Skip to main content

Selagi Masih Ada Waktu



Selagi Masih Ada Waktu
(Cerita Pendek)
Karya: Taruli M.P.

We are only given today and never promised tomorrow. So make sure you tell the people who are special in your life, that you love them (Anonymous)


Masih segar diingatanku. Waktu itu aku kelas 3 SD. Sekolahku mengadakan perayaan Hari Ibu. Tiap murid disuruh membuat sebuah kartu atau poster dengan tulisan seindah mungkin sebagai ungkapan terima kasih pada Ibu. Semua teman sekelasku langsung sibuk dengan kartu atau poster masing-masing. Tapi aku enggan membuatnya. Aku memilih menulis buku harianku. 
      “Nay,  mengapa kamu tidak membuat kartu atau poster?” Bu Mira, wali kelasku bertanya sambil menghampiriku.
“Percuma Bu Guru. Mamaku tidak akan hadir pada perayaan itu. Mamaku tidak punya waktu,” kataku. Mamaku memang wanita karir yang super sibuk. Sejak aku masuk TK, kuingat jarang sekali Mama punya waktu untukku. Aku bahkan tidak ingat hangatnya pelukan seorang Mama seperti kata teman-temanku. Semua kebutuhanku memang dipenuhi oleh Mama. Pakaian, mainan-mainan mahal dan makanan kesukaanku selalu tersedia. Bahkan aku disekolahkan di sekolah yang mahal, dengan fasilitas serba ada. Tapi apa yang kuperlukan, apakah aku besok masuk sekolah atau libur, bahwa aku suka seafood dan es krim vanilla, semua diketahui Mama dari Bibi pengasuhku.
      Walaupun tidak pernah kuutarakan pada Mama, aku sebenarnya sangat sedih karena Bibilah yang selalu paling pertama mengucapkan selamat ulang tahun di hari lahirku. Mamaku? Dia lebih banyak bertugas di luar kota atau di luar negeri. Bahkan ketika aku libur sekolah, mama sering bertugas di luar kota. Dan jika Mama sedang di rumah, dia tetap sibuk dengan laptopnya. Tiap kali aku menghampirinya paling-paling Mama bilang, “Sebentar ya!” atau “Nanti ya!” atau “Sama Bibi dulu ya!”
Ayahku? Lebih parah dari Mama. Dia seolah tak pernah ada. Dia tinggal di luar pulau, mengawasi proyek dan pabrik. Paling-paling dia pulang ke rumah 6 bulan sekali. Itupun hanya beberapa hari, Dan ketika di rumah, dia lebih sering stand by di depan laptopnya. Komunikasiku dengan Ayah hanya berlangsung lewat video call di akhir pekan.
Kesibukan Ayah dan Mama membuat mereka tak sempat memelukku, apalagi melihat perubahan yang terjadi pada diriku. Mereka tak pernah tahu apakah aku berjerawat atau badanku demam. Karena kesepian, kadang-kadang aku merasa hanya seperti boneka, berwujud tapi tidak bernyawa.
Secara fisik aku memang bertumbuh baik. Semua kebutuhanku terpenuhi, bahkan berlimpah. Tapi aku hanya bagai burung di dalam sangkar emas. Untunglah aku punya Bibi, yang selalu ada untukku. Dia yang membangunkan, memberi makan, menemani ketika belajar, menjaga di kala sakit. Semuanya hanya dengan Bibi. Dia memang merawatku dengan baik dan sudah menganggapku seperti anaknya sendiri. Mungkin itu yang membuat Mama sangat mempercayai Bibi untuk mengasuh dan membesarkanku.
Karena sudah terbiasa dengan kondisi itu sejak aku masuk TK, aku tidak yakin Mama bisa hadir pada perayaan Hari Ibu di sekolahku. Kutegaskan kembali pada diriku sendiri, “Ngapain aku harus cape membuat poster?”
Tapi suara Bu Mira membuyarkan kenangan-kenangan masa laluku. “Oh ya? Nanti Ibu akan telfon Mamamu. Ibu janji! Semua mama wajib hadir di hari Ibu nanti,”
Mendengar janji Bu Mira yang meyakinkan, kututup buku harianku dan aku pun mulai sibuk membuat poster. Kuingat Mama sangat suka warna bitu muda. Baju, sepatu dan tas Mama banyak sekali yang berwarna biru muda,. Makanya posterku kubuat dengan warna dasar biru muda. Kehadiran Mama di acara Hari Ibu nanti sangat istimewa bagiku. Aku ingin membuat poster terindah yang pernah ada untuknya.
Karena waktu di sekolah tidak cukup, Bu Mira meminta kami menyelesaikan poster di rumah. Ditemani oleh Bibi, aku mengerjakan poster itu sebagus mungkin. Semua sisi poster kutempeli dengan gulungan-gulungan kertas daur ulang yang kucat dengan warna pink dan campuran gliter silver yang berfungsi sebagai bingkai. Di tengah poster kutempelkan fotoku ketika aku masih bayi disaat Mama sedang mendekap dan menyusuiku. Dibawah foto itu kutuliskan:
Ibu, ingin rasanya aku kembali menjadi bayi mungilmu, agar Ibu banyak waktu untuk memelukku, mendekapku, dan menciumku.”
Yang selalu rindu kehadiranmu,
Nayla

Tulisan itu kubuat dengan menggunakan cat akrilik berwarna-wani hingga timbul seperti tulisan 3 dimensi. Ketika membaca tulisan itu, Bibi meneteskan air mata … Melihatnya menangis aku ikut sedih. Tapi, ah… entahlah…, kala itu, aku hanya ingin kembali jadi anak bayi saja, supaya Mama dan Ayah selalu ada di dekatku.
Begitu poster selesai, Bibi dengan antusias memelukku dan berkata, “Wah, posternya bagus sekali, Non. Mama Non, pasti senang menerimanya!”
“Terima kasih, Bi!” sahutku.
“Sekarang Non Nayla mandi, ya! Bibi siapkan makan malam.”
Saat aku di kamar mandi, samar-samar kudengar Bibi menelepon Mama. “Nyonya, jangan lupa hari Sabtu ada acara di sekolah Non Nayla. Non Nayla udah siapin hadiah spesial untuk nyonya. Maaf nyonya saya lancang. Saya cuma mengingatkan. Takut nyonya lupa. Nanti Non Nayla kecewa,” kata Bibi.
Entah apa jawaban mamaku. Yang pasti saat itu aku benar-benar berharap Mama datang. Apalagi Bu Mira juga berjanji menelfon Mama.
“Bi, tadi Bibi telepon Mama ya? Mama bilang apa, Bi?” tanyaku ketika kami di meja makan.
“Iya Non, besok sore nyonya akan pulang,” jawab Bibi sambil senyum gembira.
Betapa senangnya hatiku saat itu. Tak sabar rasanya menanti hari Sabtu. Setelah perayaan Hari Ibu di sekolah, aku ingin ajak Mama bermain ice skating walau hanya satu jam. Aku ingin tahu apa dan bagaimana rasanya bermain ice skating.
Hari Sabtu pagi pun tiba. Aku bangun dan berlari ke kamar Mama. Tapi tidak ada siapapun di sana.
“Bi! Bi!! Mama mana? Kata Bibi, Mama naik pesawat sore. Kalau pesawat sore harusnya malam sudah sampai. Kok, nggak ada di kamar?” tanyaku setengah berteriak.
“Oh…, iya, pesawatnya delay. Jadi, Mama Non Nay berangkat pagi ini. Kita telepon ya!” sahut bibi sambil mencet tuts telfon dan mengaktifkan speakernya.
“Iya… Hallo, Bi” jawab Mama.
“Ini Non Nay, nanyain Nyonya!” Bibi menyerahkan teleponnya padaku.
“Mama, selamat pagi! Ini Nay. Mama jadi datang kan?” kataku.
“Iya sayang, ini Mama sudah di bandara. Kamu berangkat duluan dengan Bibi ya. Nanti Mama langsung dari bandara.”
“Acaranya jam 10.00, loh, Ma!”
“Iya, iya. Ini Mama mau check-in.”
“Baik Ma! Nay tunggu di sekolah ya!”
“Ok sayang… See you!”
 Aku bergegas mandi, sarapan dan berangkat ke sekolah dengan Bibi dan supir. Kami tiba pukul 08.00. Sudah ramai yang hadir. Sebagian teman-temanku bersama Papa dan Mama mereka. Sebagian lagi hanya dengan Mama mereka. Seru rasanya melihat teman-teman dengan bangga dan bahagia bersama orang tua mereka.
Acara diawali dengan kata sambutan, perkenalan dengan Kepala Sekolah dan juga seminar singkat untuk orang tua. Pukul 09.30 .Mama belum juga muncul. Bibi pun tampak gelisah. Tatapannya terus berpindah dari jam tangannya, ke pintu aula, ke wajahku, lalu kembali ke jam tangannya..., ke pintu aula..., ke wajahku …
Pukul sepuluh tepat, kami semua siswa naik ke panggung membawa poster atau kartu untuk Mama masing-masing sambil menyanyikan lagu Bunda. Begitu lagu berakhir, semua teman-temanku turun panggung menghampiri Mama masing-masing. Tinggal aku sendiri di panggung memandang ke seluruh ruangan mencari Mama….
Berkali-kali aku mengamati seluruh area aula, Mamaku tetap tidak ada. Aku bingung harus berbuat apa. Tak kusadari aku telah terduduk di pangung sambil menanggis. Poster yang ada di tanganku kulemparkan entah kemana.
Tiba-tiba pundakku dipeluk erat. Ternyata Bu Mira. Tanpa melepaskan pelukannya, Bu Mira meminta maaf karena gagal menghadirkan Mamaku. Pelukan Bu Mira dan ucapannya sedikit mengurangi kesedihanku. Acarapun usai dan aku pun pulang bersama Bibi.
“Non, jangan sedih ya! Ternyata pesawat Mamanya Non delay lagi. Jadi karena sudah terlambat, Mamanya Non Nay menunda pulang. Non, maafkan Mama dan Bibi ya!”
Walau Bibi berusaha menghiburku, aku tak dapat menahan rasa kecewa. Apapun nanti alasan Mama, sulit bagiku untuk pernah percaya lagi padanya.
*****
Sejak saat itu hingga remaja aku tumbuh seperti zombie. Aku semakin kesepian. Mungkin karena menganggap aku sudah besar, Bibi tidak lagi menemaniku berbincang-bincang di kamarku atau menonton televisi bersamaku. Begitu menyelesaikan pekerja-annya, dia segera beristirahat di kamarnya, dan akupun mengurung diri ditemani buku harianku.
Karena jenuh dengan situasi seperti itu, suatu malam, aku nekat keluar rumah. Ku order taxi online untuk sekedar cuci mata ke sebuah mall. Bibi dan supir pribadi Papa tidak tahu. Sepertinya mereka sudah istirahat. Waw... indahnya kota Jakarta dari atas jalan tol. Yah… baru kali ini aku melihat Jakarta di malam hari. Dulu Mama pernah mengajakku jalan-jalan, tapi itu di siang hari, dan waktu itu aku masih TK.
Tiba di mall, aku menuju toko buku. Aku pengen beli beberapa buah buku harian dan novel seperti yang dibaca teman-temanku. Entah mengapa keluar dari rumah malam itu terasa sangat menyenangkan. Rasanya begitu lepas dan bebas. Tidak terasa aku sudah dua jam di sana, dan keluar karena toko mau tutup.
Ketika melalui restoran cepat saji 24 jam, kulihat pengunjungnya masih ramai. Aku masuk ke sana dan memesan ice cream vanilla kesukaanku. Kunikmati ice cream itu sambil membaaca sebuah novel yang baru kubeli.
“Hi, Nay! Tumben,” tiba-tiba seorang pria menghampiri mejaku.
“Oh… Lo, Andika. Bikin kaget aja,” sahutku setelah tahu yang datang adalah teman sekelasku.
“Sendiri?” tanyanya.
“Iya”
“Boleh gabung ya!”
“Silahkan” 
Tak lama kemudian Jojo, Yoel dan Christ menghampiri kami.
Sekitar satu jam kemudian kulihat jam tanganku sudah menunjukkan pukul 23.00. Aku order lagi taxi online.
Dika yang memperhatikanku langsung ngomong, “Udah malam. Pakai taxi online sendiri bahaya. Gue anterin ya!”
Akupun mengiyakan.
Sepanjang jalan kami hanya berbincang-bincang tentang orang tua kami. Dika ternyata hampir sama denganku. Ayahnya sudah tidak ada. Mamanya sibuk bekerja karena menjadi tulang punggung keluarga. Tapi Dika punya dua orang adik, satu perempuan dan satu laki-laki, jadi dia tidak begitu kesepian. Sementara aku? Hidup serasa di kuburan.
Sejak malam itu, Dika dan teman-temanya jadi sering main ke rumahku, khususnya di akhir pekan. Lumayanlah, aku tidak kesepian.
Ada banyak hari dan masa yang aku jalani sendiri. Ketika mengalami menstruasi, aku mencari tahu apa itu dan bagaimana mengatasinya melalui internet. Bahkan untuk menggunakan pembalut pun aku harus cari tahu dari internet. Semua aku lakukan sendiri, seperti anak yatim piatu.
Supaya tidak repot, rambutku kupotong pendek, biar sama kayak Dika dan teman-temannya. Bibi sempat marah karena takut Papa dan Mama akan memarahinya. Dia kuyakinkan agar tidak usah khawatir. Kalau Mama dan Papa menegur, emang gue pikirin!
Hingga aku kelas XII, pergaulanku dengan Dika dan teman-temannya tetap berlangsung, dan pergaulan kami tidak berdampak pada prestasi akademikku. Mungkin karena Dika anak baik. Aku beberapa kali bertemu mamanya. Orangnya hangat dan melindungi. Walaupun dia sibuk, komunikasinya dengan Dika tetap lancar. Dika bahkan didukung dan diberi kepercayaan menjadi kakak yang mengayomi dan ngemong adik-adiknya. Kadang-kadang aku iri sama Dika. Karena secara akademik aku termasuk berprestasi, mama Dika sangat senang kami berteman. Bahkan adik-adik Dika sangat nyaman denganku.
Di hari kelulusanku dari SMA, aku merasakan sesuatu yang aneh, terkait dengan kehadiran Mama. Aku tidak tahu Mama dapat informasi darimana tentang acara itu, mungkin dari Bibi. Aku melihat Mama tersenyum manis, tapi aku justru terganggu dengan kehadirannya. Untuk apa Mama hadir ketika aku sudah bisa sendiri, ketika kehadirannya tidak lagi kuperlukan…?
Pembacaan siswa berprestasi pun dimulai. Dika memperoleh peringkat pertama. Wajar. Dika memang cerdas, ramah, baik, serta bertanggung jawab. Lalu namaku dibacakan memperoleh peringkat kedua. Aku berdiri menyusul Dika dan Mamanya yang sudah lebih dulu berada di panggung. Kudengar suara sepatu Mama mengikutiku. Di atas panggung Mama memelukku dan menciumku sambil menangis terharu bangga.
Ah… dadaku terasa sesak. Pelukan dan ucapan selamat dari Mama justru mengorek luka hatiku yang sudah berakar dan membusuk. Kenangan pahit sejak taman kanak-kanak terbayang kembali. Saking sesaknya, ingin rasanya aku mendorong Mama saat itu juga. Tapi aku sadar, dia adalah orang tuaku, walaupun di sisi lain semua seolah tidak ada lagi artinya. Mama sudah tak kubutuhkan lagi, karena aku sudah bisa sendiri.
Mama pulang duluan dengan membawa semua piagam dan trofi prestasiku. Aku memilih untuk ikut Dika dan Mamanya karena sehari sebelumnya aku sudah berjanji akan makan siang di rumah mereka. Acara itu sangat menyenangkan, sayangnya tak pernah ada di rumahku. Hidangan sederhana terasa nikmat. Kekraban dan canda tawa sangat terasa di rumah Dika. 
Setelah makan, Dika cerita bahwa dia akan lanjut kuliah di Bandung. 
"Rencanamu kuliah di mana, Nay?" tanya mama Dika.
"Di London, Tante," jawabku (Dalam hati aku menegaskan tujuan utamaku kuliah di London itu agar sekalian jauh dari Mama dan Papa).
“Wah, keren, Nay! Tapi kalau sudah di sana jangan lupa sama tante, Dika, dan adik-adik di sini, ya!”
“Pasti, Tante!” sahutku.

Sesampainya di rumah, aku lihat Mama sedang menungguku di meja makan.
“Nay, makan sore bareng yuk!” ajaknya.
“Nay sudah kenyang, Ma! Mau mandi dulu, ya” sahutku dan meninggalkan Mama begitu saja.
Kulihat piagam dan trofiku sudah masuk dalam lemari pajangan. “Hmmm..., apakah hanya itu yang Mama perlu? Prestasi akademik?” bathinku.
Usai mandi ternyata Mama sudah duduk di ranjang di dalam kamarku. Mama memintaku duduk di sebelahnya. Sambil mengeringkan rambut, aku turuti Mama.
“Nay, kuliah di Surabaya aja, ya, Sayang. Soalnya Mama kan lebih sering tugas di sana. Jadi kita bisa sering …”
Sebelum kalimat mama selesai, aku langsung potong, “Maaf Ma, aku akan kuliah di London saja. Aku sudah lulus test. Paling 2 minggu lagi aku berangkat supaya aku bisa mempelajari situasi di sana."
Mama sangat kaget. “Tidak boleh, Nay! Selama ini, kita sama-sama di Pulau Jawa saja sudah sulit bertemu. Apalagi di luar negeri.”
“Nay sudah mantap dengan pilihan ini, Ma. Toh selama ini Nay sudah biasa hidup tanpa Mama dan Papa. Kenapa Mama tiba-tiba baper? Kenapa tiba-tiba Mama merasa punya Nay? Mama gak usah khawatir, Nay dapat beasiswa kok, jadi gak merepotkan Mama!” sahutku dengan garang.
Mama terdiam karena kaget, lalu menangis. 
Kutinggalkan Mama sendiri di kamarku. Aku telfon Papa dan memberitahu semua rencanaku. Papa tidak berkomentar apa-apa. Papa hanya terdiam. Memang aku tidak minta persetujuan, kok. Yang penting aku tetap menghormati Papa dan Mamaku sebagai orang tua. Tapi untuk keputusan tentang hidupku aku tidak ingin mereka campuri.
Ketika aku mempersiapkan keberangkatanku ke London, Mama selalu mengikutiku. Ternyata Mama bisa punya waktu. Kenapa disaat aku tidak butuh Mama, baru Mama mau mengorbankan waktunya? Buatku sudah tidak ada artinya. Andai saja dari dulu Mama seperti Mamanya Dika, mungkin aku akan sangat bangga dan bahagia karena Mama.
Mama dan Papa mengantarkan aku ke bandara. Aku berangkat dengan beberapa siswa lainnya. Mama memelukku erat seperti sulit dilepaskan, Papa juga. Mereka menangis seolah aku takkan bertemu mereka lagi.
Kadang-kadang terpikir olehku bahwa aku harus berterima kasih kepada Mama yang telah mengandung dan melahirkan aku, Tapi luka dan kekecewaanku sejak kecil terlalu dalam. Rasa rinduku kalah. Sibuknya berkuliah di negeri orang sungguh-sungguh menyita waktuku. Dini hari saat mau tidur aku baru bisa melihat misscall Mama di ponselku. Karena kuduga Mama saat ini mungkin sedang bekerja, kukirimkan saja pesan WA: “Mama aku baik-baik saja”
Setelah berjauhan hampir 4 tahun, baru Mama mengatakan betapa dia kehilangan dan sangat merindukanku. Tapi karena sejak kecil sudah kehilangan, aku sepertinya  tidak lagi merasakannya sekarang. Yang timbul dalam benakku adalah ketika kelak aku menjadi Mama, aku akan menjaga, merawat, dan menemani anak-anakku baik-baik. Buatku, anak adalah harta yang paling berharga, yang tidak tergantikan oleh apapun juga.
Tapi sudah sebulan terakhir, setiap menjelang tidur aku ingin mengatakan pada Mama, "Mama, percayalah aku tetap menghormatimu sebagai ibuku. Walau aku belum pernah mengatakan kepada Mama, dalam hati kecilku, terbersit keinginan agar perpisahan kita dalam waktu yang panjang ini dapat mencairkan kekecewaanku yang terlanjur membeku. Walau belum kunyatakan langsung lewat pesan WA kepada Mama, dalam hatiku, sering muncul bisikan yang menyuruhku mengakui sebenarnya aku rindu padamu."
Tapi Mama, begitu beratkah rindumu kepadaku hingga Mama tak mampu bertahan? Tidak bisakah Mama menungguku? Mengapa harus pusaramu yang kupeluk sambil mengatakan aku rindu padamu? *****

Jakarta, 12 Juni 2020
Taruli M.P.
uliepardede1402@gmail.com





Comments

  1. Story dapat makna bahwa waktu gak bisa diputar kembali, masih kurang dalam untuk menguras air mata pembaca. Masih kurang heroik untuk memberikan kesan sedih......

    ReplyDelete
  2. Perang yang mengerikan, ternyata bukan hanya antar kelompok manusia. Perang dingin juga bisa terjadi antar ibu dan putrinya.
    Di satu sisi, orangtua Nayla terlalu 'ngoyo' ngumpulin materi. Tidak pernah merasa cukup. Di sisi lain, Nayla harusnya melihat dari berbagai segi. Ya, dia kurang diberi perhatian secara langsung. Tapi situasi itu membuatnya mandiri, berprestasi. Anak memang butuh pelukan dan sentuhan. Tapi orang tua kadang kadang hanya bisa memeluk dan menyentuh dengan cara lain, seperti doa dan upaya memenuhi kebutuhan.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Types and Functions of Plot

Type of Plots  The plot used in fictions can be differentiated into four types: linear, episodic, parallel, and flashback. The most common plot employed in short stories is the linear plot. Some short stories, though quite rarely, also use flashback plot. The episodic and parallel plots, however, are found only in long fiction, i.e. novels. Short storied do not use episodic and parallel plots because short stories normally concentrate on a single event with a very limited number of characters, while episodic and parallel plots include a series of events or more than one plot. The following section describes each plot briefly. The Linear Plot The linear plot (sometimes is also called dramatic or progressive plot) presents action or occurrences chronologically. It typically starts with an exposition (or introduction to the setting and characters) and the conflict. After that, the rising action follows which leads to a climax. Soon after the climax, falling action emerges which brings

Identifying a Research Problem (and Writing the Statement of the Problem)

  Research is essentially a problem-driven process. It starts and focuses on a specific problem or phenomenon. During the research process, data is collected and theories are elaborated to explain the problem. In other words, identifying and determining the problem to study is the first and the most important aspect to deal with in undertaking research. Thus, the research problem is the foundation of a research project. If the foundation is shaky the entire project is doomed to failure. Despite its critical importance, identifying and stating a research problem are the most challenging aspects of undertaking research, especially for novice researchers. This might be due to an insufficient understanding of how to identify and write for a study. This article describes research problem identification as the first step of a research process. It starts by describing what a research problem is, how to identify it, and where to obtain it. Then it briefly probes the criteria for determining a

An Analysis of the Theme of Hemingway’s “Old Man at the Bridge”

  An Analysis of the Theme of Hemingway’s “Old Man at the Bridge” Introduction The theme is one of the most interesting elements of fiction, including a short story. It refers to the central idea or meaning that the author wants to convey to the readers. Some stories convey a single theme, but some other stories have several themes. Since short stories are related to human life, Alternbend and Lewis (1966, p. 78) define theme as “The general vision of life or the more explicit proposition about human experience that literature conveys”. In relation to this, one of the easiest ways to determine the theme of a short story is by asking ourselves, “What does the story say about life? The theme of fiction is generally presented through the other elements of fiction, particularly the plot and characterization. This article is a venture to analyze the theme of Hemingway’s Old Man at the Bridge . This story is interesting to analyze due to two reasons. First, it is based on Hemingway’s exp