Pendahuluan
Sebagai bagian dari upaya mencegah penyebaran
virus corona, sejak Maret hingga mei 2020, UNESCO mencatat
lebih dari 1,2 miliar siswa di 182 negara ditugaskan belajar dari
rumah. Di Indonesia, siswa yang belajar dari rumah berjumlah lebih dari 68
juta. Untuk memfasilitasi pembelajaran mereka, sebagian besar kampus atau
sekolah mengimplementasikan pembelajaran daring (dalam jaringan) atau pembelajaran
luring (luar jaringan). Pembelajaran daring dilakukan melalui jaringan
internet, sedangkan pembelajaran luring dilakukan dengan memanfaatkan televisi,
radio, dan modul, buku teks atau lembar kerja siswa.
Artikel ini menyoroti pembelajaran daring, yang
seharusnya tidak lagi merupakan metode yang asing bagi pelajar di Indonesia,
khususnya pelajar sekolah menengah dan perguruan tinggi yang berdomisili di
kota besar seperti Jakarta dan sekitarnya karena dua alasan. Pertama,
masyarakat di Jakarta dan sekitarnya memiliki kesempatan yang cukup untuk
menggunakan jaringan internet. Kedua, minat pelajar Indonesia menggunakan TIK
sangat tinggi. Penelitian Cambridge International (2018) menunjukkan penggunaan ruang komputer oleh pelajar Indonesia adalah yang
tertinggi secara global (40%). Penggunaan komputer desktop oleh
pelajar Indonesia juga merupakan yang tertinggi kedua (54%) setelah AS. Selain
itu, 67% siswa Indonesia menggunakan smartphone
di kelas dan 81% mereka menggunakannya untuk membantu mengerjakan pekerjaan
rumah. Persentase siswa Indonesia yang menggunakan laptop untuk mengerjakan
pekerjaan rumah mencapai 85%, sedikit lebih rendah dari siswa di AS (85%). Minat
pelajar Indonesia yang tinggi menggunakan TIK juga terungkap melalui survei APJII (2018) yang mungungkapkan hamper 65% penduduk Indonesia menggunakan
internet, dengan rincian: 25.2% anak-anak berusia 5-9 tahun telah menggunakan
internet; yang berusia10-14 tahun, 66,2%, dan remaja berusia 15-19 tahun, 91%; dan penduduk berusia 20-24 tahun, 88%.
Berdasarkan
latar belakang tersebut, adalah sangat menarik untuk melihat implementasi pembelajaran
daring di kalangan pelajar di Jakarta dan sekitarnya selama pelaksanaan
“learning from home” akibat wabah COVID 19. Pemahaman tentang implementasi pembelajaran
daring diharapkan bisa memberi gambaran tentang perangkat dan platform apa yang digunakan, apakah
para siswa memang cukup akrab dengan pembelajaran daring, apakah minat mereka yang
tinggi terhadap penggunaan TIK mendukung pembelajaran daring tersebut, apakah
fasilitasi yang disediakan guru sudah efektif, dan kendala apa saja yang dihadapi
oleh siswa.
Data
yang digunakan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dikumpulkan oleh para mahasiswa
yang mengikuti kelas Metodologi Penelitian yang penulis ampu. Untuk
menyelesaikan tugas akhir semester, mereka diminta melakukan survai daring
terhadap siswa SD, SMP, SMA dan perguruan tinggi. Data yang digunakan dalam
artikel ini mencakup data yang dikumpulkan mahasiswa dari responden di Jakarta
dan sekitarnya melalui survai daring dengan menggunakan Google Form. Untuk mencegah
duplikasi responden setiap penjaring data meminta agar partisipan yang telah
merespon survei yang sama dari mahasiswa lain untuk tidak ikut mengisi
kuesioner. Survai dilaksanakan pada tanggal 1 hingga 7 Juni 2020.
Jenjang
Pendidikan Responden
Responden
survai ini terdiri dari 402 siswa/mahasiswa. Responden terbanyak adalah
kalangan mahasiswa (41%), yang kemudian diikuti oleh siswa SLTA (24%), SMP
(20%), dan siswa SD (15%). Kurang meratanya jumlah responden beradasarkan
jenjang pendidikan dalam survai ini sangat wajar karena teknik yang digunakan
untuk menjaring responden adalah convenience
sampling. Data dijaring dengan cara menyebarkan tautan (link) kuesoiner daring melalui WA kepada
kerabat, teman, dan tetangga. Pihak-pihak yang bersedia mengisi kuesioner
daring tersebut kemudian dijadikan sebagai responden. Karena survey ini
ditujukan untuk menggambarkan persepsi siswa tentang pengalaman mereka
mengikuti pembelajaran daring secara umum, proposi responden berdasarkan
jenjang pendidikan yang tidak berimbang itu tidak terlalu menjadi masalah.
Pengalaman Mengikuti
Pembelajaran Daring Sebelum Wabah
Dilihat dari praktik sebelum wabah, ditemukan bahwa 37% responden
sudah pernah mengikuti pembelajaran daring. Dengan demikian, hampir 2/3 dari mereka
sama sekali belum memiliki pengalaman pembelajaran daring sewaktu “dipaksa”
melakukannya karena pandemi virus corona (Gambar 2).
Sarana
Pembelajaran yang Digunakan:
Gambar
3 memperlihatkan bahwa kebanyakan responden mengikuti pembelajaran daring
dengan menggunakan smartphone (54%) lalu laptop (34%), desktop (8%), dan
terakhir iPad/Tablet (4%). Tingginya penggunaan smartphone kemungkinan besar
disebabkan oleh kenyataan bahwa perangkat itu merupakan sarana yang dimiliki
oleh mayoritas responden. Namun temuan ini mengkonfirmasi temuan Cambridge International (2018) yang
mengungkapkan tingkat penggunaan smartphone dan laptop di kalangan
pelajar Indonesia sangat tinggi.
Media/Flatform yang
digunakan
Gambar 4 memperlihatkan bahwa 26% responden yang
difasilitasi oleh guru/dosen untuk belajar dengan menggunakan learning management system (LMS), baik yang
dimiliki sekolah atau software open source di internet. Responden lain (29%)
melakukan pembelajaran melalui WA yang dikombinasi dengan berbagai media atau
program lain (zoom, hangout, email, YouTube, dll); 20% menggunakan WA plus 1
program lain; dan 25% hanya menggunakan WA.
Komunikasi dengan Guru dan Teman Sekelas
Komunikasi
responden dengan guru/dosen kelihatannya sangat minim. Gambar 4 mengungkapkan
hanya 41% responden yang selalu atau sering berkomunikasi; dengan guru/dosen.
33% jarang berkomunikasi dengan guru/dosen, dan 26% tidak pernah sama sekali.
Komunikasi dengan sesama teman sekelas sedikit lebih intensif daripada dengan
guru. Sebanyak 58% responden selalu atau sering berkomunikasi; dengan teman;
25%, jarang; dan 17% tidak pernah.
Minimnya komunikasi dengan guru/dosen membuat pembelajaran
kolaboratif yang berperan sebagai kunci keberhasilan dalam pembelajaran daring
tidak berjalan. Su dkk melaporkan
bahwa interaksi siswa dengan guru dan siswa dengan siswa lainnya adalah
faktor kunci dalam program pembelajaran daring berkualitas. Dengan berbagi
umpan balik yang intensif, siswa menjadi terlibat dalam proses pembelajaran,
dan pada saat yang sama kesepian atau perasaan terisolasi mereka berkurang.
Permasalahan yang Dihadapi
Sebagaimana
terlihat dalam Gambar 6, mayoritas responden (56%) memandang kesulitan
berdiskusi dengan guru sebagai kendala utama dalam pembelajaran daring yang
mereka alami. Hal ini terkait dengan temuan dalam Gambar 4, yang mengngkapkan hanya 41% responden yang selalu atau sering
berkomunikasi; dengan guru/dosen. Minimnya komunikasi mengakibatkan diskusi
terhambat. Minimnya diskusi membuat pemberian dan penerimaan umpan balik terhambat.
Kendala
utama kedua, menurut responden adalah kurang mendukungnya media/platform yang
digunakan. Temuan yang dipaparkan dalam Gambar 4
memperlihatkan bahwa 26% responden yang difasilitasi untuk belajar dengan
menggunakan learning management system (LMS). Pembelajaran
daring membutuhkan LMS sebagai pengganti ruangan kelas dalam pembelajaran tatap
muka. LMS berfungsi sebagai perpustakaan, tempat penyimpanan arsip, dan lokasi
berdiskusi. Dengan adanya LMS, seluruh materi, media, interaksi dan
panduan-panduan kelas daring bisa diintegrasikan. Karena mayoritas responden
hanya difasilitasi untuk menggunaan WA dengan atau tanpa dukungan berbagai
media/software lainnya, konten, media, dan aktivitas pembelajaran menjadi sporadis
dan tidak terintegrasi.
Mengapa kebanyakan pembelajaran daring selama pandemi
COVID 19 ini tidak menggunakan LMS? Dapat dipastikan hal ini terjadi karena
sekolah atau guru tidak siap meneyelenggarakan pembelajaran daring karena dua
hal. Pertama, pandemi itu datang tiba-tiba sehingga sekolah dan guru tidak bisa
membuat persiapan. Kedua, guru belum pernah berlatih merancang dan
menyelenggarakan pembelajaran daring.
Kendala berikutnya adalah tugas yang terlalu
banyak. Sebanyak 51% responden mengatakan guru mereka menyuruh mereka untuk
mengerjakan terlalu banyak tugas. Kendala ini terkait erat dengan kurangnya
pemahaman dan keterampilan guru merancang dan mengimplementasikan pembelajaran
daring. Karena kurang memahami apa yang harus dilakukan, banyak dari mereka hanya sekedar menyuruh siswa
membaca, meringkas, atau mengerjakan latihan atau proyek. Temuan ini
mengklarifikasi keluhan-keluhan yang diterima KPAI
tentang penerapan pembelajaran daring selama pandemic COVID 19. Banyak siswa yang
mengeluhkan betapa membosankan, melelahkan, dan tidak efektifnya pembelajaran
tersebut.
Jumlah responden yang memandang kesulitan
berkomunikasi dengan teman sebagai kendala cukup besar (42%). Hal ini tidak
terlepas dari kenyataan bahwa pemberian dan penerimaan umpan balik tidak hanya
terjadi melalui interaksi dengan guru tetapi juga dengan teman. Dalam konteks
pembelajaran siswa dewasa (SLTA dan PT), memberi dan menerima umpan balik
dengan sesam teman kadang kadang lebih efektif sibandingkan dengan guru. Pardede
(2020) menjelaskan bahwa umpan balik guru cenderung diterima oleh siswa tanpa
pertanyaan karena guru dianggap sebagai 'ahli'. Akibatnya, umpan balik guru seringkali
langsung mengakhiri diskusi. Sebaliknya, umpan balik dari teman dipandang masih
sangat mungkin untuk dipertanyakan dan diklarifikasi. Dengan demikian, pembelajaran
kolaboratif melalui diskusi menjadi berkembang.
Selain melalui pesan tertulis, komunikasi juga
dapat dilakukan melalui videocall atau webinar. Namun cara ini berbenturan
dengan keterbatasan paket data yang dimiliki dan kecepatan internet. Sebanyak 41%
responden menyatakan mereka terganggu karena internet yang ‘lemot’. Untuk
mengatasi permasalahan infrastruktur seperti ini, di masa yang akan datang, peran
pemerintah sangat diharapkan. Dengan dukungan Palapa
Ring yang diresmikan oleh
presiden Jokowi 14 Oktober 2019 lalu, kendala seperti ini seharusnya dapat
diatasi.
Kesimpulan
Ketidaksiapan guru merancang dan
menyelenggarakan pembelajaran daring, keterbatasan infrastruktur (jaringan internet)
serta peralatan yang digunakan, dan minimnya pengalaman siswa mengikuti
pembelajaran daring membuat sebagian besar siswa di Jakarta dan sekitarnya
tidak dapat belajar secara efektif selama pemberlakuan pembelajaran daring di
masa pandemi COVID 19. Dengan demikian, faktor utama yang mengakibatkan permasalahan-permasalahan
dalam pembelajaran daring itu tidak bersumber pada metode pembelajaran daring
tetapi ketidaksiapan guru, siswa, dan keterbatasan infrastruktur dan media.Jika
faktor-faktor ini diatasi, pembelajaran daring merupakan salah satu metode alternatif
yang dapat digunakan untuk menyelenggarakan pembelajaran berkualitas di masa
yang akan datang.
Dengan atau tanpa pandemic COVID 19, pemanfaatan teknologi melalui
pembelajaran daring pada dasarnya sudah menjadi kebutuhan untuk membekali siswa
dengan keterampilan yang diperlukan di era Industri 4.0. akan tetapi, beberapa
faktor pembelajaran tatap muka ternyata tidak dapat digantikan oleh
pembelajaran daring. Oleh karena itu, jika kondisi lingkungan sudah memungkinkan
untuk melakukan pembelajaran tatap muka di sekolah, mengombinasikan pembelajaran
daring dan tatap muka menjadi “blended
learning” merupakan pilihan terbaik. Dengan mengimplementasikan blended
learning, siswa cukup menghadiri pembelajaran tatap muka sebanyak 2 atau 3 hari
per minggu. Aktivitas pembelajaran lainnya dilakukan secara daring. Untuk
mendukung blended learning, kompetensi guru dan infrastruktur serta fasilitas
pendukung lainnya, tentu saja harus dipersiapkan. ***
Apa pendapat Anda tentang hasil survei ini? Pengalaman dan pandangan Anda dapat memperkaya pemahaman bersama tentang pembelajaran daring. Silahkan tuliskan pada bagian "Comments" di bawah ini.
Apa pendapat Anda tentang hasil survei ini? Pengalaman dan pandangan Anda dapat memperkaya pemahaman bersama tentang pembelajaran daring. Silahkan tuliskan pada bagian "Comments" di bawah ini.
Comments
Post a Comment