilan ini membantunya menjadi
pembelajar seumur hidup yang aktif dan efektif, memeroleh pemahaman,
mengevaluasi beragam perspektif, meningkatkan kemampuan memecahkan masalah,
mengelola pemikiran sendiri (Lai, 2009). Sebagaimana telah
disebutkan sebelumnya, pengembangan keterampilan berpikir dapat direalisasikan
dengan cara membimbing siswa agar tidak hanya memeroleh dan menghafal informasi
dan pengetahuan tetapi menggunakan informasi dan pengetahuan itu sebagai
konteks, bahan, dan kesempatan untuk meningkatkan keterampilan berpikir. Dengan
kata lain, keterampilan berpikir kritis harus diintegrasikan ke dalam aktivitas
pembelajaran.
Kreativitas
Kreativitas adalah sebuah proses, produk, atau interaksi yang menghasilkan ide,
pemikiran, atau produk baru dengan menggunakan keterampilan berpikir kreatif.
Berpikir kreatif itu sendiri merupakan keterampilan yang digunakan untuk
menghasilkan ide-ide baru yang baru (orisinal), efektif, dan etis (Cropley, 2011). Unsur orisinalitas (kebaruan) mempersyaratkan bahwa kreativitas harus berupa produk, tindakan, atau ide yang berbeda dengan yang telah ada. Keefektifan mempersyaratkan bahwa kreatifitas yang baik harus merupakan produk, tindakan, atau ide yang bisa diterapkan dan bermanfaat bermanfaat, baik secara estetis, artistik, spiritual, maupun material. Aspek etis menekankan bahwa kreatifitas tidak boleh bersifat destruktif, egoistik, kriminal dan membahayakan. Kreativitas dihasilkan dengan cara: (a) menghubungkan dan mengkombinasikan beberapa ide lama menjadi sebuah
atau beberapa ide baru; (b) mereduksi elemen ide-ide lama untuk menciptakan
sebuah atau beberapa ide baru yang lebih efektif; (c) mengeksplorasi sebanyak
mungkin kemungkinan yang terdapat dalam konsep-konsep yang ada sesuai dengan
kaidah-kaidah saat ini; dan (d) mengubah satu atau beberapa kaidah yang ada
secara signifikan untuk membentuk konsep-konsep baru.
Unsur kebaruan, efektivitas, dan etik dalam kreativitas membuatnya selaras dengan pembelajaran, khususnya pembelajaran yang berlandaskan konstruktivisme. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, konstruktivisme memandang pembelajaran sebagai proses membangun pemahaman dan pengetahuan dari pengalaman dengan cara merefleksikan pengalaman tersebut. Dengan demikian, pembelajaran dan kreativitas sama-sama merupakan proses untuk membentuk sesuatu. Selain itu, jika seorang pemikir kreatif membuat sesuatu yang baru, siswa yang belajar dengan menerapkan konstruktivisme juga merupakan kreator pengetahuan, bukan penerima pengetahuan yang pasif. Sebagai creator, siswa secara aktif bereksplorasi, bertanya, dan menilai apa yang sudah diketahuinya. Singkatnya, pembelajaran dan berpikir kreatif merupakan dua proses yang berlangsung secara tumpang tindih dan saling menguatkan.
Unsur kebaruan, efektivitas, dan etik dalam kreativitas membuatnya selaras dengan pembelajaran, khususnya pembelajaran yang berlandaskan konstruktivisme. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, konstruktivisme memandang pembelajaran sebagai proses membangun pemahaman dan pengetahuan dari pengalaman dengan cara merefleksikan pengalaman tersebut. Dengan demikian, pembelajaran dan kreativitas sama-sama merupakan proses untuk membentuk sesuatu. Selain itu, jika seorang pemikir kreatif membuat sesuatu yang baru, siswa yang belajar dengan menerapkan konstruktivisme juga merupakan kreator pengetahuan, bukan penerima pengetahuan yang pasif. Sebagai creator, siswa secara aktif bereksplorasi, bertanya, dan menilai apa yang sudah diketahuinya. Singkatnya, pembelajaran dan berpikir kreatif merupakan dua proses yang berlangsung secara tumpang tindih dan saling menguatkan.
Esensi
Pengembangan 4Cs
4Cs perlu dikembangkan dalam diri siswa saat ini karena dua alasan
mendasar. Alasan pertama, 4Cs merupakan keterampilan belajar yang sangat
esensial. Sebagaimana telah diuraikan di bagian konstruktivisme, siswa dapat
merekonstruksi pengalaman menjadi pengetahuan
baru secara lebih bermakna hanya jika pengetahuan itu diklarifikasi kepada
orang lain melalui curah-gagasan, diskusi, debat, atau pemecahan masalah
bersama. Semua aktivitas pembelajaran ini memerlukan interaksi, dan
untuk mewujudkan interaksi, keterampilan berkomunikasi dan berkolaborasi merupakan
syarat utama. Di bagian skenario mengaktifkan
keterampilan berpikir dalam pembelajaran juga telah digambarkan bahwa
pembelajaran yang hakiki (true learning)
tidak cukup hanya sampai pada kemampuan
menyimpan dan mengakses informasi dari memori jangka panjang tetapi juga
harus melibatkan dan sekaligus mengembangkan HOTs, dan wujud utama HOTs adalah
keterampilan berpikir kritis dan kreativitas. Singkatnya, aktivasi 4K dalam
pembelajaran tidak hanya membantu siswa menguasai pengetahuan tetapi juga mentransformasi
siswa menajadi individu yang berkemampuan 4K yang tinggi.
Alasan kedua adalah hasil penelitian dan
pengalaman yang menunjukkan bahwa 4Cs merupakan
pembeda antara siswa yang siap dan siswa yang tidak siap menghadapi lingkungan kehidupan
dan pekerjaan yang semakin kompleks di Abad 21 (Partnership for 21st Century, 2011a).
Hasil-hasil penelitian menunjukkan pentingnya 4Cs dalam dunia pekerjaan saat ini
dan di masa yang akan datang. Dalam paparan World Economic Forum (Grey, 2016), terlihat
dengan jelas bahwa 4Cs merupakan bagian dari 10 keterampilan utama yang
diperlukan dalam Revolusi Industri 4.0. Selain itu, survei American
Management Association. (2019) terhadap 2,115 manajer dan pemimpin eksekutif di
berbagai perusahaan di Amerika Serikat mengungkapkan 4Cs
mrupakan keterampilan yang sangat diperlukan pada saat ini dan dimasa depan.
Lebih dari 75% responden yakin bahwa 4Cs akan
semakin berperan penting bagi perusahaan mereka beberapa tahun ke depan,
sebagai dampak dari percepatan perubahan di dunia bisnis, persaingan global,
penyesuaian terhadap perubahan dalam menyelesaikan pekerjaan, dan tuntutan
perubahan struktur organisasi perusahaan.
Pengembangan 4Cs dalam pembelajaran tidak hanya membantu siswa untuk
suskses dalam pembelajaran tetapi juga memfasilitasi mereka untuk berhasil
dalam tahap kehidupan selanjutnya, baik untuk studi lanjut maupun dalam
kehidupan bermasyarakat dan pekerjaan.
Mengembangkan Keterampilan Berkomunikasi Melalui OL
Mengembangkan Keterampilan Berkomunikasi Melalui OL
Keberadaan
unsur lingkungan komunikasi OL dalam BL memfasilitasi tiga manfaat dalam
pengembangan komunikasi, yakni: dorongan untuk berkomunikasi secara jelas dan efektif,
esensi untuk berkomunikasi secara konsisten, dan kelancaran serta fleksibilitas
waktu untuk berkomunikasi. Berbeda dengan komunikasi konvensional yang
berlangsung di F2FL yang pada umumnya tidak terrekam, setiap komunikasi daring
yang tertulis di LMS langsung terrekam (kecuali jika dihapus) dan dapat dibaca
oleh semua penghuni kelas. Kondisi ini menuntut semua siswa (dan guru) untuk
berkomunikasi dengan jelas dan efektif.
Konsistensi idea atau pesan yang dikomunikasikan dapat terdeteksi dengan jelas dalam LMS karena adanya kemudahan membuat tautan (link) antar unsur-unsur pembelajaran. Sebagai contoh, karena silabus yang tersedia di perpustakaan LMS dapat diakses kapan saja, siswa dapat langsung menyesuaikan pertanyaan atau umpan balik yang akan diberikan kepada teman sekelas dengan tujuan pembelajaran yang tertera dalam silabus. Siswa juga dapat memeriksa apakan komentar yang diberikan pada hari ini konsisten dengan komentar yang diberikan pada waktu-waktu yang lalu. Dengan demikian, setiap anggota kelas dapat selalu memeriksa konsistensi ide atau pesan masing-masing dalam berkomunikasi.
Konektivitas yang berlangsung sepanjang waktu melalui internet membuat komunikasi melalui LMS berlangsung lancar dan fleksibel. Siswa dapat ‘memposting’ pertanyaan atau umpan balik kapan saja tanpa harus menunggu giliran. Komunikasi juga dapat dilakukan kapan dan dari mana saja. Oleh karena itu, komunikasi menjadi lebih cair, lancar, dan fleksibel.
Konsistensi idea atau pesan yang dikomunikasikan dapat terdeteksi dengan jelas dalam LMS karena adanya kemudahan membuat tautan (link) antar unsur-unsur pembelajaran. Sebagai contoh, karena silabus yang tersedia di perpustakaan LMS dapat diakses kapan saja, siswa dapat langsung menyesuaikan pertanyaan atau umpan balik yang akan diberikan kepada teman sekelas dengan tujuan pembelajaran yang tertera dalam silabus. Siswa juga dapat memeriksa apakan komentar yang diberikan pada hari ini konsisten dengan komentar yang diberikan pada waktu-waktu yang lalu. Dengan demikian, setiap anggota kelas dapat selalu memeriksa konsistensi ide atau pesan masing-masing dalam berkomunikasi.
Konektivitas yang berlangsung sepanjang waktu melalui internet membuat komunikasi melalui LMS berlangsung lancar dan fleksibel. Siswa dapat ‘memposting’ pertanyaan atau umpan balik kapan saja tanpa harus menunggu giliran. Komunikasi juga dapat dilakukan kapan dan dari mana saja. Oleh karena itu, komunikasi menjadi lebih cair, lancar, dan fleksibel.
Beberapa
strategi umum yang dapat diterapkan untuk mengembangkan kemampuan berkomunikasi
melalui OL adalah: (1) melatih siswa membuat dan menggunakan ungkapan yang baik
untuk memulai dan mengakhiri interaksi, bertanya, menanggapi, dan meminta
tolong. Penguasaan kemampuan ini akan mengurangi keengganan dan kecemasan siswa
berkomunikasi di LMS; (2) menugaskan siswa untuk memberi umpan balik kepada
setiap pertanyaan atau pernyataan teman; (3) menugaskan siswa bekerja dalam
kelompok dan saling berbagi ide dan pengalaman yang diperoleh setelah
mempelajari sebuah topik; dan (4) menugaskan siswa berdebat dalam
kelompok-kelompok ‘pro’ dan ‘kontra’ tentang sebuah isu terkait dengan topik
yang dipelajari.
Mengembangkan
Keterampilan Berkolaborasi Melalui OL
Lingkungan
pembelajaran OL sangat potensial memperkaya pelaksanaan kolaborasi yang
dilangsungkan di sesi F2FL. Sekelompok siswa yang sedang menulis makalah atau
proposal, misalnya, dapat berkolaborasi dengan cara menulis dalam format editable MSWdocs melalui Google Drive.
Dengan demikian, setiap anggota kelompok dapat berkontribusi langsung
mengungkapkan ide, mengomentari ide teman, atau mengedit draf yang sama. Selain
itu, waktu untuk melaksanakan aktivitas kolaborasi dapat dilakukan secara
fleksibel dan darimana saja.
Kolaborasi
dan komunikasi berkaitan sangat erat. Dengan demikian, aktiivitas berkomunikasi
juga melibatkan kolaborasi, dan sebaliknya. Selain strategi yang menugaskan
siswa berkelompok dalam strategi pengembangan komunikasi di atas, beberrapa
strategi lain yang dapat diterapkan untuk mengembangkan kemampuan berkolaborasi
melalui OL adalah: (1) menugaskan siswa saling berpasangan untuk mengulas dan
memberi masukan pada tulisan (alinea, esai, makalah, atau laporan) pasangan
masing-masing; dan (2) menugaskan siswa mengerjakan sebuah proyek (karya tulis,
sketsa, poster, dll.) secara daring.
Mengembangkan
Keterampilan Berpikir kritis Melalui OL
Sebagaimana telah diungkapkan sebelumnya, berpikir kritis
merupakan kemampuan menganalisis, menginterpretasikan, menjelaskan dan
menyimpulkan sebuah diskursus yang sedang dihadapi dan sekaligus mengatur
pemikiran sendiri. Dengan demikian, berpikir kritis selalu terlibat dalam
aktivitas dan pengembangan tiga keterampilan 4Cs lainnya. Ketika berkomunikasi
melalui forum diskusi dalam LMS, misalnya, setiap akan berhadapan dengan
berbagai umpan balik yang disampaikan teman-temannya melalui pespektif yang
berbeda-beda. Agar dapat menyimpulkan secara akurat, siswa perlu menganalisis,
menginterpretasikan, dan menilai berbagai umpan balik itu secara akurat.
Berpikir kritis juga diperlukan ketika berkolaborasi. Setiap
kolaborasi, khususnya dalam pembelajaran, membutuhkan dan sekaligus
mengembangkan interdependensi positif, akuntabilitas
individu, dan keterampilan komunikasi interpersonal.
Dalam
praktik, semuahal itu diwujudkan melalui aktivitas berpikir kritis,
khususnya mengajukan pertanyaan yang sesuai, mengumpulkan dan
memilah-milah informasi yang relevan secara kreatif, menghubungkan informasi
baru dengan pengetahuan yang ada, menguji kembali keyakinan, bernalar secara
logis, dan menarik kesimpulan yang andal dan dapat dipercaya.
Untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa, guru
perlu mengembangkan sikap tidak-berpihak dan menghilangkan prasangka. Hal
ini dapat dilakukan dengan cara meminta siswa secara aktif mengadopsi sudut pandang
yang berbeda dari yang semula dimilikinya. Dengan
demikian, mereka akan terbiasa mendeteksi bias dalam berpikir. tentang dunia. Sikap tidak berpihak dan tanpa
prasangka itu perlu diterapkan dalam setiap diskusi atau debat. Akan tetapi, guru juga perlu mengelola diskusi dan debat
secara hati-hati dan bijaksana agar pengembangan sikap tidak berpihak dan tanpa
prasangka itu tidak malah menghambat motivasi dan kelancaran siswa berdiskusi
dan berdebat.
Beberapa
strategi umum yang dapat diterapkan untuk mengembangkan kemampuan berkomunikasi
melalui OL adalah: (1) melatih siswa untuk menerapkan keterampilan membaca
kritis, seperti membedakan fakta dan opini, menginterpretasikan makna
konotatif, mendeteksi logika yang keliru, mengidentifikasi ungkapan-ungkapan
propaganda, dan sebagainya, setiap kali mereka membaca teks apa saja; (2)
menugaskan siswa melakukan penelitian tentang topik tertentu secara daring,
lalu menggunakan hasilnya dalam debat yang juga diselenggarakan secara daring;
(3) mendorong siswa mengkritisi topik yang baru dipelajari dengan meminta
mereka menjawab pertanyaan-pertanyaan yang memicu pemikiran kritis, seperti
“Apakah poin-poin pendukung yang digunakan dalam pelajaran ini relevan,
mutakhir, dan meyakinkan?”, “Poin apa yang paling penting/tidak penting dalam
pelajaran ini?”, dan “Unsur atau ide apa yang dapat ditambahkan untuk membuat
ide pokok dalam pelajaran ini lebih baik?” TeachThought
Staff (2019) menyajikan 48 pertanyaan yang dapat memicu pemikiran kritis dalam
semua mata pelajaran.
Mengembangkan Kreativitas
Melalui OL
Menurut
Wallas (dalam Torrence, 1988), proses kreativitas berlangsung dalam empat
tahap, yaitu: persiapan, inkubasi, iluminasi, dan verifikasi. Pada tahap
persiapan berlangsung penyerapan informasi dari berbagai sumber (referensi,
lingkungan, orang) yang terkait dengan topik atau masalah yang dihadapi.
Beragam informasi kemudian disaring, dievaluasi dari berbagai perspektif, dan
dihubungkan satu sama lain. Di tahap inkubasi, dilakukan relaksasi dan coolingdown.
Individu melepaskan diri untuk sementara masalah tersebut dengan cara tidak
memikirkan masalah tersebut secara sadar, tetapi “mengeramkannya’ dalam alam
pra sadar. Pada tahap gagasan cerdas untuk mengatasi persoalan muncul. Pada
tahap verifikasi, gagasan-gagasan yang diperoleh kemudian dianalisis dan diuji
manfaat serta kebermaknaannya. Jika ternyata gagasan yang muncul bukan
merupakan solusi terbaik, individu mencari tahu penyebabnya. Jika gagasan
tersebut ternyata merupakan solusi terbaik, individu dapat menerapkannya sambil
mereview proses kreatif yang telah dilakukan untuk memahami apakah proses
tersebut dapat diulangi pada proses pemecahan masalah kreatif lain di masa yang
akan datang.
Keberadaan
lingkungan pembelajaran OL dalam BL sangat mendukung proses kreativitas, karena
internet merupakan lingkungan yang luas dan kaya dengan informasi, pengetahuan
dan media. Selain itu, informasi-informasi tersebut dapat dijelajahi dan diakses dengan mudah dengan menggunakan mesin pencari. Kondisi ini sangat mendukung tahap persiapan dalam proses
kreativitas, karena individu dapat mengakses informasi dalam format teks,
video, gambar, atau suara, sebanyak yang dia inginkan. Kesempatan untuk
menuangkan ide dalam berbagai format juga sangat menunjang kreatifitas. Dalam
BL, misalnya, siswa dapat membuat produk (tugas) tidak hanya dalam bentuk teks,
tetapi juga dalam bentuk video, sketsa, atau peta pikiran.
Beberapa
strategi umum yang dapat diterapkan untuk mengembangkan kreativitas melalui OL
adalah: (1) menugaskan siswa mendefinisikan beberapa terminologi yang digunakan
dalam topik yang baru dipelajari dengan menggunakan ungkapan sendiri; (2) menugaskan
siswa mengungkapkan sebuah konsep dengan menggunakan peta pikiran; (3)
menugaskan siswa menulis alinea atau artikel tentang topik yang baru dipelajari
lalu mempublikasikannya dalam blog. Setelah itu setiap siswa diminta saling menanggapi
tulisan dengan cara menuliskan komentar terhadap tulisan tulisan itu. Selain mengembangkan
kreativitas, aktivitas ini juga mengembangkan keterampilan berkomunikasi dan
berpikir kritis.
Silahkan lanjutkan membaca bagian keempat modul ini, Komponen Pembangun Blended Learning
Comments
Post a Comment